Sunday, October 18, 2009

Filsafat Hidup Pak Marijan

Mudah - mudahan saya tidak salah mengingat nama seorang guru kehidupan minggu ini. Beliau orang yang sangat bersahaja, ulet, teguh pendirian, dan mandiri. Saya menjumpai beliau pada rabu, 14 Oktober 2009. Kebetulan roda sepeda motor saya bocor di daerah perempatan Santikara, Jl. Prof Yohanes. Kebanan dalam Bahasa Jawa (ban= roda). Sekitar pukul 03.30 pm jogja masih lumayan panas, beruntung aku langsung menemukan tempat untuk menambal.

Tukang tambal ban ini tingginya sekitar 155 cm, berkaus putih namun tersibak di bagian punggungnya. Mungkin karena terlalu gerah sehingga beliau membiarkan angin membelainya sekaligus matahari membakar kulitnya. Topi ‘caping’ lebar menutupi kepalanya. Gigi Taring kanannya sudah tanggal namun suaranya masih sangat berwibawa.

“Bocor, mbak?”, Tanya beliau sekedar untuk memulai percakapan.

Inggih (iya dalam Bahasa Jawa), Pak”, Tanyaku sambil duduk di trotoar supaya bisa memperhatikan beliau bekerja lebih dekat.

Bosan menunggu akupun memulai percakapan,”Sudah berapa lama jadi tukang tambal?”

“wahh , sakdurunge panjenengan lahir (sebelum Anda lahir),” Kata beliau jenaka.

“Memang bapak tahu saya lahir tahun berapa?”

“Tahun berapa, mbak?” Beliau balik bertanya.


“1982”.

“Wah, itu seumur dengan anak saya ketiga”.

Pak Marijan ini berusia 62 tahun. Masih sehat dan bersemangat. Putra beliau empat. Berprofesi menjadi tukang tambal ban sejak sebelum menikah, kira-kira 40 tahun. Percakapan 30 menit dengan beliau mengilhami saya tentang tiga hal: kesetiaan, kemandirian dan kesederhanaan.

Kesetiaan

“Bapak, pernah bosan jadi tukang tambal ban?” Tanyaku penasaran.

“nggak..nggak pernah. Rejeki saya memang jadi tukang tambal ban,” Jawab beliau mantap.

Beliau belajar menambal dari alm. Ayahnya. Sejak itu sampai sekarang beliau tidak pernah melirik pekerjaan lain. Dan beliau mensyukuri itu. Dalam hati saya bertanya, patutkah saya mengagumi beliau karena kesetiaannya ataukah perlu saya mengkritik kenihilan usaha beliau untuk mencoba yang lain. Terkungkung dalam ‘jeruji’ satu pekerjaan.

“Maaf, Pak. Putra-putri bapak pernah protes dengan pekerjaan bapak?”

“halahh..buat apa diambil pusing mbak. Anak-anak saja kok”.

“Lalu biaya untuk sekolah dan kalau ada yang sakit gimana, pak?” Saya masih berusaha mencari celah bahwa ada saat dimana bapak ini berpikir untuk pindah pekerjaan.

“Anak-anak sudah mandiri sejak kecil. Rejeki itu bisa cukup kalau kita bersyukur”.

Well, ini percakapan sederhana tapi bagi saya sangat penting. Saya selalu kagum dengan orang – orang yang berdedikasi tinggi dan setia dengan pilihan kariernya dari awal, luar biasa. Bagaimana mungkin beliau tidak tergoda untuk mempunyai ketrampilan yang lain misalnya. Atau penghasilan yang lebih layak. Atau bosan bekerja di bawah terik matahari.

“What will i do with the rest of my life?”

Itu adalah pertanyaan berikutnya yang saya tujukan untuk diri saya sendiri. Saya masih berproses untuk bisa menjawab pertanyaan ini. Masih mencari gut feeling yang konon kabarnya sangat kuat mendesak seseorang untuk terus mencambukkan semangat berkarya. Pekerjaan Pak Marijan memang sederhana. Dan saya tetap iri karena dia menemukan ‘jalannya’ sejak awal. Beliau begitu mencintai pekerjaannya dan bekerja dengan sepenuh hati.

Kemandirian

“Ngga ingin jualan atau ikut orang misalnya?” Tanyaku mengejar.

“Ngga punya modal, mbak kalau mau jualan. Ikut orang?? Saya anti dengan yang namanya ikut orang mbak”, Cibir beliau.

Dengan tegas beliau menuturkan alasan kenapa beliau tidak mau bekerja dengan orang lain. Bagi beliau bekerja seharusnya dilakukan dengan senang dan bebas. Kalau beliau bekerja untuk orang lain, beliau harus mengikuti aturan main majikan tersebut. Datang telat..dimarahi. mau baca koran..dipelototi. mau libur..gaji dipotong.

“Makan hati, mbak!”

“Saya bekerja begini saja anak saya bisa lulus SMU dan SMK. Malahan ada satu yang S2 dan sekarang bekerja di Jakarta”.

“Oya? Bidang apa, Pak?” Tanyaku tertarik.

“wah embuh opo tho, mbak...aku ga mudeng. Akuntansi kethoke (Wah entah apa, mbak...saya ngga tahu. Akuntansi sepertinya),” Polos beliau menjawab.

“Bapak, kan bisa istirahat sekarang. Putra-putrinya sudah sukses kan?”

“Saya ngga suka minta-minta bahkan dengan anak sekalipun. Saya masih bisa mencukupi biaya hidup saya dengan bekerja sendiri, itu prinsip saya mbak”.

Salut sekali lagi untuk Pak Marijan. Semangat beliau patut dipuji. Usia 62 tahun masih terus bekerja dengan menarik gerobak berisi mesin pompa dan beberapa perkakas pendukung. Bekerja di pinggir jalan yang nyaris tanpa perlindungan yang memadai.

Kesederhanaan

“Maaf, Bapak merokok?”

“Woo jelas, mbak. Nggak bisa nggak. Delapan batang sehari”.

“Ngga ingin berhenti?” Pancingku.

“Kalau saya merokok berarti sehat mbak. Nggak usah dibuat susah. Mbaknya ini kebanyakan sekolah pasti. ”

“Maksud, bapak?”

“ Dari tadi pertanyaannya bikin pusing. Kayak, seperti, anak saya yang s2 itu. Dia nasehatin saya macem-macem supaya berhenti merokok”

“Bagus kan, Pak. Berarti putra bapak perhatian”.

“Hidup itu dijalani saja. Nggak usah aneh-aneh, marai mumet (bikin pusing). Seperti kalau orang mau nikah. Tapi anak jaman sekarang itu mau nikah aja mikirnya setengah mati”.

Hehehe..wah jawaban si bapak agak keluar jalur neh. But,..well, let’s make things as simple as they are. Itu nasehat ketiga dari Pak Marijan. Bukan berarti penelitian-penelitian tentang merokok dan bahayanya menjadi tidak perlu. Tapi pada porsi tertentu, mari menghadapi sebuah masalah dengan apa adanya, tidak perlu diperumit. It’s all about the power of simplicity (again).

“Sudah selese, mbak”.

Beliau segera membersihkan tangannya dan mengajak bersalaman.

“Maaf kalau ada yang salah,” Kata Beliau sambil tersenyum lebar,”Jangan dimasukkan ke hati”.

“Terima kasih banyak ,Bapak”.

Semoga ada kesempatan lain untuk melanjutkan pelajaran dari alam terbuka ini. Doa saya semoga beliau tetap sehat.

No comments: