Jepang bagi saya dan kebanyakan orang di dunia adalah negara terdidik yang
sangat menghormati pengetahuan dan buku tentu saja. Meski saat ini hampir semua
informasi dapat diakses dengan cepat melalui apa yang disebut internet, buku tetap sumber informasi yang penting dan tidak dapat disepelekan. Negara ini menyimpan sejarah kelam bagi pengetahuan terutama untuk
kaum perempuan.
Hal ini saya temukan setelah membaca sebuah buku berjudul Ginko karya Jun’ichi
watanabe. Masa kelam itu ada setidaknya sampai dengan sebelum abad 19. Ginko
sendiri lahir pada 4 April 1851 di Desa Tawarase, Kumagaya, Saitama. Saat itu
masyarakat Jepang merasa mempunyai aib besar ketika memiliki putri yang gemar
membaca! Apalagi yang ingin bersekolah tinggi. Seakan perempuan ditakdirkan hanya
untuk menikah, mengurus anak dan rumah. Tidak ada dan tidak perlu melakukan hal
lain. Apalagi membaca dan mempunyai keingintahuan lebih mengenai benyak hal.
Begitu juga Ginko. Ia dinikahkan dengan seorang anak keluarga petani kaya
raya Inamura dari desa kawakami. Kanichiro, anak yang juga putra dari presiden pertama Bank
Ashikaga, adalah orang yang menikahinya di usia 16. Pernikahan itu hanya
berlangsung selama tiga tahun. Karena sejak awal pernikahan Ginko sudah
tertular penyakit kelamin, Gonorrhea, yang membuatnya harus berbaring karena
demam tinggi dan sakit di daerah kemaluan.
Rasa sakit hati dan fisik yang begitu hebat membuatnya melarikan diri
pulang ke rumah. Hanya ibunya dan Tomoko, kakak Perempuannya, yang bisa
menerimanya di antara celaan dan desakan sosial yang sangat kuat.
“Seorang Istri pergi meninggalkan suaminya? Perempuan macam apa itu?”
Sedang dalam hati Ginko berkecamuk pemikiran, “Bagaimana mungkin
orang-orang menghukumku? Aku yang menjadi korban. Dia yang pertama kali tidak
setia dan memberiku sakit”
Gejolak hati Ginko tidak pernah bisa dipahami saat itu. Ibunya sendiri
merasa bersalah karena telah menjodohkannya sehingga merasa perlu untuk membantu.
Ia menemani putrinya untuk berobat atau sekedar membaca buku di dalam kamar,
tempatnya bersembunyi dari omongan orang. Beruntung ia mempunyai dokter dan
guru yang mendukung bernama dr. Mannen. Kebetulan dokter Mannen mempunyai
seorang putri bernama Ogie yang menjadi sahabat karib Ginko. Ogie berusia 27
dan belum menikah. Sesuatu yang aneh dan bukan hal yang baik pada saat itu. Mereka
menjadi akrab karena sama-sama gemar membaca dan tidak menikah. Dua hal yang
saling melengkapi untuk menjadi bahan omongan tetangga sekitar.
Penyakit ini mengantarkan Ginko ke Rumah sakit Juntendo dan menginap selama
lebih dari satu setengah tahun. Ia melewati masa yang baginya sangat memalukan
karena harus menunjukkan daerah paling pribadinya pada laki-laki, bukan hanya
satu tapi banyak, meski mereka adalah dokter dan calon dokter. Ia tidak pernah
bisa melupakan bagaimana tangan salah satu dokter itu menyentuh lututnya dan
meraba area kemaluannya. Saat-saat itulah yang membuatnya bersumpah untuk
menjadi dokter perempuan.
“Aku ingin membantu sesama perempuan agar mereka tidak perlu mengalami hal
yang sama seperti aku”.
Setelah sembuh ia beranikan diri untuk mengatakan keinginan itu kepada
ibunya. Beliau tidak siap untuk permintaan ini. Kenyataan bahwa anaknya janda
sudah cukup memberatkan apalagi untuk bersekolah lagi.
“Dan apa? Menjadi dokter? Lupakan saja! Tidakkah kau merasa kasihan pada
kami, keluargamu”.
Ibu dan anak itu bertengkar hebat. Namun tidak cukup untuk menghentikan
usahanya. Ia tetap pergi ke Tokyo. Dan menjadi murid seorang guru bernama Yorikuni
Inoue. Seseorang yang dikemudian hari melamarnya tetapi tidak Ginko terima. Setelah
itu ia bersekolah di Tokyo Women's Normal School (saat ini bernama Universitas Ochanomizu) karena belum ada sekolah kedokteran yang mau menerima
murid perempuan. Setelah mendapatkan rekomendasi akhirnya ia mendaftar ke private medical school Koju-in (Juntendo University).
Ia mulai terkenal dan namanya banyak disebut di koran-koran terkemuka di
Tokyo sebagai mahasiswi perempuan pertama. Meski demikian ia harus menghadapi
banyak tekanan dari dosen dan teman-temannya.
Ia menjadi sasaran empuk kekerasan karena ia murid perempuan
satu-satunya. Teman-temannya banyak yang merasa bahwa kehadirannya merendahkan
profesi dokter menjadi hanya sekelas mencuci dan membersihkan rumah. Ia harus
ke toilet yang sama dengan laki-laki dan menerima pelecehan dari teman-temannya
bahkan nyaris diperkosa karena selalu pulang malam setelah ‘berebut’ buku.
Tidak mudah memang untuk menjadi yang pertama. Diperlukan persistensi dan
keuletan luar biasa. Dan ia berhasil lulus sebagai lulusan terbaik di sekolah
itu. Koranpun memberitakan hal ini sekali lagi. Dan kepopulerannya belum cukup
membantu untuk sekedar mendaftar tes uji kompetensi. Sekali lagi ia harus
mencari rekomendasi dari orang terkenal untuk bisa mengikuti tes dan pada tahun
1885 dia lulus uji kompetensi dan menjadi dokter perempuan berlisensi yang
pertama.
Setelah lulus ia mewujudkan mimpinya dengan membuka Rumah Sakit Ogino. Di
sana ia bertemu dengan suami keduanya, Yukiyoshi Shikata, pada tahun 1890. Ia
adalah seorang pendeta yang berusia 13 tahun lebih muda. Kontroversi lain yang
ia buat di sepanjang hidupnya. Tidak ada yang benar-benar merestui pernikahan
itu. Statusnya sebagai seorang dokter membuat orang-orang berpikir bahwa
Shikata terlalu muda dan mungkin mengambil manfaat dari status sosialnya yang
tinggi di masyarakat.
No comments:
Post a Comment