Many times i asked my Indonesian friends (men), “Do you mind to leave your job temporarily just to take care of your daughter or son?”
The major answers you could expect are, “What about my job? How can i feed my family?”
Few of them will undoubtly said,” I won’t hesitate. I simply work from home”, maybe because they are freelancers.
Many of us (mostly men) have this question in their mind, “We have mother’s day but we never have a father’s day here in Indonesia?” (now we have, do you really want this kind of day?)
Feminists might say that women just have one special day out of 365 days in a year. The rest are mostly devoted to the men since the world system in general is following paternalistic pattern. Because of that why there is still such question appears?
I want to put aside the job and salary issues in order to answer aforementioned question. Moreover, let’s stay focus on how we describe the meaning of being a father. Being a father is not merely about earning money, isn’t it? We are human beings. Father, mother or children are human beings. I guess i do not have to remind you that as a human we have several aspects of life: physical, emotional, psychological, social and spiritual. If so, why should we bother only one aspect “economy” to be called as a father?
I hope you (men) don’t find this article as an offensive one. But please, just grasp the idea behind. Just focus to the fact of being a human. As a father, do you think that you spend less time than your wife or even with your babysitter with your children? When did your last time hug your children? Listen to their stories? Read fairy tales for them? Feed them? Change their diapers?
Monday, November 21, 2011
Wednesday, October 26, 2011
THE DOTS
I got several private messages, after posting a status of ‘You are right Mr Jobs, "You can't connect the dots looking forward you can only connect them looking backwards." that's why life can be so unpredictable and has no pattern at the beginning but not later on :)’
“What did you mean in your status, Nurul?”
I found it quite difficult to answer in a sms. It won’t give me enough space to tell the whole ideas within. Moreover, it takes quite long time for me to realize the relation of Jobs’ quote with my experience.
So let me start with the children’s game of connecting dots. When i was child, i had a book of this game. Each page had a certain disguised pattern. The pattern was revealed after you see the whole dots in it, thoroughly. The picture then became clearer as you trying to connect each dots, carefully. AHA! You see a clear picture of a star, lets say.
So how that story relate to what we talk about at the beginning?
It is an abstract idea. We shall start, again, from the dots. Let’s make an agreement that a dot represents certain point of our life. It could be time when we decide to enter a school, to join a particular work, to travel, to break up with our girl/oy friend. Furthermore, it could be something that has nothing to do with your effort. The time where you significant others die, disaster, get gift, win a lottery or many others. Simply to say that the life of ours consist of many dots.
Monday, August 08, 2011
Lake(s) Matters
“Aku akhirnya tergoda pingin nyoba ADS neh. Setelah mendapat penjelasan dari Fullbright bahwa bisa ambil S2 meski sudah pernah ambil S2, mungkin ADS punya pola yang sama”.
“Hah! Ng Uni apa? La emg oleh kok njupuk S2 meneh, Who said u cant? :p Uni apa ADS kan?”
“Iya ADS. Aku mu ambil di University of Queensland, University of Adeleide, or Australian National University”
“AH, Adeleide is sweet, peace n quiet, Queensland is warm n fun, Canberra is boring! Haha, u pick one. Cepet2 apply! “
“Which one of those cities that has Lake? A lake does matter for me.”
“Definitely adeled! Haha deket northern terrace! Big lake! Hehe”
Itu adalah sejumlah sms yang saling terkirim antara aku dan sohib. Keberadaan sebuah danau menjadi penentu universitas mana yang akan kupilih. Aku tidak bercanda. Bahkan bukan hanya untuk kuliah tapi untuk tinggal. Aku lebih memilih, jika bisa, untuk tinggal dekat dengan sebuah danau.
Teduh. Biru. Ketenangannya setara dengan kedalamannya. Persis seperti yang dikatakan pepatah kuno, “Air beriak tanda tak dalam”. Menatapnya, aku merasa dipeluk oleh alam. Biru yang dipagari oleh hijau tanaman. Tak ada mobil, berisik kereta maupun hilir manusia. Nihil kesibukan komputer dan FB. Hanya aku dan air.
Dingin desir angin bisa kutahan, demi sejenak bisa kumenikmati indahnya. Berdiri di ujung dermaga, membiarkan ujung-ujung bajuku melambai. Mengijikan angin menyentuh wajah. Berdesah atau bahkan bertengkar dalam hati. Monolog. Terkadang hanya senyap. Jeda. Mengijinkan diri hanyut dalam kesederhanaan alam. Menghirup dalam udara ke dalam paru-paru setelah berlari-lari kecil menujunya.
Danau pertama yang memukau adalah Takengon, Aceh Tengah. Ia begitu besar pun masih perawan. Sayang tak banyak waktu menikmati keindahannya. Kenangan yang paling dalam terukir adalah selama di Swedia. Aku rela berlari-lari diantara salju dan dinginnya winter di pagi atau sore hari demi menemuinya. Berbincang dengannya. Atau berjalan menyusur tepinya yang jauh demi menuju ke rumah kawan. Beberapa kali memandangnya dari kejauhan dari dalam kereta Stockholm-Linkoping dan sebaliknya. Swedia adalah negara 1000 danau. Dan aku merindukannya sama seperti merindu damai danau.
