Tuma’ninah atau berhenti sesaat, jeda. Biasa digunakan dalam konteks sholat
bagi umat Muslim agar tidak tergesa-gesa dalam melakukan sholat. Tuma’ninah
dinilai sebagai salah satu rukun Shalat agar fokus dengan apa yang sedang
dikerjakan dan memberi kesempatan pada tulang dan sendi untuk menempati
posisinya.
Kata-kata ini muncul lagi dalam ingatan saya ketika salah satu guru yoga
saya mengatakan:
“Yang membedakan Yoga dari olah raga lainnya adalah ia memberi kesempatan
pada setiap sendi, otot, dan seluruh bagian tubuh kita untuk menyadari gerakan
yang baru saja dibuat dan menempatkan diri sesuai dengan posisi anatominya”.
Ia bukanlah sebuah olah raga yang dengan semena-mena mengajak kita untuk
terengah-engah dan melakukan berbagai macam gerakan tanpa memberi jeda. Ia juga
tidak menuntut kesempurnaan dan kesamaan postur karena setiap orang dinilai unik
dan bisa membuat penyesuaian berdasar kondisi tubuhnya.
Tiba-tiba saja saya menjadi sangat memahami kenapa Tuhan memerintah kita
untuk sholat dan memberi jeda dari setiap gerakan sholat. Secara badaniyah,
fisik, Tuhan sangat memahami ciptaanNya dan tahu persis apa yang dibutuhkan.
Mungkin itu sebabnya cara berdoa kita didesain dengan gerakan-gerakan yang
sangat dinamis. Ia tidak lagi sebuah ritual yang pasif statis karena grand design dari manusia diciptakan
untuk bergerak. Sendi-sendi yang ada di seluruh tubuh kita ada untuk
memfasilitasi pergerakan.
Tuma’ninah adalah spasi, menurut salah satu puisi Dewi
Lestari, yang sangat diperlukan untuk bisa memaknai bahwa sebuah kata telah
tertulis dalam sebuah manuskrip. Berhenti sesaat juga mengijinkan kita untuk
menyadari sekaligus memaknai apa yang baru saja kita alami. Meski pergerakan
adalah sesuatu yang fitrah namun tanpa jeda mustahil refleksi, penghayatan dan
bahkan perencanaan dapat dilakukan.
“Besi yang diam akan menjadi mudah
berkarat, air yang tergenang akan keruh”
Tubuh yang diam akan menyalahi fitrahnya untuk bergerak. Oleh karena itu,
banyak gerakan-gerakan diperlukan untuk menstimulasi tubuh agar dapat berfungsi
lebih optimal. Bahkan ujung kakipun perlu dilatih agar dapat berfungsi optimal.
Dan hanya yoga yang memberi perhatian detil dari setiap bagian tubuh kita,
setidaknya sepanjang pengetahuan saya yang dangkal.
Yoga dan shalat sama-sama memfasilitasi pergerakan tubuh. Saya teringat
pengalaman lain mengenai hal tersebut yaitu anak seorang sahabat yang masih
balita pernah mengatakan teman kami sedang melakukan olah raga. Padahal teman
kami tersebut sedang melakukan sholat dan anak kecil tersebut tidak tahu
bagaimana seorang muslim berdoa. Cara berdoa kita memang sangat dinamis
sehingga orang-orang yang tidak paham akan menganggap sedang melakukan olah
raga.
Komentar anak tersebut membawa saya pada suryanamaskar. Salah satu sequence
yoga yang dianjurkan untuk dilakukan di pagi dan sore hari. Suryanamaskar atau sun salutation sering kali disalahartikan dengan penghambaan kepada
matahari. Setidaknya ada beberapa kawan yang menanyakan hal tersebut pada saya.
Bagi kami, praktisi yoga, sun
salutation adalah gerakan minimal yang bisa dilakukan untuk membantu tubuh
kita berfungsi secara optimal. Pagi hari dilakukan untuk memberikan persiapan
bagi tubuh untuk memulai hari dan sore hari dilakukan untuk memulihkan kondisi
tubuh dan mengkondisikan tubuh untuk rileks dan memperbaiki diri di malam hari.
