Wednesday, May 25, 2011

Aku dan masakan (Sebuah Rahasia)

“Bi Lung kok resep masakan enaknya banyak?” Komentar ponakanku di sabtu sore.

Sampai saat ini aku masih terngiang komentarnya yang lugas itu, sebulan yang lalu. Sebelumnya dia menolak mengakui bahwa dia suka masakanku saat itu, nasi goreng. Akhirnya kuputuskan untuk menggunakan sedikit ‘ancaman’ bahwa aku akan menghabiskannya. Barulah ia menunjukkan kesukaannya dan menghabiskan nasi goreng itu setelah sebelumnya menghabiskan jamur goreng tepung.

Terus terang jarang aku mendapat pujian kalau dikaitkan dengan masakan. Hampir setiap orang yang mengenalku merasa yakin aku tidak bisa, bahkan tidak pernah, memasak. Well, itu tidak sepenuhnya salah karena aku memang jarang ke dapur. Tapi bila kondisi ‘memaksa’, toh aku bisa juga turun tangan ke dapur.

Ada dua aturan ketika seorang Nurul memasak, mudah dan tanpa takaran. Kiblatku dalam memasak adalah kemudahan memperoleh bahan-bahan, bumbu yang ringkas dan proses yang tidak terlalu berbelit. Jadi bukan masalah apakah itu masakan Jawa, Cina, Swedia, Korea, selama itu eatable , bisa dimakan, pasti pantas dicoba. Bumbu utama garam dan merica saja terkadang sudah cukup, seperti ketika membuat mashed potato, kentang tumbuk. Atau bolehlah ditambah bawang putih seperti ketika kita membuat sup ayam.

Nasi goreng itu bukan baru pertama kalinya kubuat. Tapi hasil masakannya memang lezat untuk kali ini. Ini adalah efek dari cara memasakku yang tanpa takaran. Aku bisa menjadi sangat impulsif ke dapur ketika membayangkan makanan tertentu. Dan terus terang mengingat-ingat berapa sendok takaran garam, gula itu sedikit menggangguku. Belum lagi untuk memastikan apakah itu sendok makan atau teh. Hmmm bagaimana kalau kita improvisasi saja ketika memasak, berkhayal menjadi Rachael Ray. Aji-aji ‘feeling’ sering digunakan padahal perasaan sering berubah-ubah. Ada kalanya aku menjadi sangat teliti dan bisa berkoordinasi dengan baik untuk menggerakkan tangan dan langsung menuang bumbu sewaktu memasak. Tapi di banyak kesempatan aku terlalu ceroboh dan tidak mau mencicipi sebelum mematikan kompor dan menuang ke tempat saji. Dengan kata lain, tidak ada revisi :d.

Aku menjadi terkenang satu kesempatan ketika masih belajar di Swedia. Waktu itu, aku sangat kangen mie goreng Jowo. Tanpa mencari resepnya, aku langsung mencobanya. Kubayangkan rasa mie goreng itu, pastilah menggunakan bumbu-bumbu dasar plus bumbu lain yang aku kurang tahu dan kecap. Di swedia kita bisa menemukan “Sambal Oelek” dengan mudah di supermarket. Sambal ini, sebagaimana sambal-sambal lain yang kita kenal, sudah memiliki cita rasa yang kuat. Jadi aku memutuskan untuk menggunakan itu dan tambahan bawang putih, bombay, garam, merica dan kecap sebagai bumbu. Tanpa mencicipi, hanya dari ilmu perkiraan bahwa masakan sudah siap aku mematikan kompor. Di malam ketika aku memasak, aku berbagi dengan teman Swediaku.

“Aku tidak menyangka hasilnya akan seenak ini, padahal di awal terkesan berantakan”, Katanya.

Ketika keesokan harinya kubawa sebagai bekal makan siang, temanku memuji. Dan bahkan memintaku untuk memasakkan ulang mie Jowo itu ketika kami, mahasiswa Indonesia, berkumpul. Kali ini terus terang aku grogi, dan tidak percaya diri. Walhasil, tanganku memasukkan terlalu banyak garam dan yah begitulah masakan kita kali ini gagal. haha