Merokok di Negara kita selalu menjadi bahan perdebatan yang
hangat. Di satu sisi kebiasaan ini sudah sangat mengakar kuat di masyarakat. Banyak
hal yang membuat kebiasaan ini jamak dilakukan terutama di kalangan laki-laki. Khusus
untuk Negara kita, merokok masih sangat dikaitkan dengan gender. Jika Anda
adalah seorang laki-laki maka kemungkinan Anda menjadi perokok akan sangat
besar, sekitar 30-40 kali lebih besar dibanding perempuan. Mengingat dari penelitian
masculinity survey 2012 yang lalu, prevalensi merokok laki-laki adalah sekitar
85% di Jakarta. Hasil survey ini belum dipublikasikan secara resmi. Sedangkan
menurut GATS (Global Adults Tobacco survey) jumlah perokok di Indonesia sekitar
65% untuk laki-laki dan 2.5% untuk perempuan.
Saya merasa beruntung karena laki-laki di sekitar saya tidak
merokok. Saat ini saudara kandung saya tidak merokok dan kawan-kawan saya
kebanyakan juga bukan perokok. Saya menjadi sangat asing dengan rokok lama
setelah alm. Ayah saya juga berhenti dari kebiasaan merokok. Saya hanya seorang
observer jarak jauh saja dalam hal kebiasaan merokok pada laki-laki. Paling mudah
saya memperhatikan bapak-bapak yang berkumpul di balai pertemuan RT yang
kebetulan ada di depan rumah dan kamar saya. Persis di depannya sehingga saya
bisa melihat apa yang terjadi di balai tersebut dengan sangat leluasa.
Saya bisa menjadi saksi langsung dan tidak langsung atas
kebiasaan merokok bapak-bapak tersebut berkumpul. Saya melihat langsung
bagaimana asap itu dihembuskan dari mulut dan hidung mereka juga melihat
puntung puntung rokok bertebaran di pagi hari ketika saya sekedar melewati
karena akan jogging atau akan menyapu halaman depan rumah saya. Merokok sudah
menjadi bagian yang sulit dipisahkan dari bersosialisasi. Pemakluman di
masyarakat terhadap laki-laki yang merokok sangat besar yang justru merupakan
hal yang kurang menguntungkan bagi laki-laki itu sendiri. Sebaliknya perempuan
diuntungkan secara budaya dan sosial untuk tidak merokok. Lebih mudah untuk tidak merokok bagi perempuan dibandingkan
laki-laki.
Tapi kenapa kebiasaan ini bisa menjadi sangat identik dengan
laki-laki di negara kita? Kondisi ini tidak selalu demikian di belahan lain
dunia seperti di US atau Negara-negara eropa. Perbandingan jumlah perokok
laki-laki dan perempuan di Negara-negara tersebut hampir sama. Di swedia,
kondisinya justru terbalik perempuan yang lebih banyak merokok dibanding
laki-laki dan kecenderungan untuk berhenti merokok lebih banyak pada laki-laki
dibanding pada perempuan.
Bagi orang Indonesia yang tidak suka menghirup asap rokok, Indonesia
adalah manisfestasi ekstrim dari kondisi lingkungan yang sangat permisif
terhadap rokok. Adakah ruang bagi yang tidak suka, alergi, atau harus membatasi
kontak dengan asap rokok di Indonesia? Jawabannya hampir pasti tidak. Asap rokok
bisa dinikmati bukan hanya pada saat rokok dihisap tapi juga setelahnya, secara
tidak langsung. Asap rokok bisa dinikmati bahkan setelah perokok berhenti
menikmati rokok tersebut karena melekat di baju, sofa, lantai, apapun yang bisa
dilekati oleh asap. Kondisi inilah yang disebut sebagai perokok tertier. Berbeda
dengan perokok sekunder yang tidak merokok tapi berada dimana dan pada saat perokok
tersebut menghisap rokok.
Salah satu hal yang saya pelajari tentang laki-laki
kaitannya dengan kesehatan adalah karakter yang dominan yang dimiliki sebelum
akhirnya seseorang melakukan perilaku atau kebiasaan tertentu. Karakter
tersebut adalah rasional, otonomi, keberanian dan kompetitif.
Keempat karakter tersebut dapat digunakan untuk melakukan
maupun menghindari perilaku tertentu seperti merokok. Untuk lebih jelasnya mari
kita membahas mengenai bagaimana keempat karakter tersebut digunakan laki-laki
untuk mendorongnya merokok.
Saya pernah menjumpai kenalan yang sangat hobi merokok. Ketika
saya bertanya kenapa dia merokok, ia akan dengan mudah menjawab, “Justru karena
saya sehat saya merokok. Tidak mungkin saya merokok kalau saya sedang sakit”.
