Sunday, November 22, 2009

JEDA

Seindah apa pun huruf terukir, dapatkah Ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkah Ia dimengerti jika tak ada spasi?

Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak? Dan saling menyayang bila ada ruang? Kasih sayang akan membawa dua orang makin berdekatan, tapi Ia tak ingin mencekik, jadi ulurlah tali itu.

Nafas akan melega dengan sepasang paru-paru yang tak dibagi. Darah mengalir deras dengan jantung yang tidak dipakai dua kali.

Jiwa tidaklah dibelah, tapi bersua dengan jiwa lain yang searah. Jadi jangan lumpuhkan aku dengan mengatasnamakan kasih sayang.

Mari berkelana dengan rapat tapi tak dibebat, janganlah saling membendung apabila tak ingin tersandung.

Pegang tanganku, tapi jangan terlalu erat, karena aku ingin seiring dan bukan digiring.
(Diambil dari Buku Filosofi Kopi karya Dewi ‘Dee’ Lestari)

Jeda tercipta untuk memberi ruang yang cukup bagi jiwa kita yang semakin didominasi oleh rasionalitas dan logika. Jarak terentang agar dua insan menyadari sepenuhnya bahwa setiap orang adalah individu utuh. Ia berhak berkeputusan dan pihak lain diharapkan untuk menghormatinya. Spasi ada agar kita memahami apa yang telah kita lalui dan pikirkan. Tanpanya, seperti puisi di atas, kata dan huruf menjadi kabur kebermaknaannya, sulit untuk dicerna atau bahkan sama sekali tidak bisa dimengerti. Tapi terlalu banyak jeda menciptakan kehampaan.

Tahun lalu, aku begitu menggilai konsep mind, body and soul. Status y!mku memuat beberapa puisi bertemakan hal itu.

Ketika ‘Penaku bicara’
Hatikupun ikut menyapa
Dan Neurotransmitterkupun bekerja
Mind Body& Soul

Ketika bibirku gagu
Hatikupun kelu
Akhirnya otakkupun beku
Mind Body& Soul

Dan beberapa puisi lirih lainnya sehingga membuat seorang suami menyangka bahwa aku menujukan puisi-puisi itu untuknya. Ketika beliau mencoba ‘mendekatiku’, aku menjadi marah...sangat marah sehingga aku tidak sanggup membalas pesannya. Sejak saat itu aku menghentikan menulis status apapun yang terlalu mendayu-dayu. Saat itu yang kubutuhkan adalah jeda sehingga kata-kata yang kuucapkan bukan sumpah serapah yang akan membuat masalah menjadi keruh.

Jeda menjadi penting untuk memastikan bukan hanya emosi yang mendominasi. Jeda mengizinkanku untuk melibatkan logika dan rasionalitasku masuk. Jeda memberi waktu bagi jiwa yang sempat ‘terluka’ untuk melihat masalah lebih jernih. Dan lebih dari itu, memberi kesempatan bagi jiwa, suara hati, kita untuk didengar.

Aku membutuhkan satu hari jeda untuk bisa membalas sang bapak, suami orang, yang keGe-Eran tersebut. Berusaha menempatkan masalah sesuai porsinya dan tidak membiarkannya menjadi berlarut-larut.

Setiap dari kita membutuhkan jeda. Bahkan Tuhanpun telah menciptakan sebuah cara agar kita mampu membuat jeda dari kesibukan kita sehari-hari. Muslim mengenal sholat lima waktu setiap hari. Pemeluk agama nasrani mengenal kegiatan kebaktian setiap Hari minggu. Penganut Budha dan Hindu mengadakan ritual keagamaan di Pura atau Vihara. Beberapa yang lain lebih menyukai bermeditasi. Semua mengenai jeda, spasi.
Manusia modern diidentikkan dengan penggunaan otak dan rasionalitas di atas apapun dan fisik tentu saja. Padahal manusia terdiri dari tiga komponen: otak, jiwa dan fisik. Lalu bagaimanakah jiwa akan berkontribusi? Atau lebih tepatnya adakah peluang baginya untuk berperan?

Ketika akan memilih pekerjaan kita cenderung untuk memikirkan untung ruginya secara nalar. Untuk pengembangan diri dan organisasi mungkin kita akan berpikir menggunakan metode SWOT (Strenght, Weakness, Opportunity dan Threat) sebagai piranti mutakhir. Bahkan untuk memilih pasangan kita melakukan perhitungan-perhitungan logis untuk meminimalisir kegagalan dan sakit hati. Atau bahkan ada yang menyarankan untuk menggunakan metode statistik dan meranking calon berdasar kriteria tertentu. Apakah masih ada tempat bagi suara hati kita untuk didengar?

"Hati tidak perlu memilih karena ia tahu pasti dimana kan berlabuh", Kata Luhde dalam 'Perahu Kertas' karya Dee Lestari.

Itu adalah penolakan seorang Luhde atas jawaban Keenan terhadap pertanyaannya sendiri. Luhde menanyakan kenapa Keenan menyukainya.

Dan Keenan menjawab, ”Karena aku memilihmu”.

Sebagian dari kita mungkin akan merasa di awang-awang ketika orang yang kita suka mengatakan dia memilih kita. Tapi tidak dengan Luhde. Luhde sadar betul bahwa tindakan memilih adalah hasil dari pemikiran, rasionalitas yang mungkin menihilkan suara hati. Dan ia meyakini kita tidak akan bahagia jika kita mengingkari suara hati kita atau bahkan tidak menghiraukannya. Karena itu dia memilih untuk tidak menerima Keenan.

Jeda adalah cara untuk memberi ruang bagi jiwa kita. Jeda adalah saat dimana kita bisa memahami secara utuh segala kejadian di seputar kita. Dan jeda mengizinkan bisikan hadir dari diri kita yang murni. Itu adalah penghargaan seutuhnya bagi eksistensi raga dan otak kita. Ia tidak mungkin salah karena ia berbeda dengan emosi yang sesat dan sesaat. Ia bukan logika yang sering kali kurang tepat dalam melakukan pertimbangan-pertimbangan. Ia adalah bagian diri kita yang sering kita lupakan.

Temukan jawaban dari kegalauan kita melalui jeda! Lewat sholat-sholat malam yang dengan syahdu melantunkan pengharapan sejatimu. Melalui keheningan dan kebeningan jiwa yang akan mengantar pada kebahagiaan sejati. Bersualah dengan jedamu di antara rinai hujan yang mulai sering menyapa. Atau sambutlah dia di tepian danau yang penuh ketenangan dan kelegaan. Mungkin juga diantara sesapan secangkir hangat kopi.

Dan kelak, di saat begitu banyak jalan
terbentang di hadapanmu
Dan kau tak tahu jalan mana yang harus kauambil
Janganlah memilihnya dengan asal saja
Tetapi duduklah dan tunggulah sesaat
Tariklah nafas dalam-dalam,
Dengan penuh kepercayaan
Seperti saat kau bernafas di hari pertamamu di dunia ini
Jangan biarkan apa pun mengalihkan perhatianmu
Tunggulah dan tunggu lebih lama lagi
Berdiam dirilah, tetap hening, dan dengarkanlah hatimu
Lalu, ketika hati itu bicara, beranjaklah
Dan pergilah ke mana hati membawamu

(cuplikan buku "Pergilah ke mana hati membawamu" karya Susanna Tamaro)