Tuesday, September 15, 2009

Jitu dengan Psikologi Terbalik

“Males apdet (update)status ah,” Status seorang teman di FB.

Apa ia benar-benar malas meng-update status? Bukankah ia tidak perlu mengganti atau menulis status baru jika ia benar-benar malas. Untungnya ia adalah seorang psikolog sehingga ketika saya bilang, ”Psikologi terbalik tuh”, Ia bisa paham.

Psikologi terbalik, reverse psychology, dikeluarkan pertama kali oleh duo Adorno dan Horkheimer tahun 1970-an. Inti dari teori ini adalah mengatakan pada orang lain sesuatu yang berlawanan dengan apa yang Anda ingin mereka lakukan atau percaya. Teori ini mempercayai bahwa orang akan merespon berlawanan atau berkebalikan dari perintah yang diberikan kepada mereka.

Kita sangat akrab dengan aplikasi teori ini sebenarnya. Sewaktu kecil saya sangat suka bermain di luar rumah. Saya sukses menceritakan pengalaman-pengalaman sehingga ibu lupa memarahi saya. Tapi tidak dengan bibi saya.

“Asyik ya main, enak tuh kalau diterusin sampai Isya”, Katanya.

Lalu apakah saya junior benar-benar menuruti perintahnya untuk melanjutkan bermain? Itu adalah sindiran tajam dan saya tahu saya bersalah sehingga cepat-cepat masuk rumah. Trik ini memang sangat jitu dilakukan pada anak-anak. Tapi penggunaan yang berlebihan diyakini bisa mengganggu harga diri si anak.

Anyway, saya mengikuti beberapa milis. Beberapa kali saya temui anggota milis tiba – tiba mengirimkan email yang sangat emosional.

“Milis ini tidak berguna! Buat apa saya mengikuti milis ini? bla.bla.bla”.

Benarkah itu apa yang ia rasakan? Hmm,..mungkin saja ia benar-benar marah. Tapi menurut saya akan lebih efektif jika ia segera saja unsubscribe, diam-diam. Tidak perlu menunjukkan kemarahan pada anggota milis yang lain. Tidak ada gunanya. Ekspresi marahnya menurut saya justru ungkapan bahwa ia peduli dan sebenarnya dia berharap milis ini dapat lebih baik. Dia anggota yang baik.
Sering kita menggunakan psikologi terbalik ini tanpa kita sadari. Trik ini mungkin digunakan laki-laki atau perempuan untuk menguji kesungguhan pasangannya. Jika si dia pernah mengatakan, 

”Ayolah, cari yang lain! kan masih banyak yang lebih baik!” Respon Anda? Turuti saja apa yang diucapkannya. Mengikuti permainannya akan membuat dia penasaran dan terkadang manjur untuk kelanggengan sebuah hubungan.

Apakah ia bersungguh-sungguh menyuruh Anda untuk mencari yang lain? mungkin saja. Tapi logikanya begini. Kalau ia memang tidak suka bisa saja dia mengacuhkan segala kontak dengan Anda. Ringkasnya anggap Anda tidak ada, itu adalah cara efektif, meski menyakitkan, untuk menunjukkan bahwa kita tidak memberikan peluang sama sekali.

Bisa dimengerti jika orang mengatakan, ”Lawan dari cinta itu bukan benci tapi cuek, ketidakpedulian, ignorance”.

Thursday, September 10, 2009

Berdamai dengan ‘Tuhan Sembilan cm’ [2]

Pak Yadi dan dua bungkus rokoknya selama delapan tahun. Anda memiliki kalkulator? Saya tertarik untuk sedikit berhitung. Bisa bantu saya? Sebelumnya, mari kita membuat asumsi bersama. Asumsi pertama terkait dengan harga. Satu bungkus rokok termurah adalah Rp. 2.500 dan termahal Rp. 25.000. Asumsi kedua, Pak Yadi secara konsisten mengisap rokok sebanyak yang saya sebut di atas selama kurun waktu tersebut. Dan terakhir, jumlah hari dalam satu bulan adalah 30.

T= p*b*h*m*n

T= Total pengeluaran terkait dengan rokok
p= price= harga satu bungkus rokok (range: 2.500-25.000)
b= Jumlah rokok yang diisap (bungkus*)
h= jumlah hari dalam satu bulan (30)
m= jumlah bulan dlm satu tahun (12)
n= total tahun merokok (8*)
Note: * disesuaikan dengan kasus pak Yadi

Menggunakan rumus di atas, berapa total rupiah yang dikeluarkan Pak Yadi? Saya mendapatkan hasil Rp. 14.400.000 – Rp. 144.000.000. Apakah Anda mendapatkan angka yang sama? Terkejutkah Anda dengan jumlah nominal tersebut?
Rp. 14.400.000 benar- benar dikeluarkan Pak Yadi jika beliau hanya membeli rokok seharga Rp. 2.500 selama 8 tahun. Nominal Rp.144 juta juga bisa didapatkan dengan logika yang sama namun menggunakan harga termahal dalam asumsi saya. Namun saya memberi sedikit kelenturan bahwa mungkin saja rokok seharga Rp 2.500 tidak ditemui beliau sehingga harus membeli yang lebih mahal. Atau mungkin pak Yadi tergoda untuk menikmati rokok eksklusif seharga Rp.25.000. Hal ini akan memberikan nilai total diantara Rp. 14.400.000- Rp.144 juta.
Angka yang luar biasa menurut saya. Jika saya tunjukkan kalkulasi ini kepada Pak Yadi saat ini. Saya yakin dia akan menghembuskan napas lega karena berhasil terbebas dari rokok. Meski beliau harus mengeluarkan uang untuk membeli buku-buku, mengikuti pelatihan meditasi dan yoga. Tapi dengan menginvestasikan kesehatan dan masa depannya itu akan jauh lebih menguntungkan.
Tapi bagaimana jika saya menunjukkan bukti ini di antara delapan tahun periode merokok yang beliau lalui? Apakah bisa mempercepat membantu beliau untuk berhenti? Mungkin. Setidaknya beliau bisa mempertimbangkan ulang untuk mengurangi atau bahkan berhenti sama sekali. Kita perlu ingat bahwa rokok bersifat adiktif. Otak sudah terbiasa bekerja dengan sokongan nikotin. Dan berusaha mempertahan levelnya atau bahkan meningkatkannya.
Dalam rentang waktu delapan tahun tersebut, pemerintah mengambil keputusan untuk menaikkan pajak dan harga rokok, anggaplah, menjadi Rp. 3.000 dari harga Rp 2.500. Apakah Pak Yadi akan mulai lebih aktif berpikir untuk berhenti? Saya khawatir itu tidak akan berpengaruh banyak. Bahkan mungkin beliau akan mencari alternatif yang lebih murah. Beliau bisa saja membeli tembakau kering dan membungkusnya sendiri. Ini yang disebut rokok lintingan. Harganya bisa jauh lebih murah. Istilah seribu jalan menuju Roma bisa saja berlaku. Pembelian tembakau langsung ke petani tembakau juga bisa dilakukan. Ini akan semakin mempersulit pengawasan terhadap rokok dan penggunaannya.
Karakter Pak Yadi ini disebut sebagai Price-insensitive consumer oleh para ekonom. Naik atau turunnya harga tidak akan merubah kebutuhan (Demand) terhadap rokok. Persis seperti bagaimana kita bisa seenaknya mempermaikan harga sembako selama waktu lebaran. Kebutuhan akan tetap meningkat, pembelian tidak akan terelakkan meskipun harga terus melambung.
Intervensi tunggal, terutama hanya kepada pajak, memang bukan ide yang bagus untuk mengatasi masalah ini. Selain prevalensi, jumlah total, perokok tidak akan terlalu banyak menurun. Selain itu produsen sampai penjual eceran mungkin akan sedikit dirugikan karena kehilangan pelanggan. Lalu bagaimana untuk mengatasi masalah ini? Atau mungkin lebih baik kita tanyakan, “Adakah cara tepat untuk mengatasi masalah ini?”

To be continued ...[3]
NB: Kekurangan dalam perhitungan saya adalah saya tidak menggunakan discount rate. Hal ini penting karena nilai uang hari ini tidak akan sama dengan nilai di masa depan. Keuntungan yang di dapat hari ini akan selalu lebih baik dari pada menunggu keuntungan dengan jumlah yang sama di masa depan.

Tuesday, September 08, 2009

Berdamai dengan ‘Tuhan Sembilan cm’ [1]

Buka bersama hari minggu kemarin, 6 September 2009, dilakukan di Sogan Village. Sebuah Resto eksklusif di Jl. Palagan Tentara km 10, Yogyakarta. Dua rumah Joglo berumur lebih dari satu abad menimbulkan suasana klasik. Perasaan damai dan bugar setelah Yoga bersama membuat percakapan mengalir dengan lancar.
Duduk di ujung sebuah meja kayu panjang, sekitar sepuluh orang, kami mulai saling bersapa.
“Kayaknya pernah yoga bareng dua tahun yang lalu ya, Pak?”
“Iya, emang pernah kok,” Kata pak Yadi.
Mataku menatap sosok berpakaian hitam di depanku. Badannya tegap atletis, maklum beliau juga rajin berlatih Aikido (Atau semacam itulah).
Seseorang yang sangat sporty dan perhatian dengan kesehatannya, sangkaku.
“Allahu Akbar..Allahu Akbar”, Adzan berkumandang.
Segera kami membatalkan puasa. Air putih, Teh, kopi dan kolak dihidangkan di meja sebelah kanan. Menu utama tersedia di sebelah kiri. Kembali bercengkrama sambil menyantap makanan di hadapan kami.
“Ada lo yang tak bisa berhenti mengisap rokok setelah buka,” Kataku sambil lalu.
“Seperti kereta api. . saya tidak bisa mengerti bagaimana mungkin mereka bisa menahan selama sehari penuh”.
“Saya dulu juga merokok,” Timpal Pak Yadi.
“Ya?”, Tersirat permintaan penjelasan lebih lanjut dalam nada suara yang terdengar.
“Iya tapi bisa berhenti dalam waktu satu bulan”.
Ini mulai menarik. Saya mulai berusaha membuktikan hipotesis yang tersusun. Rasa penasaran mendominasi.
“Berapa lama bapak merokok sebelumnya? Berapa batang sehari?”
“Saya merokok delapan tahun. Sehari bisa habis dua bungkus”.
Saya berdecak kagum dalam hati. Waktu yang tidak singkat dengan kuantitas lumayan banyak bisa dihentikan dalam satu bulan?
“Bagaimana bapak melakukan itu? Bapak menggantinya dengan permen?”
“Wah memang sulit sekali. Tiap kali ada keinginan untuk merokok saya meditasi dan baca buku”.
Buku yang dimaksud beliau adalah buku-buku mengenai bahaya merokok, meditasi dan topik- topik serupa untuk memotivasi agar tetap meninggalkan rokok. Self healing, self therapy,self suggestion. Beberapa istilah yang merujuk pada makna yang serupa. Memotivasi dan menyembuhkan diri atau perilaku yang kurang sehat dengan usaha sendiri. Tapi ada sesuatu yang kurang dari cerita pak Yadi ini. Ibarat orang yang sedang bermain puzzle ada satu keping yang hilang.
“Bagaimana bapak begitu bersemangat berhenti merokok? Bukankah itu enak?”
“Saya sesak napas sebelumnya. Itu titik awal saya berusaha berhenti merokok”.
Damn!! Njelehi! Saya mengutuk dalam hati. Bukan karena jawaban beliau tapi karena sikapku sendiri. Inilah alasan kenapa saya selalu terkesan skeptis dengan metode kualitatif. Julukan saya dalam kursus narrative journalism adalah miss kuantitatif.
Anda Tahu kesalahan saya? Bapak Yadi telah secara tidak sadar saya giring untuk membuktikan kebenaran teori health belief model. Inti dari teori ini adalah seseorang akan mengubah gaya hidupnya menjadi lebih sehat ketika ybs merasa ada keuntungan yg bisa didapat dan atau kerugian yang dicegah.
Mind set saya ini adalah inti dari perubahan perilaku seseorang. Tidak mungkin seseorang rela berubah tanpa memperoleh ‘keuntungan pribadi’. Dan ini tidak dibenarkan dalam metode kualitatif. Salah satu sisi positif dari metode kualitatif adalah eksplorasi. Eksplorasi tidak akan berhasil jika penanya menggiring respondennya untuk menjawab sesuai dengan yang dipikirkannya.
Ini berarti sebanyak apapun responden yang saya rekrut akan menghasilkan jawaban yang sama. Saturasi adalah poin penting dalam kualitatif. Ketika saturasi terpenuhi maka kita tidak akan mendapatkan jawaban baru dan menghentikan penelitian menjadi dibolehkan. Titik saturasi antara saya dan mas Andreas mungkin akan sangat berbeda. Dengan kata lain, tindakan saya akan menghasilkan false result.
Kesalahan saya bisa saja berulang. Dan karena itulah saya meragukan metode kualitatif. Seandainya orang- orang yang bergelut dalam penelitian kualitatif sehandal mas Andreas Harsono, saya tidak berani berkomentar banyak. Bagaimana mungkin saya mempertanyakan hasil wawancara seorang Prof. Arief Budiman. Dan apa saya layak meragukan tulisan hasil reportasi Mas Nugie, Mas Buset, mba Dian atau Danu?
Ironi memang. Ketidakpercayaan saya didasarkan pada ketidakpercayaan pada diri sendiri. Setidaknya saya sudah menemukan kesalahan saya dan berusaha memperbaikinya.Saya pikir jawabnya adalah BERLATIH!! T.E.R.U.S. B.E.R.L.A.T.I.H!!!