Pemikiran ini senada dengan pemikiran tentang pentingnya belajar menjadi
pengikut yang baik di tengah gemuruhnya usaha mempopulerkan dan menjadi
pemimpin yang baik. Idenya sederhana saja bahwa sebuah sistem tidak mungkin
berjalan hanya dengan bekerjanya satu komponen saja. Selemah apapun sebuah
komponen ketika berhadapan dengan komponen yang lain, ia tetap berpotensi
mengganggu kelancaran sebuah sistem ketika tidak bekerja. Namun saya sadar ada
kemungkinan beberapa alis akan berkerut ketika membaca ini. Kenapa? Silakan
baca paragraf selanjutnya.
Beberapa tahun lalu saya mendampingi ayah saya ketika rawat inap di sebuah
rumah sakit swasta di Jogja. Saat itu sang pemilik rumah sakit baru saja
meminta maaf karena pelayanan yang kurang memuaskan dari karyawannya. Saya
masih ingat betul bagaimana sang pemilik rumah sakit meminta maaf sambil
membungkukkan badannya. Lalu setelah kondisi lebih santai, beliau pun bercerita
ngalor ngidul termasuk mengenai
loyalitas staf di rumah sakit tersebut. Bagaimana beliau kesulitan untuk
membina loyalitas pada salah satunya dokter yang kadang ‘mencuri’ pasien dari
rumah sakitnya. Salah satu caranya adalah dengan merekomendasikan pasiennya yang
rawat inap di rumah sakit tersebut untuk kontrol ke tempat praktek pribadinya.
Hal ini tentu saja merugikan rumah sakit tersebut yang membuka layanan rawat
jalan. Loyalitas karyawan kepada perusahaan jelas menjadi satu topik hangat
bagi perusahaan/organisasi dan mereka yang memposisikan diri sebagai manajer
dan pemimpin.
Banyak sekali bahasan, artikel yang mengulas mengenai loyalitas ini. Kontennya
pun beragam dan dilihat dari berbagai sisi misal bagaimana cara perusahaan meningkatkan
loyalitas karyawan, pentingnya loyalitas, dan membangun pemahaman bahwa seorang
karyawan yang baik adalah karyawan yang loyal dan mengutamakan kepentingan
perusahaan/institusi di atas kepentingan pribadi. Benarkah ketika seseorang
mementingkan kepentingannya sendiri berarti seorang yang egois dan tidak loyal?
Apakah keloyalan itu hanya berlaku bagi karyawan kepada perusahaan? Bolehkah
kita sekedar berpikir bahwa keloyalan sebaiknya juga dilakukan dari
perusahaan/organisasi ke karyawannya? Kalau boleh bagaimana caranya?
Saya tidak yakin tulisan sederhana ini bisa menjawab pertanyaan tersebut
dengan detil dan ilmiah. Tulisan ini hanya sekedar memberi gagasan sudut
pandang lain yang jarang kita tilik. Karena memang untuk menggunakan sudut
pandang kebanyakan itu lebih mudah dan lebih nyaman. Meski terkadang kenyamanan
tersebut menyimpan kegundahan terutama dari sisi yang lebih lemah, dalam hal
ini karyawan. Yang dapat terlihat dalam paragraf selanjutnya.
Dalam sebuah hypothetical situation terdapat seorang karyawan yang sangat loyal
terhadap sebuah perusahaan besar. Ia mendapat amanah untuk mengampu satu bidang
yang kebetulan saat ini sedang nyaris kosong stafnya. Ia adalah seorang yang
relatif muda dibandingkan dengan manajer selevel lainnya. Ia cukup beruntung
karena pendidikan S2nya mendapat kepercayaan beberapa proyek tambahan lainnya
dan kesempatan pengembangan diri informal tentu saja. Meski begitu, secara
administratif ia seringkali galau karena tidak mendapatkan status resmi
kepegawaian selama bertahun-tahun dan tidak sempat/tidak tega untuk meneruskan
ke studi selanjutnya ataupun berpindah pekerjaan karena beberapa alasan
termasuk kesibukannya dan hubungan baiknya dengan senior-senior di perusahaan
tersebut.
Dalam kondisi tersebut, sang karyawan telah dengan sangat loyal dan
berdedikasi terhadap perusahaan. Sebaliknya perusahaan mengabaikan kewajibannya
terhadap karyawan. Mungkin bisa saja muncul pertanyaan,”Kalau perusahaan
tersebut seburuk itu kenapa tidak mencari pekerjaan yang lain?” Well, setelah
berjalannya waktu hubungan saling ketergantungan sebenarnya sudah terbina dan
secara individu berpindah itu berarti menentang status quo yang nyaman. Masa
transisi selalu membutuhkan energi dan keberanian yang besar yang tidak semua
orang miliki. Sayangnya, karena alasan tertentu si perusahaan jadi lupa untuk
melakukan tanggung jawabnya terhadap karyawan.
Wajar jika saya bertanya apakah loyalitas hanya ditujukan kepada karyawan?
Bagaimana dengan perusahaan terhadap karyawan? Loyalitaskah itu ketika yang
kita bicarakan adalah perusahaan? Dalam bentuk apa sebuah perusahaan bisa loyal
terhadap karyawan?
Cukupkah dengan menggaji cukup? Ditambah asuransi kesehatan mungkin.
Masih belum juga? Bagaimana kalau dengan kontrak kerja yang jelas bagi
kedua belah pihak?
Hmmmm kesempatan untuk mengembangkan diri termasuk ijin untuk melanjutkan
studi sesuai minat?
Memberikan hak-hak karyawan seperti hak cuti menikah, melahirkan, cuti
tahunan?
Daftar di atas mungkin bisa menjawab beberapa bentuk loyalitas perusahaan
yang bisa dipenuhi. Apakah ada dampak bagi perusahaan jika ia tidak loyal
terhadap karyawan? Ya, ia bisa kehilangan karyawan-karyawan potensial yang
sebenarnya bisa membantu untuk mengembangkan perusahaannya. Dampak tersebut
baru bisa terasa pada perusahaan ketika harus mencari pengganti karyawan dengan
spesialiasi khusus dan tingkat pendidikan yang mapan. Oleh karena itu, mari
kita kembangkan ketrampilan khusus dan pendidikan setinggi mungkin agar posisi
tawar kita menjadi semakin baik. Jika setelah berkomunikasi asertif kita tetap
tidak bisa mendapat perlakuan yang layak dari perusahaan kita, maka adalah hak
kita untuk mencari dan mendapatkan yang lebih baik.
Seperti halnya relasi suami istri, keloyalan mutlak harus dimiliki dan
dilakukan oleh kedua belah pihak dalam hal ini antara karyawan dan perusahaan. Terkadang dengan berlaku dan memposisikan
diri sejajar dengan berkomunikasi lebih asertif justru membantu perusahaan
menjadi lebih baik. Bukankah kinerja karyawan/ti juga sedikit banyak
dipengaruhi oleh kepuasan karyawan terhadap hak-hak yang diterimanya? Salam
Setia ;)
No comments:
Post a Comment