Tuesday, January 27, 2009

Yoga dilarang di Indonesia


“What will you do now when Indonesia bans Yoga?”
Aku terhenti sesaat. Semula hendak merebahkan badan sambil meneruskan buku ‘The undercover economist’. Menoleh pada kawan di sisi lain kamar.
“No way. I read news today. They allow us to practice Yoga.”
Kemarin, 26/1, aku pulang ke rumah dengan perasaan tenang dan Haqqul Yaqin bahwasanya MUI mengeluarkan Fatwa yang tepat terkait dengan praktek Yoga. Dalam hal ini aku merasa bangga karena MUI tidak serta merta melarang yoga mengikuti negara Tetangga, Malaysia.
Aku tidak pernah mengaitkan Yoga dengan agama. Memang ada unsur spiritualitas dalam Yoga. Meditasi. Relaksasi. Tapi aku pribadi menanggapinya sebagai salah satu cara untuk lebih mendekatkan diri pada Allah. Relaks dan fokus pada kekinian.
Tidak bisa kubayangkan jika Yoga dilarang. Sebagai orang medis, aku percaya dengan mempraktekkan Yoga maka itu bagian dari olah raga. Dan bukankah sebagai seorang muslim kita harus sehat. Padahal definisi sehat menurut WHO sangat rumit, “a state of complete physical, mental and social well-being and not merely the absence of disease or infirmity”.
Jadi kita tidak pernah benar-benar sehat bahkan ketika ada sedikit ‘ketegangan’. Degenerasi fungsi tubuh tidak bisa dihindari. Tapi tubuh kita bisa dilatih, mencegah proses penurunan fungsi terlalu cepat.
Tapi apa yang akan kulakukan jika Yoga benar-benar dilarang?
Hmmm..
Kupikir aku akan melanggar aturan itu. Melembagakan Ijtihaj itu sangat efektif dan diutamakan tapi personal ijtihaj juga tidak dilarang kan? Aku tidak pernah meniatkan Yogaku sebagai bentuk penghambaan pada Tuhan yang lain. Dan ini satu-satunya olah raga yang rutin kulakukan hampir tiga tahun.
Ada satu pose yang belum kukuasai padahal aku sangat suka. Crane Pose. Bakasana. Posisi ini, lihat gambar, melatih keseimbangan lengan. menguatkan pergelangan tangan, lengan bawah, otot perut dan organ didalamnyaadan keseimbangan tubuh keseluruhan.
Makna lain dari Pose ini adalah agar kita tidak menilai hanya dari penampilan saja. Sepintas pose ini sangat sederhana. Padahal untuk melakukannya secara sempurna dibutuhkan pemahaman intisarinya, ’dynamic tension’. Secara tidak langsung menunjukkan kegilaanku pada kesederhanaan. Bukan karena aku orang yang sederhana. Tapi karena aku orang yang rumit. Terlalu banyak pertimbangan dan pemikiran. Dan aku selalu kagum dengan orang-orang yang bisa ‘simple’. Bahkan untuk menemukan arti ‘The power of simplicity’, aku membuatnya menjadi begitu rumit. hehehe

Keberpihakan pada Perempuan?