Kalimat tersebut menunjukkan bagaimana rasional menjawab
pertanyaan seputar perilaku merokoknya. Lebih lanjut mungkin ia bisa menjawab
bahwa banyak kakek-kakek di sekitarnya yang berusia lanjut padahal perokok
aktif. Ia lupa bahwa di sisi lain (lebih) banyak laki-laki (dan perempuan dan
anak yang menjadi perokok sekunder atau tersier) yang meninggal di usia muda. Selain
itu kalimat ia sehat menunjukkan pentingnya kondisi (merasa) sehat. Hal ini
dikarenakan sakit diidentikkan dengan lemah dan lemah bukanlah hal yang bagus
untuk menjadi laki-laki. Saya bisa merasakan tidak mudah menjadi laki-laki
karena mereka terbatas menunjukkan kelemahan mereka di depan umum.
Selain itu, penting bagi laki-laki untuk mengambil keputusan
secara mandiri apakah ia akan melanjutkan perilaku merokoknya atau tidak. Mereka
dibesarkan dalam kultur yang menghendaki mereka menjadi pemimpin setidaknya
untuk diri sendiri dan keluarga. Oleh karena itu, kebutuhan untuk secara
mendiri mengambil keputusan dalam hidupnya adalah sangat penting termasuk dalam
hal merokok.
Sangat menarik membahas mengenai keberanian dengan perilaku
merokok. Teman-teman yang berkecimpung dalam gerakan anti tobacco harus
memahami mengenai hal ini. Sebagian perokok, terutama laki-laki, akan merasa
tertantang dan keberanian mereka diuji ketika mereka diberikan informasi
mengenai bahaya merokok. Merokok menyebabkan penyakit kanker paru-paru? Dapat membuat
penyakit jantung dan pembuluh darah? Menyebabkan kematian? Mereka tidak akan
peduli karena ketika mereka peduli berarti mereka menyetujui bahwa mereka lemah
dan takut terhadap penyakit tertentu atau bahkan kematian. Takut dan lemah
bukanlah hal yang diinginkan dari laki-laki. Dan oleh karena itu mereka akan
terus merokok untuk menunjukkan bahwa mereka tidak takut dan lemah.
Menjadi kompetitif bagi laki-laki sangatlah penting. Dalam hal
merokok kita bisa menggabungkan aspek keberanian dan kompetitif secara
langsung. Semakin berani mereka menghisap rokok menunjukkan mereka semakin
berani. Dan dalam hal berapa banyak jumlah rokok yang mereka hisap, itu adalah
aspek kompetitif yang ingin saya sampaikan. Penting bagi laki-laki untuk
menunjukkan bahwa mereka ‘lebih’ dari pada yang lain. Dan berani menghisap
rokok lebih banyak berarti mereka lebih dibanding yang lain.
Keempat aspek tersebut bisa juga digunakan laki-laki untuk
tidak merokok. Mereka bisa jadi tetap merasa berani dan penting untuk menjadi
berani bagi laki-laki. Akan tetapi mereka berani dalam hal menantang budaya
laki-laki di Indonesia yang mayoritas adalah perokok. Mungkin juga mereka akan
mengaitkan dengan aspek otonomi. Dengan tidak merokok berarti mereka mengambil
keputusan secara mandiri dan bahwa perilakunya tersebut tidak dipengaruhi oleh faktor
lingkungan. Mereka bertanggung jawab atas perilaku mereka dan tidak akan
membiarkan (merasa) orang lain atau lingkungan mempengaruhi keputusan mereka. Selain
itu, data ilmiah yang ada memang mendukung mengenai bahaya merokok sehingga
sangat masuk akal dan rasional jika ia memutuskan untuk tidak merokok.
Di Indonesia, tidak merokok berarti mengorbankan sedikit
kelelakiannya. Bukan laki-laki kalau tidak berani merokok seperti penjelasan di
atas. Akan tetapi sedikit laki-laki berani untuk tidak merokok terutama setelah
mereka cukup memenuhi standar kelelakian yang diharapkan di masyarakat. Beberapa
hal lain yang dapat mereka raih sebagai kompensasi dari tidak merokok adalah mereka
boleh jadi secara fisik kuat, berpendidikan, pandai dalam sport tertentu, kaya
atau beberapa hal lain yang bisa menunjukkan identitas laki-laki mereka. Secara
konsep hal ini disebut trading masculine
competence.
Artikel ini saya tulis setelah saya membaca beberapa
referensi yang terkait dengan gender, laki-laki, dan merokok. Khusus dibuat
dalam rangka memperingati hari anti tobacco yang jatuh pada tanggal 31 Mei yang
lalu. Selain itu, artikel ini juga saya buat untuk mengingatkan diri saya
sendiri dan mungkin bagi pemerhati gerakan pengurangan rokok di Indonesia untuk
selalu memperhatikan aspek gender dan nilai-nilai dasar sebagai laki-laki dalam
setiap aktifitasnya.