Gambar di atas diambil dari film “The girl with dragon tattoo”. Melihat danau adalah bagian yang paling berkesan. Swedia berarti danau. Orang-orangnya sama dengan tenangnya danau. Kadang terkesan dingin tapi jika kau ijinkan dan beri mereka waktu maka mereka akan menyambutmu hangat, terbuka. Sehangat pelukan danau.
Perlukah Mata Kuliah Empati?
Dokter itu masih muda plus cantik. Saat berjalan terlihat begitu anggun suaranya pun kecil. Tapi itu bukan harga mati bahwa beliau bisa berempati kepada pasien. Menyesal harus kukatakan seperti itu.
“Kenapa, bu?” Tanya dokter itu begitu memasuki ruangan diikuti oleh pasien yang bahkan belum sempat duduk.
“Saya kepalanya pusing, dok. saya sudah berobat ke rumah sakit daerah dan sudah EEG. Tapi setelah minum obat yang diresepkan, ternyata keluhan saya tidak berkurang. Karena itu saya kemari”.
“Pusing di daerah mana?”
“Di daerah sini, dok”, Pasien menunjuk kan kepala bagian frontal, depan.
“Nyerinya seperti apa?”
“Waktu awal nyerinya cekot-cekot tapi kadang ngga terasa hanya saja saya limbung. Saya juga tidak tahu nyerinya bagaimana”.
“Yang sakit saja tidak tahu, ya”, Kata dokter itu pelan dan tegas.
Apakah Anda merasakan nada yang sangat sinis? Bayangkan Anda yang duduk di sana menggantikan pasien itu. Lalu ketika Anda sedang berusaha mencerita keluhan Anda, dokter Anda menuduh Anda incompetible bahkan untuk menjelaskan tentang keadaan Anda.
Susah payah pasien itu berusaha menjelaskan kondisinya. Dia mulai bercerita bahwa dia sering punya tekanan darah rendah, pernah sebesar 90/60. Pada saat itu, ia akan merasa pusing dan kadang tidak bisa melakukan aktivitas.
“Tekanan darah saya juga kadang 90, tapi saya tidak masalah”, Kata wanita berjas putih itu.
Sekali lagi, dokter muda itu menuduh klien mengada-ada dan bahkan membandingkan dengan kondisinya sendiri.
Si pasien terdiam sesaat dan meneruskan keluh kesahnya. Ia menceritakan bagaimana ia mengalami kesulitan tidur sehingga tekanan darahnya tinggi, 130, sewaktu akan mengambil hasil EEG,. Pasien ini belum pernah mempunyai tekanan darah setinggi itu. Tiba-tiba ia teringat bahwa menstruasinya kurang lancar setelah menjalani KB suntik, tiga tahun yang lalu. Akhir-akhir ini perutnya juga sakit.
“KB tidak ada hubungannya dengan sakit perut, Bu”, Kata wanita berjas putih berkacamata itu tanpa memandang sang pasien.
Kemudian pasien ini berusaha menjelaskan bahwa ia menjalani terapi pijat. Sebenarnya pijat yang beliau maksud adalah refleksi. Dan beliau ingin menceritakan bahwa ia sangat kesakitan ketika penerapinya itu menekan daerah abdomen, perut dengan satu jarinya.
Tapi beliau berujar, ”Saya dipijat”, Menggunakan ibu jarinya untuk menekan abdomennya.
“Pijat di daerah itu tidak boleh bu. Di sana kan banyak organ lunaknya”.
Dering ringtone terdengar. Perlahan dokter itu mengalihkan perhatian ke saku jasnya dan mengambil dompet berisi HP. Tanpa meminta maaf dan merubah posisi duduk, wanita di depan pasien itu santai menjawab telepon.
“Iya, saya sekarang sedang di klinik...”, Suaranya terdengar ringan asyik masyuk dengan HP selama beberapa menit.
Tidak ada percakapan penting terdengar. Hanya komunikasi ringan tapi dokter muda itu tampak lebih menikmati komunikasi di telepon itu dari pada menyadari bahwa pasien di hadapannya sedang kalut. Kabar mengenai dokter muda/ residen yang seenaknya bermain gadget di depan pasien memang pernah terdengar. Tapi berbicara ketika seorang pasien yang lebih tua sedang menceritakan keluhannya, derajat kekurangsopanannya sedikit bertambah. Apalagi ketika hal itu dilakukan oleh seorang muda yang terkesan alim dari jilbab lebar dan baju longgar yang dikenakannya.
Pasien itu terpaksa harus menunggu. Ia menunduk, terkadang mendongak sambil memandang gambar-gambar yang tertempel.
Kemudian dokter itu menyuruh pasien tidur di ranjang pemeriksaan. Setelah tidur ia meletakkan jari telunjuknya di depan sudut mata kanan pasien dan menggerakkannya ke sisi yang lain.
“Ibu bisa lihat jari saya?”
“Ya bisa lihat, saya menggunakan kacamata. Kalau dilepas baru saya tidak lihat”.