Standar ganda terhadap wanita (karier) masih biasa terjadi. Setidaknya itulah yang saya rasakan. Kita, bahkan wanita itu sendiri, tidak pernah benar-benar mendukung aktualisasi diri kita. Sebagai contoh Rachida Dati, 43, menteri kehakiman Prancis dengan masalah maternal leavenya. Majalah Times Edisi Januari 15th 2009 menyebutkan bahwa hari kelima pasca persalinan Dati memutuskan untuk bekerja.
“I’m back”, Katanya.
Keputusan yang berkonsekuensi. Sesuatu yang bahkan dipertanyakan oleh keluarga dan sahabat-sahabatnya. Padahal dari merekalah sebenernya dukungan itu diharapkan.
Dalam Artikelnya, Vivienne Walt menyebutkan perjuangan yang dilalui oleh Dati selama ini. Terlahir dengan 12 bersaudara. Ibunya meninggal usia muda. Ayahnya seorang buruh bangunan. Mulai bekerja sejak usia 16 tahun dan belajar dimalam hari. Ia adalah orang pertama keturunan Afrika Utara yang menjadi mentri di Prancis. Ketika bahaya mengancam perjalanan karier, perjuangannya, nalurinya tergerak untuk mempertahankan. Sesuatu yang mudah dipahami. Tapi menjadi begitu rumit ketika yang melakukan itu adalah seorang ibu yang baru saja melahirkan.
Saya sendiri percaya keputusan apapun yang diambil Dati, itu adalah keputusan yang rumit dan memiliki konsekuensi. Meneruskan maternal leave, empat bulan, menjadikannya seorang ibu yang ‘baik’ tapi bukan sebagai politikus. Berusaha memahami sedikit dilema ini. Terkadang banyak urusan pekerjaan yang tidak bisa didelegasikan. Dan meskipun status kita sedang cuti, toh kita tidak pernah benar-benar cuti. Teknologi saat ini mempermudah untuk berkomunikasi sehingga tidak ada alasan untuk tidak merespon telepon atau email penting.
Dan bukan keputusan yang mudah ketika ia akhirnya memilih untuk benar-benar bekerja. Orang sekitar mulai mengatakan ia bukan ibu yang baik. Ia terlalu ambisius dan menelantarkan anak. Perempuan mempunyai beban moral yang lebih terhadap anak. Saya pribadi masih berpikir bahwa anak adalah tanggung jawab ayah dan ibu. Seimbang. Dalam hal ini saya percaya seorang Dati sudah berdiskusi dengan suaminya mengenai tanggung jawab ini. Akibatnya, orang di luar tidak mempunyai hak untuk men’judge’.
Implikasi dari pernyataan sebelumnya adalah ketika istri tidak bisa mengambil tanggung jawab penuh terhadap anak maka suami mengambil alih. Itulah sebabnya istilah Paternity leave lebih tepat. Dalam hal ini Swedia patut diacungi jempol. Tidak tanggung-tanggung, satu tahun paternity leave. Dua tahun berada di Swedia, saya sudah tidak asing lagi melihat bapak-bapak mengasuh anaknya sambil berbelanja di supermarket, memeriksakan anaknya yang sakit bahkan sekedar mengajak jalan-jalan. Dan saya sangat menghormati pria yang rela melakukan hal itu.
Pemerintah Prancis sendiri sangat responsif dalam menyikapi permasalahan ini. Sehingga per 12 Januari 2009, mengusulkan adanya penggantian sementara selama empat bulan. Saya membungkukkan badan pada negara yang dipimpin oleh Nicolas Zarkozy ini.
Tapi tidak semua peraturan mendukung program maternity leave ini. Rosmawati, 25, mahasiswa doktoral dari Malaysia mengalami dilema pasca persalinannya. Departemen tempatnya belajar memberi ijin, bahkan menganjurkan untuk mengambil cuti selama minimal enam bulan. Namun tidak dengan pemerintah Malaysia, penyandang dana. Perjanjian yang ada ketika mendapatkan beasiswa tidak mencantumkan pengecualian untuk keadaan ini. Ia memilih bekerja dari rumah ketika putrinya masih berumur kurang dari satu bulan. Ia berusaha untuk dapat menyelesaikan kuliahnya sesuai dengan beasiswa yang didapatnya.
Dalam hal ini saya salut terhadap Mohamad Zalmy. Ia rela untuk mengikuti Ros ke Swedia. Dan tinggal di rumah untuk merawat anaknya. Mungkin hanya satu dari seribu pria asia yang bisa melakukan apa yang dilakukan Zalmy.

Wednesday, January 21, 2009

KUTERIMAKAN

Hari ini sekali lagi kuterimakan keadaanku
tanpa dirimu
Mungkin belum saatnya kumilikimu
Meski kawan beritakan lagi kabar tentangmu
Mengingatkanku pada obsesiku yang dulu
Maaf
Tanpa angin, tanpa hujan terhembus lagi kabar tentangmu
Iphone, Samsung Omnia, Sony Ericcson Xperia, sampai Blackberry dan Palm Treo coba ditawarkan
Dengan harga murah
Sekali lagi maaf.. karena aku termasuk Price-Insensitive customer
Semurah apapun harga yangkau tawarkan aku masih akan tetap setia
Setia pada Samsung jadulku
Yang meski hanya bisa sms dan telpon tapi penuh kenangan
Bukti bahwa aku sudah tidak tergantung pada orang tua secara financiil
Bukti kemandirianku karena itu aku tetap setia
Belum saatnya kumilikimu...kumohon kau sabar menanti (nunggu harganya turun lagi maksudnya)
=))

Tuesday, January 20, 2009

NAMAKU LINDA


SIANG ini, 11.00 am, aku melakukan perjalanan rutinku ke perpustakaan pusat, Universitetbibliotek. Hujan salju masih berlanjut sejak semalam. Melewati daerah pedagoggränd menuju daerah hutan kecil. Kulihat di tiang lampu itu masih tersandar sepeda oranye. Kuncinya erat memeluk sepeda itu dengan tiang lampu.
“Apa kabar Linda, ya?”, Pikirku.
Linda adalah seorang yang kukenal semalam, pemilik sepeda itu. Kita belum sempat banyak bercakap. Aku hanya tahu namanya Linda.

