Pernahkah Anda dalam situasi yang mengharuskan Anda ‘berubah’ dari rencana
besar dalam hidup Anda. Sering kali hidup tidak berjalan seperti yang
diharapkan. Kita tidak pernah benar-benar tahu akan berakhir sebagai apa. Seorang
bintang kelas berakhir menjadi pegawai di desa tetap dengan dedikasinya. Seorang
yang pendiam, kuper, ranking biasa-biasa saja menjadi seorang terkenal dengan
tanggung jawab yang besar.
We never know how life wants to treat us.
We never know how life wants to treat us.
Saya ingat kisah dramatis mengenai perubahan hidup seseorang sebuah dalam film Jepang. Film ini berjudul ‘Final
Destination’ mengisahkan seorang laki-laki dengan kehidupan dan penghidupan
yang layak sebagai pemain orchestra di Tokyo. Ia harus kembali ke kampung
halamannya setelah orang tuanya meninggal dan mencari pekerjaan baru. Kebahagiaan akan
mempunyai seorang anak dan beban tanggung jawab mencari nafkah memaksanya untuk
segera mendapatkan pekerjaan.
Suatu hari ia melihat lowongan pekerjaan di koran berjudul ‘Final
Destination’.
“Pasti ini agen perjalanan”, Katanya dalam hati.
Maka iapun mendaftar dan ketika dipanggil untuk wawancara ia sangat
terkejut karena pekerjaan itu adalah pekerjaan sebagai perias jenazah. Respon
pertamanya adalah menolaknya. Namun pemilik usaha berhasil membujuknya dengan
jumlah bayaran yang cukup dan beberapa pernyataan sederhana.
“Ini adalah takdir. Tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Mungkin kamu
masih ragu saat ini. Tidak apa-apa. Cobalah dulu. Jika setelah masa percobaan
kamu benar-benar tidak suka pekerjaan ini kamu boleh tidak meneruskan”.
Butuh waktu lama bagi pemuda ini meyakinkan dirinya soal pilihan pekerjaan. Lebih lama lagi waktu yang dibutuhkan untuk meyakinkan istrinya. Pemain musik
di orchestra tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan perias jenazah. Tapi
semakin hari ia semakin mencintai pekerjaan barunya dan malah terlihat sangat
berdedikasi. Istrinya, dengan penuh kesadaran setelah menyaksikan penghayatan
peran tugas suaminya, mengijinkan dan mendukung pilihan suaminya.
Ok, Kita tidak akan membicarakan soal pemain musik dan juga perias jenazah.
Bagaimana pemuda tadi beradaptasi dan membuat perubahan dalam hidupnya, itu
yang menarik perhatian saya. Status quo. Istilah ini sering dikonotasikan
sebagai hal yang tidak dinamis, melawan kehendak rakyat banyak, dan sederet
konotasi negatif lainnya.
Pertanyaan saya adalah benarkah kita pro perubahan dan anti status quo. Perubahan
selalu membawa kita pada dua kemungkinan yaitu perubahan positif atau negatif. Menjadi
lebih baik atau sebaliknya. Hal utama yang harus kita waspadai dari perubahan
adalah dia selalu menuntut ‘pengorbanan’ dan sedikit kepayahan juga usaha yang
lebih terutama di masa-masa transisi. Keparahan dari masa transisi ini juga
dipengaruhi beberapa hal termasuk kesiapan kita, dukungan dari orang
sekitarnya, seberapa banyak informasi dan pengetahuan kita miliki untuk masalah
tersebut, dan gambaran jauh ke depan mengenai kondisi yang kita harapkan.
Seorang penderita penyakit jantung yang obesitas akan mengalami stres yang
lebih besar ketika dipaksa untuk merubah pola makannya. Ia sebagai pribadi tidak
siap untuk perubahan itu. Seorang perokok sering kali merasa harus mengorbankan
gaya hidupnya ketika divonis menderita penyakit paru-paru. Seorang pegawai akan
merasa tidak dihargai ketika dipaksa pindah pekerjaan dengan cara PHK.
Perubahan apapun itu akan terasa sangat sulit dan menyakitkan minimal untuk
dua alasan yaitu alasan eksternal dan ketergesa-gesaan. Tubuh dan jiwa kita
dikonstruksikan untuk selalu berusaha menjaga keseimbangan. Status quo dalam
hal ini adalah kondisi ‘seimbang’ yang mengijinkan kita untuk mengetahui secara
pasti bagaimana harus bersikap dan melakukan sesuatu dengan nyaman bahkan
otomatis.
Seseorang dengan hobi makan tanpa pertimbangan-pertimbangan tertentu akan
dengan gampang makan apa yang dihidangkan dihadapannya. Wajar, jika beliau
menjadi bingung, merasa dibatasi, terbebani dengan anjuran pembatasan diet dan
anjuran menurunkan berat badan karena penyakit yang dideritanya. Ia akan jauh
lebih mudah untuk berubah ketika ia secara sadar dan bertahap merencanakan
perubahan pada dirinya sebelum penyakit itu muncul.
