Thursday, June 04, 2015

Berdamai dengan Tuhan 9 Centimeter [4] Rokok dan Laki-Laki

Merokok di Negara kita selalu menjadi bahan perdebatan yang hangat. Di satu sisi kebiasaan ini sudah sangat mengakar kuat di masyarakat. Banyak hal yang membuat kebiasaan ini jamak dilakukan terutama di kalangan laki-laki. Khusus untuk Negara kita, merokok masih sangat dikaitkan dengan gender. Jika Anda adalah seorang laki-laki maka kemungkinan Anda menjadi perokok akan sangat besar, sekitar 30-40 kali lebih besar dibanding perempuan. Mengingat dari penelitian masculinity survey 2012 yang lalu, prevalensi merokok laki-laki adalah sekitar 85% di Jakarta. Hasil survey ini belum dipublikasikan secara resmi. Sedangkan menurut GATS (Global Adults Tobacco survey) jumlah perokok di Indonesia sekitar 65% untuk laki-laki dan 2.5% untuk perempuan.

Saya merasa beruntung karena laki-laki di sekitar saya tidak merokok. Saat ini saudara kandung saya tidak merokok dan kawan-kawan saya kebanyakan juga bukan perokok. Saya menjadi sangat asing dengan rokok lama setelah alm. Ayah saya juga berhenti dari kebiasaan merokok. Saya hanya seorang observer jarak jauh saja dalam hal kebiasaan merokok pada laki-laki. Paling mudah saya memperhatikan bapak-bapak yang berkumpul di balai pertemuan RT yang kebetulan ada di depan rumah dan kamar saya. Persis di depannya sehingga saya bisa melihat apa yang terjadi di balai tersebut dengan sangat leluasa.

Saya bisa menjadi saksi langsung dan tidak langsung atas kebiasaan merokok bapak-bapak tersebut berkumpul. Saya melihat langsung bagaimana asap itu dihembuskan dari mulut dan hidung mereka juga melihat puntung puntung rokok bertebaran di pagi hari ketika saya sekedar melewati karena akan jogging atau akan menyapu halaman depan rumah saya. Merokok sudah menjadi bagian yang sulit dipisahkan dari bersosialisasi. Pemakluman di masyarakat terhadap laki-laki yang merokok sangat besar yang justru merupakan hal yang kurang menguntungkan bagi laki-laki itu sendiri. Sebaliknya perempuan diuntungkan secara budaya dan sosial untuk tidak merokok. Lebih mudah untuk  tidak merokok bagi perempuan dibandingkan laki-laki.

Tapi kenapa kebiasaan ini bisa menjadi sangat identik dengan laki-laki di negara kita? Kondisi ini tidak selalu demikian di belahan lain dunia seperti di US atau Negara-negara eropa. Perbandingan jumlah perokok laki-laki dan perempuan di Negara-negara tersebut hampir sama. Di swedia, kondisinya justru terbalik perempuan yang lebih banyak merokok dibanding laki-laki dan kecenderungan untuk berhenti merokok lebih banyak pada laki-laki dibanding pada perempuan.

Bagi orang Indonesia yang tidak suka menghirup asap rokok, Indonesia adalah manisfestasi ekstrim dari kondisi lingkungan yang sangat permisif terhadap rokok. Adakah ruang bagi yang tidak suka, alergi, atau harus membatasi kontak dengan asap rokok di Indonesia? Jawabannya hampir pasti tidak. Asap rokok bisa dinikmati bukan hanya pada saat rokok dihisap tapi juga setelahnya, secara tidak langsung. Asap rokok bisa dinikmati bahkan setelah perokok berhenti menikmati rokok tersebut karena melekat di baju, sofa, lantai, apapun yang bisa dilekati oleh asap. Kondisi inilah yang disebut sebagai perokok tertier. Berbeda dengan perokok sekunder yang tidak merokok tapi berada dimana dan pada saat perokok tersebut menghisap rokok.

Salah satu hal yang saya pelajari tentang laki-laki kaitannya dengan kesehatan adalah karakter yang dominan yang dimiliki sebelum akhirnya seseorang melakukan perilaku atau kebiasaan tertentu. Karakter tersebut adalah rasional, otonomi, keberanian dan kompetitif.
Keempat karakter tersebut dapat digunakan untuk melakukan maupun menghindari perilaku tertentu seperti merokok. Untuk lebih jelasnya mari kita membahas mengenai bagaimana keempat karakter tersebut digunakan laki-laki untuk mendorongnya merokok.

Saya pernah menjumpai kenalan yang sangat hobi merokok. Ketika saya bertanya kenapa dia merokok, ia akan dengan mudah menjawab, “Justru karena saya sehat saya merokok. Tidak mungkin saya merokok kalau saya sedang sakit”.