“Ya saya juga kalau melepas kacamata saya juga jadi ngga jelas, Bu”
Jelas di situ terlihat bahwa pasien kurang diberikan informasi mengenai pemeriksaan yang akan dilakukan. Dari sudut pasien, ia mengira dokter sedang mengetes kemampuan matanya. Sedangkan dari sisi dokter, mungkin ia merasa pasiennya kurang sopan dan jahil karena menjawab seperti itu.
Dokter itu masih bingung apa yang akan dituliskan pada lembar pengkajiannya. Lembar itu masih putih dan tangannya kuat menggenggam pulpen. Berusaha mencari ide.
“Kalau CT scan bagaimana? Nanti takut lagi”,Katanya,” Wah masih ngga jelas ini”.
Ia kemudian mengambil alat pengukur derajat nyeri. Sebuah kertas bertuliskan angka nol sampai sepuluh. Nol berarti tidak merasakan nyeri sama sekali dan sepuluh berarti nyeri yang sangat hebat. Dan meminta klien untuk merangking derajat nyerinya.
“Ya saya pusing sekali kemarin mba”
“Nomer lima atau enam, bu?”
“Ya kemarin itu yang jelas saya sampai sangat kesakitan?”
“Bukan sembilan atau sepuluh?”
Pasien itu menggeleng. Ia tidak yakin akan menilai berapa kesakitan yang sudah lewat itu. Tapi jika ia diminta menilai rentang kemarahannya pada sang dokter saat itu, mungkin ia dengan lantang dapat menjawab, “Delapan atau sepuluh”.
“Kenapa, bu?” Tanya dokter itu begitu memasuki ruangan diikuti oleh pasien yang bahkan belum sempat duduk.
“Saya kepalanya pusing, dok. saya sudah berobat ke rumah sakit daerah dan sudah EEG. Tapi setelah minum obat yang diresepkan, ternyata keluhan saya tidak berkurang. Karena itu saya kemari”.
“Pusing di daerah mana?”
“Di daerah sini, dok”, Pasien menunjuk kan kepala bagian frontal, depan.
“Nyerinya seperti apa?”
“Waktu awal nyerinya cekot-cekot tapi kadang ngga terasa hanya saja saya limbung. Saya juga tidak tahu nyerinya bagaimana”.
“Yang sakit saja tidak tahu, ya”, Kata dokter itu pelan dan tegas.
Apakah Anda merasakan nada yang sangat sinis? Bayangkan Anda yang duduk di sana menggantikan pasien itu. Lalu ketika Anda sedang berusaha mencerita keluhan Anda, dokter Anda menuduh Anda incompetible bahkan untuk menjelaskan tentang keadaan Anda.
Susah payah pasien itu berusaha menjelaskan kondisinya. Dia mulai bercerita bahwa dia sering punya tekanan darah rendah, pernah sebesar 90/60. Pada saat itu, ia akan merasa pusing dan kadang tidak bisa melakukan aktivitas.
“Tekanan darah saya juga kadang 90, tapi saya tidak masalah”, Kata wanita berjas putih itu.
Sekali lagi, dokter muda itu menuduh klien mengada-ada dan bahkan membandingkan dengan kondisinya sendiri.
Si pasien terdiam sesaat dan meneruskan keluh kesahnya. Ia menceritakan bagaimana ia mengalami kesulitan tidur sehingga tekanan darahnya tinggi, 130, sewaktu akan mengambil hasil EEG,. Pasien ini belum pernah mempunyai tekanan darah setinggi itu. Tiba-tiba ia teringat bahwa menstruasinya kurang lancar setelah menjalani KB suntik, tiga tahun yang lalu. Akhir-akhir ini perutnya juga sakit.
“KB tidak ada hubungannya dengan sakit perut, Bu”, Kata wanita berjas putih berkacamata itu tanpa memandang sang pasien.
Kemudian pasien ini berusaha menjelaskan bahwa ia menjalani terapi pijat. Sebenarnya pijat yang beliau maksud adalah refleksi. Dan beliau ingin menceritakan bahwa ia sangat kesakitan ketika penerapinya itu menekan daerah abdomen, perut dengan satu jarinya.
Tapi beliau berujar, ”Saya dipijat”, Menggunakan ibu jarinya untuk menekan abdomennya.
“Pijat di daerah itu tidak boleh bu. Di sana kan banyak organ lunaknya”.
Dering ringtone terdengar. Perlahan dokter itu mengalihkan perhatian ke saku jasnya dan mengambil dompet berisi HP. Tanpa meminta maaf dan merubah posisi duduk, wanita di depan pasien itu santai menjawab telepon.
“Iya, saya sekarang sedang di klinik...”, Suaranya terdengar ringan asyik masyuk dengan HP selama beberapa menit.
Tidak ada percakapan penting terdengar. Hanya komunikasi ringan tapi dokter muda itu tampak lebih menikmati komunikasi di telepon itu dari pada menyadari bahwa pasien di hadapannya sedang kalut. Kabar mengenai dokter muda/ residen yang seenaknya bermain gadget di depan pasien memang pernah terdengar. Tapi berbicara ketika seorang pasien yang lebih tua sedang menceritakan keluhannya, derajat kekurangsopanannya sedikit bertambah. Apalagi ketika hal itu dilakukan oleh seorang muda yang terkesan alim dari jilbab lebar dan baju longgar yang dikenakannya.
