Gan..Gan..Den Juragan (bos dalam bahasa Jawa). Dalam satu dua kesempatan
akhir-akhir ini saya terlibat dalam pembicaraan dimana kita mengenang masa
lalu. Kenangan yang manis setelah dilewati namun agak sedikit memalukan ketika
menjalani. Kenangan bahwa sering kali kenyataan itu memang pahit ketika kondisi
ekonomi terbatas namun jadi terasa manis manakala saat ini kondisinya sudah
lebih baik.
Saat beberapa belas atau puluhan tahun kemudian saya bisa merasakan syukur
karena sedikit perbaikan ekonomi yang saya alami. Pengalaman yang menguji daya ‘survive’
dan keinginan kita. Well, hamba seorang
rakyat jelata yang mengalami beberapa kejadian berikut di bawah ini. Jadi..
kami hanya bisa bilang kepada para orang-orang yang cukup berada itu bahwa, “Hidup
itu perjuangan, Gan!”
*PENGALAMAN SD*
Silakan ikut tersenyum-senyum bagi yang pernah mengalami hal yang sama.
Anda juga tetap bisa tertawa. Pelan-pelan saja ya! Orang sekitar Anda akan
penasaran dan pasti Anda akan menyebarkan cerita saya ini. Percayalah, saya
sesungguh agak malu menceritakan pengalaman ini.
Jadi ceritanya saya sedang terkenang pengalaman SD. Ada saat dimana di pagi
hari sebelum berangkat sekolah saya sibuk mencari karet. Bukan..bukan untuk
mengepang rambut saya yang panjang tapi untuk (ssstt..tolong pelan saja ya
tertawanya) kaus kaki saya. Pertama, saya menggunakan kaus kaki seperti biasa. Kedua,
saya mengambil karet dan memasangkannya pada setiap kaki saya. Lalu ujung kaus
kaki itu akan saya gulung untuk menutupi karet itu.
Saya paling pusing kalau tiba waktunya olah raga. Apalagi kalau diminta
lompat tinggi atau lari-lari. Dan paling lega makala hujan tiba dan hanya
pelajaran di kelas. Prestasi olah raga saya memang buruk bukan hanya karena
saya selalu sibuk membenahi kaus kaki saya yang melorot karena longgar tapi
memang saya tidak menikmati olah tubuh pada saat itu.
Lebih susah lagi ketika karet yang saya gunakan untuk menahan kaus kaki
saya itu putus. Saya akan sibuk sembunyi..entah bagaimana caranya (bisa di
kamar mandi atau di pojok kelas) saya mencari tempat yang ‘aman’ dan tidak
terlihat untuk mengikat karet tersebut dan memasangkannya di kaus kaki saya
lagi. Sambil berharap, “Jangann putus lagi ya!”.
Entah mengapa sejak kecil memang sudah terbiasa untuk ‘mengeksploitasi’
benda-benda yang saya miliki sampai titik darah penghabisan. Seperti contoh di
atas. Pengalaman lain yang berharga, Gan adalah ketika kita sangat suka membaca
komik tapi kondisi uang terbatas. Kali ini kami (tiga bersaudara) diajari untuk
saling membantu. Kalau saya tidak salah ingat kami patungan untuk berlangganan “Kung
Fu Boy” setiap bulan. Harganya masih Rp. 3000,00 sehingga masing-masing dari
kami iuran Rp 1000,00. Saat ini keberadaan buku yang sangat sentimental bagi
kami bertiga ini tidak jelas di mana. Tapi begitulah kami dididik, Gan. Hidup
itu harus penuh siasat dan strategi untuk meraih yang diinginkan.
Kami tidak sempat memikirkan gengsi atau memilih sepatu berwarna yang ada
lampunya. Atau kaus kaki yang berwarna warni. Cukup fungsinya masih ada dan
menjauhkan kami dari hukuman sekolah. Itu saja, Gan.
*PENGALAMAN SMP*
SMP ini saya sudah mengenal genk, Gan. Ada lima orang dalam satu kelompok. Dan
saat-saat paling mewah adalah saat salah satu dari kami berulang tahun. Saat
saya berulang tahun, maka saya akan mentraktir teman-teman saya itu bakso. Cukup
semangkok bakso dan segelas es jeruk untuk lima orang. Whuaa rasanya sudah
menjadi orang kaya saja ketika bisa melakukan itu.
Kami masih naik sepeda waktu itu, Gan. Pulang sekolah kami langsung
mengayuh sepeda ke tempat bimbingan belajar (saat kelas 3). Mengayuhnya selama
kurang lebih setengah atau 1 jam entah panas terik atau basah kehujanan. Tapi kami
masih bisa menikmati dan tertawa-tawa bersama. Terkadang berdebar bukan hanya
karena jantung bekerja lebih keras ketika mengayuh namun menjadi berlipat ganda
ketika bertemu cowok yang ditaksir salah satu dari kami. Lalu kami berusaha
menyalipnya untuk sekedar bilang, “Duluan ya” sambil tersenyum simpul dan salah
tingkah.
