Sunday, July 19, 2009

Cahaya dari Tanah Suci

“Tuhan tidak berkonspirasi dengan para malaikat untuk menyusahkan kita kan?”

Ini kalimat favoritku di acara Mario Teguh hari ini. Minggu, 19 Juli 2009, mengangkat topik Cahaya dari tanah suci. Beliau berbagi banyak kebijaksanaan hidup. Tanah suci...Haji..sesuatu yang sedang hangat diperbincangkan olehku dan keluargaku.

“Aku memenuhi panggilanmu, ya Allah!”

Itu kalimat yang ingin sekali diucap oleh ibuku. Beberapa tahun ini ibu memang memendam harapan untuk berhaji. Hasratnya kian membuncah setelah aku lulus sekolah Juni ini. Dan aku merasa sangat hancur setiap kali ingat bahwa aku tidak bisa berjanji banyak untuk membantu. Padahal beliau sudah membaca beberapa buku panduan berhaji, mencari segala info seputar haji. Sedih kulihat beliau memandang foto alm. Ayah dan berkeluh kesah apakah bisa berhaji 2010 ini.

Doa-doanya sederhana saja. Berharap agar aku dan kakakku segera selesai kuliah. Mengharap kami semua berkumpul setelah dua tahun lebih ditinggal putra-putrinya. Dan memenuhi rukun Islam kelima dengan diantar putra putrinya.

Doa identik dengan permintaan. Ini adalah kunci kehidupan pertama yg diajarkan Mario. Sering kali kita salah mengartikannya menjadi sebuah keluhan atau bahkan ancaman. Padahal Allah hanya menganjurkan untuk meminta kepadaNya.

Keluhan hanya akan menutup mata kita dari kesempatan melihat nikmat-nikmatnya. Fokus pada sisi negatif sering menutup kesempatan untuk memperbaiki diri. Tanpa sadar kita juga sering mengancam dengan cara-cara yang halus.

“Jika Kau mengabulkan doaku, aku akan lebih banyak beribadah. Aku akan bertaubat”.

Tuhan tidak butuh tobat dan ibadah kita. Kitalah yang membutuhkanNya. Maka ajaran Mario kali ini adalah,”Memintalah secara sederhana, tulus dan tak bersyarat”.

Cukupkah itu? Apakah dengan berdoa agar bisa berhaji, ibuku akan mendapatkannya tiba-tiba? Ternyata ibuku harus membayar ONH, harus membaca buku-buku panduan dan beberapa hal lain sebelum benar-benar bisa menunaikan haji. Ada prasyarat keduniawian yang harus dipenuhi.

Istilah Mario adalah,”Memantaskan diri untuk terkabulnya doa kita”.
Beliau mencontohkan banyak orang menuliskan nama orang yang mereka kasihi di sebuah menara di tanah suci, saya lupa namanya. Mereka berharap agar nama yang mereka tulis adalah jodoh mereka, atau berharap agar perkawinan mereka tetap langgeng. Nyatanya, tidak semua doa terkabul. Karena memang doa saja tidak cukup, kita harus berusaha agar kita pantas mendapatkan apa yang kita inginkan.

Kunci terakhir adalah,”Mensyukuri pemberianNya”. Setelah kita mensyukuri pemberianNya hari ini, kita menjadi pantas menerima karuniaNya esok hari.
Tuhan tidak pernah berkonspirasi untuk menghancurkan kita. Kita hanya perlu meminta padaNya, memantaskan diri menerima apa yang kita minta dan mensyukuri apa yang kita dapatkan.

Jadi doaku hari ini adalah,”Allah kumohon kabulkan doa ibuku untuk memenuhi panggilanMu”.

Monday, July 13, 2009

Bali, semoga selalu berbakti

“Apa salah satu pulau wisata paling terkenal di dunia?”

Bangga akan kujawab, ”BALI”. Ya, kini aku percaya bahwa pulau ini termasyur bahkan sampai ke ujung dunia. Sungguh-sungguh ujung dunia karena Swedia terletak di ujung utara, bertetangga dengan kutub utara.

Kalau Anda bertanya kepada orang Swedia mengenai hal yang mereka ketahui tentang Indonesia. Hampir pasti tiga diantaranya adalah Bali, negara muslim terbesar, dan hutan tropis. Aku selalu terkesan dengan sikap sopan sekaligus keingintahuan mereka. Sering mereka bertanya tentang asal kita. Dan menyebut nama Indonesia kadang merupakan petunjuk pertama untuk membuka ke bahan pembicaraan berikutnya BALI.