Pasien itu terpaksa harus menunggu. Ia menunduk, terkadang mendongak sambil memandang gambar-gambar yang tertempel.
Kemudian dokter itu menyuruh pasien tidur di ranjang pemeriksaan. Setelah tidur ia meletakkan jari telunjuknya di depan sudut mata kanan pasien dan menggerakkannya ke sisi yang lain.
“Ibu bisa lihat jari saya?”
“Ya bisa lihat, saya menggunakan kacamata. Kalau dilepas baru saya tidak lihat”.
“Ya saya juga kalau melepas kacamata saya juga jadi ngga jelas, Bu”
Jelas di situ terlihat bahwa pasien kurang diberikan informasi mengenai pemeriksaan yang akan dilakukan. Dari sudut pasien, ia mengira dokter sedang mengetes kemampuan matanya. Sedangkan dari sisi dokter, mungkin ia merasa pasiennya kurang sopan dan jahil karena menjawab seperti itu.
Dokter itu masih bingung apa yang akan dituliskan pada lembar pengkajiannya. Lembar itu masih putih dan tangannya kuat menggenggam pulpen. Berusaha mencari ide.
“Kalau CT scan bagaimana? Nanti takut lagi”,Katanya,” Wah masih ngga jelas ini”.
Ia kemudian mengambil alat pengukur derajat nyeri. Sebuah kertas bertuliskan angka nol sampai sepuluh. Nol berarti tidak merasakan nyeri sama sekali dan sepuluh berarti nyeri yang sangat hebat. Dan meminta klien untuk merangking derajat nyerinya.
“Ya saya pusing sekali kemarin mba”
“Nomer lima atau enam, bu?”
“Ya kemarin itu yang jelas saya sampai sangat kesakitan?”
“Bukan sembilan atau sepuluh?”
Pasien itu menggeleng. Ia tidak yakin akan menilai berapa kesakitan yang sudah lewat itu. Tapi jika ia diminta menilai rentang kemarahannya pada sang dokter saat itu, mungkin ia dengan lantang dapat menjawab, “Delapan atau sepuluh”.
Sorry
Pardon me
For not letting you in
For not realizing that i might miss the chance to meet again
Even denying the hidden feeling inside
For closing my ears, eyes even heart for you
I am sorry
For my run, hindering you
For not giving you chance to know me
Not even give chance for myself to know you
Now, that i am walking alone
Talking to no one
Smiling to no body
Staring to nothing
I am Kneeling down by myself
Begging for the Heaven to cross our roads again
Trying insanely to be back to the place where we might meet
At least, please give me chance to say . . .sorry
Friday, June 17, 2011
Aku Adanya
Jika aku besar jangan kerdilkan aku
Jika aku mungil jangan gembungkan
Hanya ijinkan menjadi aku apa adanya
Jika aku terpaksa jauh, rengkuhlah aku dengan doamu
Jika ku dekat denganmu, renggangkanlah sedikit peluk itu
Hanya ijinkan aku berada dimana hatiku menuju
Anak panah itu tidak mungkin lepas tanpa busur
Namun maknanya sirna ketika hanya berdampingan
Ia, sesungguhnya, bisa melesat dan menghebat
Sebesar kemampuan dan upayanya
Tapi ia mengharap restu dan doa
Dari Sang Busur, Bunda
Jika aku mungil jangan gembungkan
Hanya ijinkan menjadi aku apa adanya
Jika aku terpaksa jauh, rengkuhlah aku dengan doamu
Jika ku dekat denganmu, renggangkanlah sedikit peluk itu
Hanya ijinkan aku berada dimana hatiku menuju
Anak panah itu tidak mungkin lepas tanpa busur
Namun maknanya sirna ketika hanya berdampingan
Ia, sesungguhnya, bisa melesat dan menghebat
Sebesar kemampuan dan upayanya
Tapi ia mengharap restu dan doa
Dari Sang Busur, Bunda
Wednesday, May 25, 2011
Aku dan masakan (Sebuah Rahasia)
“Bi Lung kok resep masakan enaknya banyak?” Komentar ponakanku di sabtu sore.
Sampai saat ini aku masih terngiang komentarnya yang lugas itu, sebulan yang lalu. Sebelumnya dia menolak mengakui bahwa dia suka masakanku saat itu, nasi goreng. Akhirnya kuputuskan untuk menggunakan sedikit ‘ancaman’ bahwa aku akan menghabiskannya. Barulah ia menunjukkan kesukaannya dan menghabiskan nasi goreng itu setelah sebelumnya menghabiskan jamur goreng tepung.
Terus terang jarang aku mendapat pujian kalau dikaitkan dengan masakan. Hampir setiap orang yang mengenalku merasa yakin aku tidak bisa, bahkan tidak pernah, memasak. Well, itu tidak sepenuhnya salah karena aku memang jarang ke dapur. Tapi bila kondisi ‘memaksa’, toh aku bisa juga turun tangan ke dapur.