Hidup itu perjuangan, Gan. Terutama karena saku kami belum tentu terisi
uang kalaupun ada jumlahnya sangat terbatas. Suatu ketika saya hendak foto copy
satu lembar bahan pelajaran untuk empat orang. Harga per lembar foto kopi masih
Rp 25,00 sehingga empat lembar hanya seharga Rp.100,00.
“Seratus, mas”, Kata saya polos kepada tukang foto kopi. Tanpa konfirmasi
beliau pun memfotokopi.
Saya menunggu..dan menunggu. Kenapa foto kopi empat lembar saja lama padahal
tidak mengantri. Saya liat tumpukan foto kopi yang banyak.
Lalu saya tanya,”Empat kali kan, mas?”
“Loh tadi katanya seratus?”
“Iya maksud saya seratus rupiah.”
“Wah yang jelas dong. Terus gimana ini?”
Padahal sudah ada sekitar 50an lembar fotokopi dikalikan Rp25. Maka akan
menjadi Rp. 1250,00. Uang saya hanya Rp 500,00. Maka saya serahkan semua uang
itu dengan konsekuensi harus menahan haus hari itu karena uang saya sudah
lenyap. Dan meminta belas kasihan pada penjual untuk sisanya. Sungguh saya saya
seorang murid biasa yang ingin belajar, Gan. :d
*PENGALAMAN SMA*
Saat ini sekolah saya ada di tengah kota Jogja, Gan. Jadi teman-teman saya
sudah lumayan trendi. Saya mulai mengenal barang-barang bermerk yang dikenakan
teman-teman saya. Tidak berani saya berharap itu dari orang tua saya. Karena bisa
dapat uang untuk transport, foto kopi dan beli buku saja saya sangat senang.
Pergi ke KFC atau McD itu sangat bergengsi. Kadang saya harus menunggu
moment spesial untuk bisa melakukan itu. Itupun dengan konsekuensi jajan harian
saya harus dihemat sebelum atau setelahnya, Gan.
Saya dan sahabat juga gemar mengikuti acara seminar. Acara-acara seperti
ini murah manakala status kita pelajar. Suatu ketika kami ingin mengikuti
seminar mengenai kesehatan reproduksi remaja dengan bintang tamu dr. Boyke, dokter
yang sedang naik daun dan Tengku Firmansyah. Kami berboncengan pergi ke seminar
yang diadakan oleh SMU MUHI tersebut. Sampai di tempat acara sudah beberapa
saat dimulai. Pada saat akan membayar tiket, kami baru sadar bahwa kalau uang
kami dikumpulkan jumlahnya tidak cukup untuk membeli tiket yang harga satuannya
RP.5k.
“Yah, sudahlah..yang penting berusaha”.
Tapi ternyata murid laki-laki penjaga tiket itu sangat berbaik hati
mengijinkan kami masuk dan mengikuti seminar. Sungguh, hidup itu perjuangan,
Gan! Harus punya modal pun ketika kita ingin menimba ilmu.
Selain itu Bahasa Inggris menjadi sangat penting juga terutama untuk saya. Sehingga
saya tergila-gila ingin ikut kursus bahasa inggris di tempat yang teman-teman
saya ikut. Saya memang lumayan boros untuk hal-hal seperti ini. Jadi saya harus
membuat strategi. Strategi yang saya lakukan adalah memilih untuk tidak
dibelikan motor baru dan rela menggunakan motor tahun ’80-an. Kemudian meminta
selisih harga motor itu dengan motor baru. Dengan berterus terang saya bilang
ke ayah saya untuk minta ‘mentahannya’. Itulah modal saya untuk ikut berbagai
macam kursus bahasa Inggris dan bonus Bahasa Jepang satu level.
Saya harus realistis sambil tetap memegang teguh keinginan saya, Gan. Makan
snack menjadi tidak terlalu penting jika itu membuat saya harus kehilangan
kesempatan bisa berbahasa Inggris. Motor saya itu sudah dijual dan saya tetap
merasa tidak perlu motor baru sampai saat ini. Cukup motor yang pernah
digunakan kakak sulung saya. Jika ada yang mempertanyakan kenapa masih
menggunakan motor itu? Polusinya kan lebih banyak.