Gerakannya sangat mirip dengan sholat. Sering kali saya merasa bahwa saya
melakukan sholat shubuh dua kali hanya saja dalam yoga saya tidak melafalkan
ayat-ayat Tuhan atau doa dan lebih berfokus pada pernafasan selama melakukan
gerak.
Yoga juga mensyaratkan siapa saja yang melakukan untuk fokus dengan apa
yang dilakukan. Sedikit buyar konsentrasi dapat menyebabkan cedera. Oleh karena
itu gerakan-gerakan dalam yoga cenderung mengalir dan kurang ritmis. Ia
menitikberatkan pada memberi kesempatan pada tubuh untuk mencerna apa yang
sedang dilakukan, merasakan sinyal yang diberikan kepada kita sehingga mengaktivasi
fungsi autorepair yang dimiliki.
Konsekuensinya, jika kita merasakan nyeri ketika melakukan postur tertentu maka
ia dapat membuat penyesuaian terhadap postur tersebut bagi dirinya. Konsep ini
sangat sejalan dengan makna tuma’ninah
dalam sholat.
Aplikasi konsep tuma’ninah dalam
kehidupan sehari-hari yang saya pahami adalah ketenangan, waktu rehat dan jeda
dari berbagai aktivitas yang kita lakukan. Memberi kesempatan pada setiap
bagian dari diri kita bukan hanya fisik tapi juga hati dan pikiran untuk dapat
memahami apa yang baru saja terjadi baik untuk kondisi gembira maupun sedih.
Kita sering kali berlaku kurang adil terhadap emosi-emosi kurang menyenangkan
yang kita alami dengan cara mengabaikan perasaan kita.
Beberapa dari kita yang baru saja kehilangan orang yang dicintai selamanya
akan berusaha untuk beraktifitas secepat mungkin karena tidak ingin merasa
sedih. Padahal saat itu ada perasaan sedih yang perlu diterima dan diberi waktu
untuk berkabung. Tidak apa menjadi sedih karena kehilangan apapun itu pasti
menyakitkan. Beri waktu pada hati kita untuk bersedih agar ia siap untuk
menerima kegembiraan lagi. Semakin kita menghindari emosi negatif maka ia
semakin tersimpan dalam dan suatu saat akan muncul kembali. Beri waktu pada
kesedihan diri kita sendiri sama seperti kita memberi kesempatan diri kita
untuk bahagia.
Tuma’ninah atau jeda juga mengijinkan pada kita untuk
memilih emosi apa yang akan kita pilih. Seorang yang sudah sangat mahir
mempergunakan jeda akan melihat emosi seperti sebuah kereta. Alat transportasi
yang datang silih berganti dengan tujuan yang berbeda-beda. Emosi-emosi
tertentu akan mengantar kita pada tujuan hidup kita sedang kereta yang lain
mengarahkan pada tujuan yang berbeda bahkan berkebalikan. Kita bisa memutuskan
untuk membiarkan kereta tersebut berlalu atau menaikinya. Bahkan ketika kita
memutuskan untuk menaiki kereta kita bisa memilih untuk naik sampai stasiun
terakhir atau hanya sampai tujuan tertentu.
Akhirnya, saya memahami sebuah konsep sholat melalui yoga. Mungkin itu sebabnya
ilmu pengetahuan bukanlah sebuah garis yang lurus vertikal atau horisontal. Ia
adalah batang dan akar pohon yang bercabang sangat banyak. Ada banyak cara
untuk memahami hidup, kehidupan, dan sumber kehidupan. Cara mempelajarinya
menjadi tidak terbatas. Oleh karena itu pepatah yang mengatakan “Sometimes wrong train can lead to right
destination” menjadi tidak berlaku. Yang ada hanyalah keterbatasan
pengetahuan kita.
No comments:
Post a Comment