Ada dua aturan ketika seorang Nurul memasak, mudah dan tanpa takaran. Kiblatku dalam memasak adalah kemudahan memperoleh bahan-bahan, bumbu yang ringkas dan proses yang tidak terlalu berbelit. Jadi bukan masalah apakah itu masakan Jawa, Cina, Swedia, Korea, selama itu eatable , bisa dimakan, pasti pantas dicoba. Bumbu utama garam dan merica saja terkadang sudah cukup, seperti ketika membuat mashed potato, kentang tumbuk. Atau bolehlah ditambah bawang putih seperti ketika kita membuat sup ayam.
Nasi goreng itu bukan baru pertama kalinya kubuat. Tapi hasil masakannya memang lezat untuk kali ini. Ini adalah efek dari cara memasakku yang tanpa takaran. Aku bisa menjadi sangat impulsif ke dapur ketika membayangkan makanan tertentu. Dan terus terang mengingat-ingat berapa sendok takaran garam, gula itu sedikit menggangguku. Belum lagi untuk memastikan apakah itu sendok makan atau teh. Hmmm bagaimana kalau kita improvisasi saja ketika memasak, berkhayal menjadi Rachael Ray. Aji-aji ‘feeling’ sering digunakan padahal perasaan sering berubah-ubah. Ada kalanya aku menjadi sangat teliti dan bisa berkoordinasi dengan baik untuk menggerakkan tangan dan langsung menuang bumbu sewaktu memasak. Tapi di banyak kesempatan aku terlalu ceroboh dan tidak mau mencicipi sebelum mematikan kompor dan menuang ke tempat saji. Dengan kata lain, tidak ada revisi :d.
Aku menjadi terkenang satu kesempatan ketika masih belajar di Swedia. Waktu itu, aku sangat kangen mie goreng Jowo. Tanpa mencari resepnya, aku langsung mencobanya. Kubayangkan rasa mie goreng itu, pastilah menggunakan bumbu-bumbu dasar plus bumbu lain yang aku kurang tahu dan kecap. Di swedia kita bisa menemukan “Sambal Oelek” dengan mudah di supermarket. Sambal ini, sebagaimana sambal-sambal lain yang kita kenal, sudah memiliki cita rasa yang kuat. Jadi aku memutuskan untuk menggunakan itu dan tambahan bawang putih, bombay, garam, merica dan kecap sebagai bumbu. Tanpa mencicipi, hanya dari ilmu perkiraan bahwa masakan sudah siap aku mematikan kompor. Di malam ketika aku memasak, aku berbagi dengan teman Swediaku.
“Aku tidak menyangka hasilnya akan seenak ini, padahal di awal terkesan berantakan”, Katanya.
Ketika keesokan harinya kubawa sebagai bekal makan siang, temanku memuji. Dan bahkan memintaku untuk memasakkan ulang mie Jowo itu ketika kami, mahasiswa Indonesia, berkumpul. Kali ini terus terang aku grogi, dan tidak percaya diri. Walhasil, tanganku memasukkan terlalu banyak garam dan yah begitulah masakan kita kali ini gagal. haha
Sampai saat ini aku masih terngiang komentarnya yang lugas itu, sebulan yang lalu. Sebelumnya dia menolak mengakui bahwa dia suka masakanku saat itu, nasi goreng. Akhirnya kuputuskan untuk menggunakan sedikit ‘ancaman’ bahwa aku akan menghabiskannya. Barulah ia menunjukkan kesukaannya dan menghabiskan nasi goreng itu setelah sebelumnya menghabiskan jamur goreng tepung.
Terus terang jarang aku mendapat pujian kalau dikaitkan dengan masakan. Hampir setiap orang yang mengenalku merasa yakin aku tidak bisa, bahkan tidak pernah, memasak. Well, itu tidak sepenuhnya salah karena aku memang jarang ke dapur. Tapi bila kondisi ‘memaksa’, toh aku bisa juga turun tangan ke dapur.
Ada dua aturan ketika seorang Nurul memasak, mudah dan tanpa takaran. Kiblatku dalam memasak adalah kemudahan memperoleh bahan-bahan, bumbu yang ringkas dan proses yang tidak terlalu berbelit. Jadi bukan masalah apakah itu masakan Jawa, Cina, Swedia, Korea, selama itu eatable , bisa dimakan, pasti pantas dicoba. Bumbu utama garam dan merica saja terkadang sudah cukup, seperti ketika membuat mashed potato, kentang tumbuk. Atau bolehlah ditambah bawang putih seperti ketika kita membuat sup ayam.
Nasi goreng itu bukan baru pertama kalinya kubuat. Tapi hasil masakannya memang lezat untuk kali ini. Ini adalah efek dari cara memasakku yang tanpa takaran. Aku bisa menjadi sangat impulsif ke dapur ketika membayangkan makanan tertentu. Dan terus terang mengingat-ingat berapa sendok takaran garam, gula itu sedikit menggangguku. Belum lagi untuk memastikan apakah itu sendok makan atau teh. Hmmm bagaimana kalau kita improvisasi saja ketika memasak, berkhayal menjadi Rachael Ray. Aji-aji ‘feeling’ sering digunakan padahal perasaan sering berubah-ubah. Ada kalanya aku menjadi sangat teliti dan bisa berkoordinasi dengan baik untuk menggerakkan tangan dan langsung menuang bumbu sewaktu memasak. Tapi di banyak kesempatan aku terlalu ceroboh dan tidak mau mencicipi sebelum mematikan kompor dan menuang ke tempat saji. Dengan kata lain, tidak ada revisi :d.