Santai akan saya jawab, “ketika saya jual maka saya memang akan mempunyai
kendaraan baru yang polusinya kecil tetapi motor lama tetap digunakan meski oleh orang lain. Itu berarti
saya justru menambah polusi.” Sudahlah jangan repot-repot membujuk saya untuk
mengganti yang baru. Karena sampai titik darah penghabisan, akan saya
pertahankan motor itu, Gan. Motor yang penuh perjuangan itu.
*Pengalaman kuliah*
Sudah capai membacanya, Gan. Sebentar lagi ya. Satu masa kehidupan lagi
saja yang hendak saya ceritakan. Kali ini saya lulus ujian masuk universitas kuliah dan itu UGM, Gan. Fakultas
Kedokteran Jurusan Keperawatan. Saya tidak punya banyak pilihan. Jika saya
tidak lulus UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Negri) maka saya harus menunggu tahun
depan. Saya memang diberi keleluasaan untuk memilih sendiri jurusan saya dan
mengurus ini itunya sendiri. Tapi hidup itu tetap perjuangan, Gan bahkan saat daftar
ulang di fakultas, ketika kami harus mengantri berjam-jam dan jangan lupa untuk pembekalan
ospek.
Saat itu ada gadis mungil yang putih mengajak saya untuk membeli minuman. Saya
tidak mau, Gan. Nasib saya belum terlalu berubah. Saya harus memikirkan uang
bensin dan keperluan lain untuk ospek itu. Demi isi kantong yang terbatas itu
saya harus menolak tawaran yang menggiurkan untuk menghilangkan haus.
Empat atau lima tahun kemudian, saya terlibat perjalanan ke negri sebrang
yang pertama kali dengan gadis itu. Ke Bangkok untuk presentasi oral penelitian
saya. Meski sesuatu yang membanggakan, hanya ayah saya yang mendukung dan
memberi bantuan agar saya bisa berangkat ke sana. Untungnya saya dapat travel
grant dari fakultas. Usaha saya untuk minta bantuan ke rektorat tidak tembus
guna membayar biaya konferensi. Alhasil yayasan Ayah Bundalah yang dapat
menyokong saya.
Sehingga di luar biaya konferensi saya hanya membawa Rp. 500k. Ini harus
cukup untuk biaya fiskal, local transport di Bangkok dan makan di sana. Tidak ada
plafon untuk membeli oleh-oleh. Untunglah akomodasi sudah ditanggung oleh teman
saya dari Jepang. Tapi saat itu saya harus benar-benar berstategi agar uang itu
cukup membawa saya kembali ke rumah dengan selamat. Karena puasa, saya membawa
jatah makan saya dari pesawat ke hotel untuk saya makan pada saat buka puasa. Hari-hari
selanjutnya saya belajar dari kawan Jepang saya itu untuk membungkus “pastry
dan snacks” dari tempat konferensi. Itulah menu berbuka saya, Gan. Untunglah makan siang disiapkan dalam
bentuk kardus sehingga bisa kami bawa pulang. Jika menunya kering untuk sahur kami jika basah untuk makan malam kami. Saat itu juga pertama kalinya
saya menyicipi “Gala Dinner” dengan menu yang mewah. Saya belajar agar “Ojo
Gumunan (jangan mudah terheran-heran)” ketika memasuki lingkungan yang sangat
berbeda. Saya juga belajar bahwa selama kita berusaha dan bersikap baik, tidak
peduli seberapapun isi dompet kita, maka kita akan dapat diterima oleh orang
lain.
Jadi Juragan, saya tidak pernah malu dengan kondisi saya. Saya hanya akan
malu kalau saya tidak mengusahakan keinginan saya seoptimal mungkin apalagi
ketika kondisi memungkinkan. Hidup itu perjuangan, Gan! Kadang harus ada yang
dikorbankan demi mewujudkan keinginan itu. Dan saya tetap butuh bantuan
orang-orang sekitar saya agar saya bisa terus berjalan tegak.
Hidup, sungguh sebuah perjuangan Gan! Jangan pernah merasa kecil untuk
sebuah mimpi yang besar. Kita adalah bagaimana kita memandang diri kita,
pendapat orang lain menjadi tidak terlalu penting. Bukan karena mereka tidak
berhak memberi masukan tapi mereka tidak punya ide seberapa berat usaha yang
telah kita lakukan. Anak berusia tiga tahunpun boleh bercita-cita menjadi
profesor. Jika melihat kemampuannya saat itu tentu saja menjadi mustahil. Tapi ia
masih memiliki puluhan tahun untuk belajar banyak hal dan membuat tahapan yang
lebih realistis untuk mewujudkan mimpinya menjadi profesor. Ia pasti bisa
mendapatkannya, Gan jika dan hanya jika ia fokus dan konsisten terhadap
tujuannya.
Hidup itu benar-benar perjuangan, Gan. Perjuangan!
No comments:
Post a Comment