Bali adalah sebuah pulau bertuah yang mampu membuat orang-orang dari negara kutub ini rela melakukan perjalanan yang melelahkan. Hasil pembicaraanku bukan saja dengan kawan, bahkan dari seorang pelayan toko ataupun seorang masinis.

Tersesat di Stockholm dini hari di bulan November 2008, aku berkesempatan ngobrol dengan seorang masinis. Seharusnya aku panik, karena salah menggunakan kereta padahal itu adalah kereta terakhir.

How will you suggest me to do if i want to go to Kista?” Tanyaku pada seorang masinis.

Dengan rendah hati masinis itu mengantarku ke Rinkeby. Dia membantuku dengan menggunakan kereta panjang dan canggih itu. Aku berdiri di sampingnya. Basa-basi dia bertanya tentang asalku. Tak berapa lama dia mulai bercerita mengenai rencananya untuk ke Bali tahun lalu.

Aku masih sempat mempromosikan Bali sambil terus mengawasi rel yang berjajar dan kegelapan di depan. Kuyakinkan dia bahwa dia harus meneruskan rencananya dan bla.bla.bla

Tidak semua manis jika itu terkait dengan Bali. Bukan hanya sekali aku mendapat pertanyaan yang ‘mengocok’ otakku, membuat perutku mulas, berkeringat, speechless. Mungkin deskripsi ini terlalu hiperbolik. Tapi silakan deskripsikan perasaan Anda jika Anda mendapat pertanyaan sebagai berikut, “Yakin Bali itu di Indonesia?”

Tueng.eng.eng. Limbung aku mendapat pertanyaan seperti itu. Pertanyaan itu membuatku bahkan meragukan bahwa matahari terbit dari timur. Padahal aku meyakininya dari semenjak kecil. Itu semacam dogma, yang tidak akan pernah kupertanyakan lagi.

Shock terberat ketika mendapat pertanyaan itu pertama kali. Perlu beberapa waktu untuk menyadari bahwa aku tidak salah dengar. Bahwa ia bersungguh-sungguh dengan pertanyaannya. Aku tidak tahu apa yang salah dengan promosi turisme Indonesia.

Dan lebih heran lagi ketika salah seorang staf KBRI di Stockholm menceritakan pengalaman yang sama.

“Saya ingin ke Bali, haruskah saya membuat visa Indonesia?”

Ada dua hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, Tingkat kemasyuran Bali melebihi induknya, Indonesia. Kedua, Bali itu Indonesia. Kalau boleh saya mewakili kata hati mereka. Saya hanya ingin ke Bali kok harus repot-repot visa Indonesia. Tapi haruskah Indonesia itu Bali? Dominasi selalu meremukkan sisi-sisi potensial. Dan dominasi Bali terhadap sektor turisme di Indonesia bisa melumpuhkan daerah-daerah lain.

Aku ingatkan lagi tiga hal yang mereka ingat tentang Indonesia: Bali, muslim terbesar dan hutan tropis. Hal pertama bertolak belakang dengan hal ketiga menurut logika mereka. Bali adalah sesuatu yang beradab, modern, tempat kenyamanan dan kemewahan dengan harga murah. Namun gambaran lain tentang Indonesia yang tidak kalah kuat adalah hutan, minim fasilitas, alami. Hal ini memunculkan pertanyaan yang saya sebut di atas.

Beruntung hubungan induk - anak antara Bali dan Indonesia terbilang akur dan harmonis. Setidaknya tidak ada konflik berdarah seperti yang dirasakan oleh saudara-saudara kita di Aceh dan Papua. Saya bukan seorang politisi. Sama sekali tidak ada ilmu tentang bagaimana membentuk sebuah negara. Saya hanya bersyukur, bahwa BALI adalah ‘anak’ yang berbakti.

Pulau ini kecil namun mandiri. Sektor turisme sangat maju. Bidang kesehatannya cukup sigap mendukung. Pemerintahannya stabil tanpa ada gejolak yang berarti. Orang-orangnya giat bekerja. Bisnis berkembang pesat. SDM sama dengan Jawa secara umum.
Semoga hal di atas tidak memicunya untuk lepas dari ‘pelukan’ Induknya. Semoga ia tetap menjadi ‘anak’ yang berbakti. SEMOGA!

Pembuka hati

Ketika kumerindumu
Jika rasa ingin jumpa denganmu
Padahal jarak dan waktu masih saja membentang
Samudra itu masih setia menghalang

Maka izinkan kulafadzkan Fatihah
Sebagai lantunan pembuka
Permohonan pada Sang Rahman
Sebagai jembatan asa