Aku menjadi terkenang satu kesempatan ketika masih belajar di Swedia. Waktu itu, aku sangat kangen mie goreng Jowo. Tanpa mencari resepnya, aku langsung mencobanya. Kubayangkan rasa mie goreng itu, pastilah menggunakan bumbu-bumbu dasar plus bumbu lain yang aku kurang tahu dan kecap. Di swedia kita bisa menemukan “Sambal Oelek” dengan mudah di supermarket. Sambal ini, sebagaimana sambal-sambal lain yang kita kenal, sudah memiliki cita rasa yang kuat. Jadi aku memutuskan untuk menggunakan itu dan tambahan bawang putih, bombay, garam, merica dan kecap sebagai bumbu. Tanpa mencicipi, hanya dari ilmu perkiraan bahwa masakan sudah siap aku mematikan kompor. Di malam ketika aku memasak, aku berbagi dengan teman Swediaku.
“Aku tidak menyangka hasilnya akan seenak ini, padahal di awal terkesan berantakan”, Katanya.
Ketika keesokan harinya kubawa sebagai bekal makan siang, temanku memuji. Dan bahkan memintaku untuk memasakkan ulang mie Jowo itu ketika kami, mahasiswa Indonesia, berkumpul. Kali ini terus terang aku grogi, dan tidak percaya diri. Walhasil, tanganku memasukkan terlalu banyak garam dan yah begitulah masakan kita kali ini gagal. haha
Sunday, March 27, 2011
Akhir Pekan Waktunya Bermimpi
Hari ini dan kemarin, bolehlah aku bermimpi. Sebentar saja. Hanya beberapa beberapa jam saja dari dua hari itu, aku ingin bermimpi. Bukan. Bukan tidur yang aku bayangkan untuk kulakukan. Tapi sejenak melepaskan batasan-batasan rasionalitas yang mengungkung pewujudan miimpi. Dua hari ini saja, aku ingin melupakan kenyataan bahwa mimpi itu masih terlalu jauh untuk direngkuh. Terlalu abstrak untuk dicecap rasanya dan bahkan terlalu mustahil untuk sekedar dibayangkan.
Pagi hari, menemukan file lagu schiller feat Lang Lang (Time for dreams), adalah anugerah bagiku. Cobalah dengarkan lagunya yang ritmis mengalun. Setiap dentingan piano Lang-Lang seakan bisa memberi semangat jantungku untuk berdenyut, setiap alunannya memompa semangat untuk terus berusaha. Karena bahkan berusaha dan mempunyai gairah hidup itupun harta yang sangat berharga. Dan baru hari ini, aku menyadari bahwa akhir pekan adalah hari yang sangat kunikmati. Aku tidak perlu khawatir bahwa yang kulakukan akan sia-sia. Tidak memikirkan, bahwa orang lain mungkin menganggap aneh ide dan semangatku.
Sedikit orang berani bermimpi. Dan lebih sedikit lagi orang yang berani berusaha meraih mimpi. Apalagi untuk seorang wanita ‘timur’ yang sudah cukup umur untuk menikah. Tidak akan ada lagi yang memberimu semangat untuk “Gantungkan cita-citamu setinggi langit”. Oughhhhh..huffff..lupakan itu! “Sekarang saatnya untuk berharap ada seseorang yang sudi melamarmu”. Sepertinya Cita-cita ibu Kartini baru terkabulkan sampai tahap dimana seorang perempuan hanya boleh bermimpi sampai usia tertentu. Pramudya dalam bukunya ‘Kartini’ mengatakan, dengan sinis, kemerdekaan yang diidamkan Kartini hanya dapat diperoleh ketika dia menjadi Janda.
Jadi ijinkan hanya di dua hari ini aku bermimpi dan berusaha untuk mewujudkan mimpiku. Hanya demi dua hari ini saja, aku akan dengan semangat melewati lima hari lainnya. Untuk dua hari ini, aku yakin suatu saat aku akan meraih yang kuinginkan. Dua hari ini...
Backsound: Schiller feat Lang Lang
Pagi hari, menemukan file lagu schiller feat Lang Lang (Time for dreams), adalah anugerah bagiku. Cobalah dengarkan lagunya yang ritmis mengalun. Setiap dentingan piano Lang-Lang seakan bisa memberi semangat jantungku untuk berdenyut, setiap alunannya memompa semangat untuk terus berusaha. Karena bahkan berusaha dan mempunyai gairah hidup itupun harta yang sangat berharga. Dan baru hari ini, aku menyadari bahwa akhir pekan adalah hari yang sangat kunikmati. Aku tidak perlu khawatir bahwa yang kulakukan akan sia-sia. Tidak memikirkan, bahwa orang lain mungkin menganggap aneh ide dan semangatku.