Tapi mari kita belajar dari falsafah Jawa, “Untung...”
Berbicaralah pada orang Jawa mengenai kemalangan yang menimpa siapapun.
Salah satu respon yang mungkin muncul adalah, ” Untung..”.
Contohnya ketika Anda bercerita bagaimana Anda baru saja mengalami
kecelakaan dan sepeda motor Anda rusak. Maka Orang Jawa itu akan berkata, ”Wah..untung
Cuma sepeda motornya yang rusak. Alhamdulillah masih sehat y”. Atau bahkan
ketika Anda mengatakan Anda harus ke rumah sakit karena retak pada tangan Anda.
“ Untung yang retak sebelah kiri bukan kanan y”. Atau ketika Anda dipecat, ”Untung
masih dikasih uang pesangon”.
Secara psikologis komentar ‘untung’ ini meringakan beban siapapun yang
sedang dipaksa untuk mengalami perubahan tanpa harus dimaknai sebagai usaha
meminimalisir kesedihan yang dirasakan. Kata-kata untung ini juga membuat yang
bersangkutan menjadi merasa memiliki dukungan dari orang-orang di sekitarnya
bahkan memberdayakan. Dia tidak perlu merasa sebagai korban. Sebaliknya justru
melihat keadaan baru tersebut sebagi momentum untuk berubah dan berusaha dengan cara yang berbeda.
Sering kali kondisi-kondisi yang kita anggap tidak menguntungkan dan
memaksa kita untuk berubah itu justru memberi kesempatan pada diri kita untuk
menjadi lebih baik, sekedar untuk beristirahat, atau membuka peluang kerja dengan
perspektif yang sama sekali berbeda dari sebelumnya. Namun tetap saja perubahan selalu terasa berat.
Salah satu hal yang dengan sadar saya syukuri adalah ‘pemaksaan’ yang
membuat saya sedikit menjauh dari dunia akademik. Lama sekali saya beradaptasi
dengan kenyataan ini. Bagaimanapun saya sudah sangat menjiwai dan memiliki
perencanaan di dunia akademik sejak langkah pertama saya memasuki universitas
sebagai mahasiswa. Agak lebay memang tapi cukup untuk menyengatkan perubahan
dan adaptasi yang harus saya lalui.
Protes-protes kecil saya soal bagaimana dunia akademik sering kali
tergagap-gagap dalam merespon kondisi masyarakat lama kelamaan semakin besar.
Rasa bersalah saya karena hanya mengkaji dan mengkaji untuk kepentingan
akademis saya sudah tidak terbendung. Belum lagi senioritas yang mengharuskan saya menahan semangat muda saya pada bukan hanya senior tapi aturan dan birokrasi. Tetap saya meneruskan langkah di dunia
akademik. Sampai suatu ketika saya dipaksa membuat keputusan untuk merubah
rencana ke depan. Saya hanya yakin perubahan saya bukan karena sakit hati pada
seseorang, itu hanya menunjukkan saya korban dan tidak bisa mengambil keputusan
secara independen. Dan saya tidak suka hal yang demikian terjadi.
Masih menyukai untuk mencari tahu bagaimana orang-orang belajar, bagaimana
merespon terhadap suatu masalah, apa yang membuat sesuatu itu terjadi tetapi di
tempat yang sama sekali tidak terbayang sebelumnya. LSM. Saya bersyukur karena
saya orang yang keras kepala. Saya bisa terus mengkaji dan menelaah bahkan dengan memberikan
berkontribusi kepada masalah-masalah di masyarakat secara langsung tanpa bertele-tele dan bebas berkreasi.
Hari ini rapat lembaga seperti biasa. Salah satu hal yang saya sukuri
dengan bekerja di LSM adalah bahkan rapat-rapatnya pun sangat menyenangkan. Media
yang digunakan bukan hanya komputer, LCD saja tapi kertas warna warni dengan
gambar-gambar lucu. Metode yang tidak mungkin akan berani saya gunakan ketika saya
tetap di dunia akademik. Kami bahkan bermain peran dengan berpura-pura sedang
mencuci pakaian dan menjemurnya. Pakaian yang dijemur itu dibuat dari kertas
dan bertuliskan laporan sederhana dari apa yang telah kami kerjakan. Semua
orang mendapat kesempatan yang sama untuk bukan hanya bicara tapi berkreasi dan berekspresi.
Penelitian –penelitian yang saya gunakan lebih merupakan people research
atau action research. Jenis penelitian ini berusaha untuk memberdayakan dan
melibatkan masyarakat secara langsung untuk kepentingan mereka. Penelitian yang
bukan hanya dilakukan untuk kepentingan pribadi peneliti-penelitinya. Dan
prinsip ini yang lebih saya sukai dibanding institusi mana tempat saya bekerja.
“Untung saya bekerja di LSM”, Jiwa jawa saya menjawab.
Mungkin suatu saat saya akan kembali ke dunia akademik. Namun biarkan hari ini berlalu sebagaimana hari ini berlalu. Esok biarlah penuh kejutan yang akan membuat hidup kita menjadi lebih beragam.
No comments:
Post a Comment