Wednesday, July 02, 2014

Tidak ada yang sempurna



Tulisan ini terinspirasi dari sebuah film Jepang dengan Judul No body’s Perfect (2010) yang ternyata sudah ada versi dramanya juga.  Pertama kali menonton film ini di sebuah maskapai nasional kita dalam penerbangan saya ke Jayapura (2011). Pemeran utama film ini adalah seorang guru (Shinnosuke Akao) yang tidak mempunyai lengan dan kaki sejak lahir. Film ini bercerita setidaknya tentang dua hal. Pertama tentang bagaimana Mr. Akao mengatasi masalahnya sebagai seorang yang memiliki kekurangan secara fisik. Kedua, pengalaman Mr. Akao sebagai guru baru menghadapi 28 muridnya di kelas lima. Saya sangat merekomendasikan terutama kepada sahabat dan teman-teman yang berprofesi sebagai guru dan dosen namun tidak menutup kemungkinan bagi semua orang tua dan penonton secara umum.
Sebagai seorang yang memiliki keterbatasan fisik, mr. Akao sangat menyadari bahwa ada byk hal yang sulit untuk dilakukannya. Oleh karena itu, beliau merekrut seorang asisten untuk membantunya selama KBM, Kegiatan belajar mengajar. Selain itu, guru ini tidak berusaha menutupi kekurangan dan justru menunjukkan alternatif cara untuk melakukan beberapa aktivitas langsung di depan anak-anaknya. Salah satu adegan favorit saya ketika Mr. Akao makan siang bersama dengan murid-muridnya. Di awal, murid-murid itu secara mencuri-curi pandang untuk melihat cara mr. Akao makan. Lalu tanpa malu-malu Mr. Akao mengatakan, “kalian ingin tahu caraku makan ya?” lalu menunjukkan caranya.

Sebagai seorang guru saya memberikan empat jempol saya untuk keteladanan beliau. Seorang guru dimata Akao dan yang saya pahami dari film ini adalah seseorang yang bukan hanya mengajarkan pengetahuan tapi juga pengajaran moralitas. Guru-guru seperti inilah yang dapat membangkitkan motivasi internal muridnya untuk tidak hanya belajar tentang pengetahuan tapi juga tentang tata krama dan budi pekerti. Mr. Akao menunjukkan bahwa lebih penting mencari tahu apa motivasi seorang pencuri sepatu di kelas mereka dibandingkan siapa pelakunya. Sikap terbuka dan mendiskusikan bersama-sama dalam kelas ini menumbuhkan kepercayaan satu dengan yang lain bahkan termasuk sang pencuri. Kepercayaan bahwa ia tidak akan diadili dengan semena-mena tetapi justru didengarkan dan dimengerti. Meki tentu saja pencurian tidak bisa dibenarkan tetapi pendekatan mr.Akao memungkinkan seorang yang mengambil barang orang lain tanpa ijin untuk mau belajar minta maaf dan mengakui kesalahannya. Dan pembelajaran ini yang lebih penting untuk ditekankan pada anak usia sekitar 11 tahun.

Sebagai seorang guru, salah satu metode yang ingin saya tiru adalah mengenai pemahaman bahwa tidak ada orang yang sempurna melalui dirinya sendiri. Ia tidak malu-malu menunjukkan ketidaksempurnaannya di depan murid-muridnya. Namun di sisi lain beliau juga menunjukkan bahwa ia tetap punya kelebihan yang lain. Sehingga salah satu pelajarannya adalah dengan memberikan secarik kertas yang berisi:

Meski Saya_________________ namun saya____________________

Ia meminta murid-muridnya untuk mengisi titik-titik pertama dengan kekurangannya dan mengisi kelebihan yang dimiliki setelah kata ‘namun saya’. Hal ini dipadukan dengan pemilihan waktu yang tepat akan sangat membantu anak-anak untuk berefleksi secara mendalam mengenai dirinya sendiri. Tidak malu-malu mengakui kekurangannya dan menerima kelebihannya akan membuat murid-murid ini tahu apa yang harus dilakukannya untuk mengatasi hal tersebut. Sebaliknya usaha untuk menutupi dan defensif justru akan membuat prilaku yang kurang baik seperti mencuri sepatu dalam film ini.

Hal lain yang saya kagumi dari film ini adalah bagaimana Mr. Akao mengajarkan mengenai minoritas. Sebagai orang yang tergolong kelompok mayoritas di Indonesia (saya Muslim, Jawa, dan tidak ada cacat fisik) membuat kesensitifan saya mengenai hal ini perlu lebih diasah lagi. Mr. Akao menjelaskan dengan sangat gamblang bahwa menjadi berbeda itu bukan selalu hal yang aneh dan harus dijadikan bahan olok-olokan. Sesuatu atau seseorang dianggap aneh hanya karena dia berbeda dari umumnya. Padahal berbeda bukan berarti sesuatu yang jelek. Tidak memiliki tangan dan kaki memang akan sedikit menyulitkan untuk melakukan aktifitas sehari-hari tetapi bukan sesuatu yang buruk, dalam konteks film ini. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa, menghargai perbedaan itu sangat penting. Karena setiap kita berpotensi untuk berbeda bukan hanya tentang bentuk tubuh tetapi juga warna kulit, suku, agama. Sebuah pembelajaran pluralisme yang sangat diperlukan oleh anak-anak Indonesia.

Terakhir, jika Anda belum menonton film ini, saya sangat menganjurkan Anda untuk menonton. Bahkan kalaupun Anda sudah menonton, jangan sungkan-sungkan untuk menonton ulang. Saya yakin ada banyak hal tersembunyi lain yang dapat Anda pelajari dalam film ini.


2 comments:

lizafathia said...

ulasan yang sangat menarik mbak, jadi kepingin nton filmnya. btw salam kenal ya. saya terdampar di blog mbak waktu googling ttg umea university. lain x saya blh nanya2 g mba?

Nuri said...

halo Lizafathia. iya, filmnya memang bagus banget lho, nyesel deh kl ngga nonton hehe. boleh2. dirimu tinggal dimana? kl di jogja alumni dan calon mahasiswa swedia ada pertemuan buka bersama tanggal 11 Juli 2014. japri ya ke neoroel@gmail.com