Sedikit orang berani bermimpi. Dan lebih sedikit lagi orang yang berani berusaha meraih mimpi. Apalagi untuk seorang wanita ‘timur’ yang sudah cukup umur untuk menikah. Tidak akan ada lagi yang memberimu semangat untuk “Gantungkan cita-citamu setinggi langit”. Oughhhhh..huffff..lupakan itu! “Sekarang saatnya untuk berharap ada seseorang yang sudi melamarmu”. Sepertinya Cita-cita ibu Kartini baru terkabulkan sampai tahap dimana seorang perempuan hanya boleh bermimpi sampai usia tertentu. Pramudya dalam bukunya ‘Kartini’ mengatakan, dengan sinis, kemerdekaan yang diidamkan Kartini hanya dapat diperoleh ketika dia menjadi Janda.
Jadi ijinkan hanya di dua hari ini aku bermimpi dan berusaha untuk mewujudkan mimpiku. Hanya demi dua hari ini saja, aku akan dengan semangat melewati lima hari lainnya. Untuk dua hari ini, aku yakin suatu saat aku akan meraih yang kuinginkan. Dua hari ini...
Backsound: Schiller feat Lang Lang
Wednesday, March 02, 2011
Cinta Vs Lelang
Cinta dan pelelangan, apa hubungannya? Membaca buku ‘Sway’, belum menginspirasiku untuk menulis. Meski bagian pelelangan dan hubungannya dengan keputusan US untuk membantu Vietnam Selatan melawan komunisme dari utara cukup mengejutkanku. Hingga seorang kawan menceritakan kehidupan cintanya, ini memberiku ide, “Cinta juga seperti pelelangan”. Di pelelangan, ada kalanya kita beruntung mendapatkan barang berharga dengan harga murah di lain waktu kita rugi karena membayar mahal untuk benda yang kurang berharga.
Jadi begini, dalam buku itu diceritakan seorang dosen di Harvard Business School mengadakan ‘Lelang $20’ untuk kelas negosiasi. Peraturannya hanya dua, kenaikan penawaran hanya boleh selisih $1 satu dengan yang lain dan penawar tertinggi kedua harus membayar sejumlah tawarannya meskipun kalah.
Seperti yang telah diperkirakan oleh dosen, tahap pertama berlangsung sangat cepat. Setiap mahasiswa membayangkan mendapatkan sedikit keuntungan dari $20. Ritme sedikit melambat ketika penawaran mencapai $12-$16, tahap kedua. Sebagian besar sudah menebak ke arah mana lelang ini. $20 menjadi kurang bernilai. Hingga akhirnya hanya tersisa dua penawar tertinggi. Penawar kedua ($16) bisa memilih untuk berhenti dan mengakui kekalahannya atau menaikkan tawaran menjadi $18.
“Sudahlah, menyerah saja. Mumpung kekalahanmu masih sedikit”, Mungkin itu yang dikatakan teman-temannya yang lain sambil tersenyum melihat pertarungan ini.
Tapi di tahap ketiga ini, kedua penawar itu sedikit sulit menerima kekalahan dan menjadi lebih berkomitmen untuk memenangkan lelang. Penasaran. “Aku masih bisa menang”. Dan benar, lelang ini terus berlangsung. Semakin dalam terperosok ke dalam lubang dan sulit melepaskan. Penawaranpun terus berlanjut, $50,.. $75 dan penawaran tertinggi mencapai $204. Seperti judul bukunya, ‘Sway’, kita terkadang berlaku tidak rasional. Dalam hal ini, sulit menerima kekalahan dan komitmen menghalangi untuk berpikir ‘waras’.
Kembali ke cerita teman saya. Bagaimana menghubungkannya? Di awal masa romantisme itu berkembang, itu adalah fase-fase euphoria. Sama seperti ketika para mahasiswa membayangkan memperoleh $20. Kata-kata sayang mudah diucap di sini. Janji-janji manis diobral murah. Perilaku menyakitkan dinihilkan. Semuanya indah.
Jadi begini, dalam buku itu diceritakan seorang dosen di Harvard Business School mengadakan ‘Lelang $20’ untuk kelas negosiasi. Peraturannya hanya dua, kenaikan penawaran hanya boleh selisih $1 satu dengan yang lain dan penawar tertinggi kedua harus membayar sejumlah tawarannya meskipun kalah.
Seperti yang telah diperkirakan oleh dosen, tahap pertama berlangsung sangat cepat. Setiap mahasiswa membayangkan mendapatkan sedikit keuntungan dari $20. Ritme sedikit melambat ketika penawaran mencapai $12-$16, tahap kedua. Sebagian besar sudah menebak ke arah mana lelang ini. $20 menjadi kurang bernilai. Hingga akhirnya hanya tersisa dua penawar tertinggi. Penawar kedua ($16) bisa memilih untuk berhenti dan mengakui kekalahannya atau menaikkan tawaran menjadi $18.
“Sudahlah, menyerah saja. Mumpung kekalahanmu masih sedikit”, Mungkin itu yang dikatakan teman-temannya yang lain sambil tersenyum melihat pertarungan ini.