Kalimat tersebut menunjukkan bagaimana rasional menjawab pertanyaan seputar perilaku merokoknya. Lebih lanjut mungkin ia bisa menjawab bahwa banyak kakek-kakek di sekitarnya yang berusia lanjut padahal perokok aktif. Ia lupa bahwa di sisi lain (lebih) banyak laki-laki (dan perempuan dan anak yang menjadi perokok sekunder atau tersier) yang meninggal di usia muda. Selain itu kalimat ia sehat menunjukkan pentingnya kondisi (merasa) sehat. Hal ini dikarenakan sakit diidentikkan dengan lemah dan lemah bukanlah hal yang bagus untuk menjadi laki-laki. Saya bisa merasakan tidak mudah menjadi laki-laki karena mereka terbatas menunjukkan kelemahan mereka di depan umum.

Selain itu, penting bagi laki-laki untuk mengambil keputusan secara mandiri apakah ia akan melanjutkan perilaku merokoknya atau tidak. Mereka dibesarkan dalam kultur yang menghendaki mereka menjadi pemimpin setidaknya untuk diri sendiri dan keluarga. Oleh karena itu, kebutuhan untuk secara mendiri mengambil keputusan dalam hidupnya adalah sangat penting termasuk dalam hal merokok.

Sangat menarik membahas mengenai keberanian dengan perilaku merokok. Teman-teman yang berkecimpung dalam gerakan anti tobacco harus memahami mengenai hal ini. Sebagian perokok, terutama laki-laki, akan merasa tertantang dan keberanian mereka diuji ketika mereka diberikan informasi mengenai bahaya merokok. Merokok menyebabkan penyakit kanker paru-paru? Dapat membuat penyakit jantung dan pembuluh darah? Menyebabkan kematian? Mereka tidak akan peduli karena ketika mereka peduli berarti mereka menyetujui bahwa mereka lemah dan takut terhadap penyakit tertentu atau bahkan kematian. Takut dan lemah bukanlah hal yang diinginkan dari laki-laki. Dan oleh karena itu mereka akan terus merokok untuk menunjukkan bahwa mereka tidak takut dan lemah.

Menjadi kompetitif bagi laki-laki sangatlah penting. Dalam hal merokok kita bisa menggabungkan aspek keberanian dan kompetitif secara langsung. Semakin berani mereka menghisap rokok menunjukkan mereka semakin berani. Dan dalam hal berapa banyak jumlah rokok yang mereka hisap, itu adalah aspek kompetitif yang ingin saya sampaikan. Penting bagi laki-laki untuk menunjukkan bahwa mereka ‘lebih’ dari pada yang lain. Dan berani menghisap rokok lebih banyak berarti mereka lebih dibanding yang lain.

Keempat aspek tersebut bisa juga digunakan laki-laki untuk tidak merokok. Mereka bisa jadi tetap merasa berani dan penting untuk menjadi berani bagi laki-laki. Akan tetapi mereka berani dalam hal menantang budaya laki-laki di Indonesia yang mayoritas adalah perokok. Mungkin juga mereka akan mengaitkan dengan aspek otonomi. Dengan tidak merokok berarti mereka mengambil keputusan secara mandiri dan bahwa perilakunya tersebut tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Mereka bertanggung jawab atas perilaku mereka dan tidak akan membiarkan (merasa) orang lain atau lingkungan mempengaruhi keputusan mereka. Selain itu, data ilmiah yang ada memang mendukung mengenai bahaya merokok sehingga sangat masuk akal dan rasional jika ia memutuskan untuk tidak merokok.

Di Indonesia, tidak merokok berarti mengorbankan sedikit kelelakiannya. Bukan laki-laki kalau tidak berani merokok seperti penjelasan di atas. Akan tetapi sedikit laki-laki berani untuk tidak merokok terutama setelah mereka cukup memenuhi standar kelelakian yang diharapkan di masyarakat. Beberapa hal lain yang dapat mereka raih sebagai kompensasi dari tidak merokok adalah mereka boleh jadi secara fisik kuat, berpendidikan, pandai dalam sport tertentu, kaya atau beberapa hal lain yang bisa menunjukkan identitas laki-laki mereka. Secara konsep hal ini disebut trading masculine competence.
Artikel ini saya tulis setelah saya membaca beberapa referensi yang terkait dengan gender, laki-laki, dan merokok. Khusus dibuat dalam rangka memperingati hari anti tobacco yang jatuh pada tanggal 31 Mei yang lalu. Selain itu, artikel ini juga saya buat untuk mengingatkan diri saya sendiri dan mungkin bagi pemerhati gerakan pengurangan rokok di Indonesia untuk selalu memperhatikan aspek gender dan nilai-nilai dasar sebagai laki-laki dalam setiap aktifitasnya.