Lebih dari 240 juta jiwa jumlah penduduk
Indonesia. Cukup banyak sehingga harga setiap nyawanya mungkin menjadi kurang
diperhatikan. Satu tahun lalu saya memiliki kesempatan untuk berjalan-jalan ke
NTT. Sebuah daerah eksotik dengan alam yang masih asri hijau. Belum terlalu
banyak dieksplorasi sehingga bahkan jalan-jalannya pun masih sangat berkelok dan
berlubang di sana-sini.
Foto di dalam artikel ini sedianya akan digunakan sebagai kantor pusat pembangkit
listrik yang baru. Beberapa pekerja sedang sibuk menyelesaikan proyek pembangunan.
Jika Anda cukup jeli maka akan terlihat dua orang pekerja yang tidak
menggunakan pengaman bahkan untuk sekedar alas kaki. Pekerja dengan kaus garis
oranye dan hitam bertopi itu berada di lantai empat dari sebuah gedung tanpa
pengaman apapun.
Saya kurang paham mengenai alat-alat pengaman apa saja yang seharusnya
digunakan tapi jika helm dan alas kaki saja tidak digunakan maka cukup jelas
bahwa pekerja itu tidak menggunakan pengaman yang semestinya ketika bekerja. Pekerja
yang lain berpindah posisi dengan hanya berpegang pada rusuk besi di tepi
gedung. Jika tangannya selip dan jatuh maka bisa dipastikan ia akan terjun
bebas ke bawah.
Di negara ini, jika Anda hanya menjadi orang kebanyakan Anda tidak akan
layak dihargai bahkan nyawa Anda sekalipun. Di luar dari konteks keselamatan
pekerja, saya teringat pernyataan seorang pejabat negara mengenai banyaknya
korban ledakan LPG.
“Wajar jika dalam satu kebijakan baru ada kekurangan”.
Kesan yang ditangkap menjadi lebih ke pembenaran dan logika proyek tetapi
dengan nilai humanisme yang minimal. Bahkan satu korban pun sudah terlalu
banyak untuk sebuah kebijakan. Begitu seharusnya slogan pemerintah. Kelemahan lain
dari sebuah kebijakan mungkin masih bisa ditolerir tapi tidak dengan korban
manusia. Zero tolerance!
Kembali ke proyek pembangunan kantor pembangkit listrik di NTT. Kami berkeliling
di seputar wilayah proyek yang cukup luas. Tempat ini masih terisolir dari
dunia luar sehingga satu-satunya jalan menuju proyek ini mungkin hanya dilalui
oleh kendaraan yang ada hubungannya dengan proyek. Kami hanya menemukan satu
rumah sederhana di sekitar tempat pembangunan.
Sekali lagi kalau dilihat dari sisi kesehatan, kesehatan jiwa. Para
pekerja, yang kebanyakan laki-laki, ini pastilah sulit untuk mencari menu
makanan di luar dari yang disediakan proyek (jika ada). Oleh karena itu, menu
makanan yang tersedia menjadi mutlak tanggung jawab employer. Pekerja tidak memiliki alternatif lain yang dapat
dipilih. Dan employer, untuk alasan
apapun, berkewajiban untuk memberikan pilihan yang setidaknya mendukung kinerja
pegawainya (untuk jangka pendek atau panjang).
Masalah menu dan makanan mungkin masih terlalu jauh untuk dapat disediakan
bahkan dimengerti karena keselamatan yang langsung bisa dirasakan manfaatnya
saja masih belum terpenuhi.
Di negara ini nyawa rakyat kebanyakan memang tidak ada harganya.
“Lebih baik bekerja dengan pengamanan yang minimal tapi mendapatkan bayar dari
pada banyak suara dengan resiko tidak diikutkan dalam proyek lagi.”
Sebaliknya dari sisi employer merasa
masih ada banyak calon pegawai yang menunggu kesempatan untuk dapat bergabung
dalam proyek. Jika satu pekerja sakit/berhalangan maka sangat mudah untuk
mencari pengganti. Sehingga pengeluaran tambahan untuk tetek bengek pengamanan
pegawai menjadi tidak terlalu penting.
Ah, apapun dengan jumlah yang semakin banyak diharuskan mengorbankan ‘nilai’nya.
Haruskah ‘nilai’ manusia juga berkurang nilainya.
No comments:
Post a Comment