Tapi di tahap ketiga ini, kedua penawar itu sedikit sulit menerima kekalahan dan menjadi lebih berkomitmen untuk memenangkan lelang. Penasaran. “Aku masih bisa menang”. Dan benar, lelang ini terus berlangsung. Semakin dalam terperosok ke dalam lubang dan sulit melepaskan. Penawaranpun terus berlanjut, $50,.. $75 dan penawaran tertinggi mencapai $204. Seperti judul bukunya, ‘Sway’, kita terkadang berlaku tidak rasional. Dalam hal ini, sulit menerima kekalahan dan komitmen menghalangi untuk berpikir ‘waras’.
Kembali ke cerita teman saya. Bagaimana menghubungkannya? Di awal masa romantisme itu berkembang, itu adalah fase-fase euphoria. Sama seperti ketika para mahasiswa membayangkan memperoleh $20. Kata-kata sayang mudah diucap di sini. Janji-janji manis diobral murah. Perilaku menyakitkan dinihilkan. Semuanya indah.
Sunday, February 27, 2011
I am A Human (Writer) being
It is good to write some notes. You never know when you are going to need those. Well, yeah! Today i found it quite a thing.
October 8th 2010. Four months ago, more or less. I wrote this note.
“Ghost is for those who used to be a human being”, Someone said that in Ubud Writers and Readings festival 2010.
Let me tell you about the festival, first. It was really a pleasant to be a part of those writers and readers. What an atmosphere i would say. It didn’t really matter whether you are famous or not. Or whether you are involved actively or just enjoying the papers. It was fun. What real conversations’ lack is that we could not ask for the full attentions of our counterparts, listeners. This is not the case in writing. Furthermore, we do express our feelings and thoughts without any worry to be disturbed. No..no chance for that.
And the best part is I am a life, i am not yet a ghost. At least i got the confirmation from my friends in one of Detri Inn’s room. Yes, and they who said so are human being, i am sure. Hahaha but let me be straight on this.
I was a ghost (writer) before. I was busy to cover myself up and not to show my name on the papers i worked on. It was so tiring to be a ghost. I gave it in. Maybe, it because i still have a complete soul and body. Alhamdulillah. Thanks God for this.
October 8th 2010. Four months ago, more or less. I wrote this note.
“Ghost is for those who used to be a human being”, Someone said that in Ubud Writers and Readings festival 2010.
Let me tell you about the festival, first. It was really a pleasant to be a part of those writers and readers. What an atmosphere i would say. It didn’t really matter whether you are famous or not. Or whether you are involved actively or just enjoying the papers. It was fun. What real conversations’ lack is that we could not ask for the full attentions of our counterparts, listeners. This is not the case in writing. Furthermore, we do express our feelings and thoughts without any worry to be disturbed. No..no chance for that.
And the best part is I am a life, i am not yet a ghost. At least i got the confirmation from my friends in one of Detri Inn’s room. Yes, and they who said so are human being, i am sure. Hahaha but let me be straight on this.
I was a ghost (writer) before. I was busy to cover myself up and not to show my name on the papers i worked on. It was so tiring to be a ghost. I gave it in. Maybe, it because i still have a complete soul and body. Alhamdulillah. Thanks God for this.
Berdamai dengan Tuhan Sembilan Centi 4_Be smart girls!
Tulisan terakhir saya mengenai Tuhan Sembilan Centi ini adalah di bulan Februari 2010. Satu tahun yang lalu. Sempat beberapa ide hinggap namun hilang sebelum sempat dituangkan dalam bentuk tulisan.
Beberapa waktu lalu, aku duduk berdampingan dengan seorang ibu berjilbab dalam sebuah tiga hari pelatihan. Tidak terlalu yakin dengan topik pembicaraan apa yang membuat beliau menyatakan sebuah pengakuan.
“Saya baru berhenti merokok beberapa bulan yang lalu”, Katanya sambil tersenyum.
Saya menoleh, sedikit membelalak dan ternganga.
“Maksud ibu, ibu perokok aktif sebelumnya? Berapa banyak perhari?”.
Aku tidak bisa menahan keingintahuanku. Tidak terlintas di benakkku, seorang ibu yang seusia ibuku sendiri dan berjilbab rapi merokok. Yeah menghubungkan rokok dengan praktik keagamaan seseorang mungkin ide yang terlalu lugu. Dan bukan tidak mungkin seorang wanita merokok. Hanya saja untuk generasi beliau?
Penjelasannya pertanyaan saya di atas adalah sebagaimana berikut ini. Wanita di dunia timur sangat beruntung karena dilindungi oleh norma sosial dalam hal merokok. Setidaknya hal itu mengontrol mereka untuk menjaga jarak dengan perilaku merokok. Kalimat tersebut didukung oleh data bahwa presentase perokok laki-laki dan perempuan per total penduduk Indonesia adalah sekitar 59% dan 3,7%. Bagaimana dengan jumlah rokok yang dihisap perempuan?
“Bisa satu bungkus perhari, mba”.
Subscribe to:
Posts (Atom)