PERUTKU mulai mengeluarkan bunyi-bunyi. Tampilan yang muncul dari ‘Scirus’ dan ‘Cochrane’ tidak cukup menggoda pikiranku. Kuputuskan cukup untuk Hari Senin ini. Kuedarkan pandangan pada 47 meja yang lain. Kosong. Sendiri di ruang seluas 12x10 meter.
Beberapa buku kubawa menuju ke lokerku. Putar ke kanan tiga kali. Putaran keempat berhenti di nomor 15. Putar ke kiri angka 25. Terakhir putar ke kanan 17. ‘CLICK’. Kuhembuskan napas sedikit lebih keras. Ini kali pertama aku menggunakan lokerku. Gunnis Karlsson baru memberitahukan padaku pukul 10.10 am.
Selanjutnya ritual sebelum keluarpun dimulai. Melilitkan syal merah di leherku. Mengenakan jaket merah, pinjaman dari Mba Ari. Meletakkan tas ransel di punggungku dan terakhir sepasang sarung tangan.
Di ruang resepsionis hanya kulihat seorang petugas saja. Lelaki berambut sedikit gondrong tapi rapi dan gaya. Mengenakan sweater hitam.
“Hej san!!”,katanya pada seorang mahasiswa yang menunggu di meja.
Melewati pintu detektor, akupun berjalan menuju pintu keluar. Pelan memencet tombol pembuka pintu otomatis. Sebenarnya alat ini ditujukan untuk mereka yang berkursi roda. Tapi sering juga aku menggunakannya. Di Luar ternyata salju turun. Berlatarkan langit yang gelap, kapas-kapas seperti berjatuhan dari langit.
Sepuluh menit berjalan. Sesekali saja kutegakkan kepalaku. Aku sudah melewati daerah hutan kecil. Lima meter di depanku ada sebuah terowongan. Di baliknya adalah area dimana aku tinggal.
“Sebentar lagi sampai Alidhem Centrum”, kataku dalam hati.
Sepintas kulihat seseorang berjaket hijau berlawanan arah menuju terowongan. Berjalan dengan sepedanya. Beberapa tas bergelantungan di sisi kanan dan kiri stang sepeda.
Kutundukkan lagi kepalaku. Satu meter terpaut darinya tiba-tiba dia jatuh terkapar. Aku berjalan mendekat.
“Can i help you?”.
Kusingkirkan sepeda yang jatuh menimpanya. Barang belanjaannya jatuh berhamburan. Dua buah tas kertas ukuran besar berisi makanan dan peralatan dapur. Keranjangnya juga terisi penuh. Kualihkan pandangan padanya. Tak ada jawaban. Dia masih terkapar.
“Are you OK?” Kuraba bahunya. Kupalingkan mukanya yang masih mencium tanah. Tanpa respon dan ekspresi.
O..o..hmmm...
Reflek kucari denyut nadi di lehernya. Dan kuletakkan jari diujung hidungnya. Aman. Masih ada denyut nadi dan nafas. Seorang wanita berjaket hitam berjalan mendekat. Melihat kondisi ini, ia meraih teleponnya,” We should call ambulance”.
Please do that.
Terus terang aku tidak terlatih untuk kondisi darurat. Aku hanya tahu dalam kondisi ini aku harus memastikan ia dalam kondisi yang aman. Tapi ia jatuh dalam kondisi yang benar2 bagus. Di tepi dan di bawah terowongan. Dan ia mengenakan helm. Minimal bisa kupastikan tidak ada cedera kepala yg serius.
Posisi tengkurap kurasa kurang baik untuk nafasnya. Jadi kubantu ia untuk miring. Tiba-tiba ia kejang. Empat ekstrimitasnya bergerak tak terkendali. Clonic state. Kondisi dimana otot berkontraksi dan relaks dengan sangat cepat dan tak terkendali. Badannya bergunjang cepat.
Wanita berjaket itu masih menelpon ambulance. Kuteriakkan kondisi pasien agar dia laporkan pada petugas. Nafasnya sempat hilang sesaat. Ada pergerakan bola mata. Tidak ada air liur yang keluar. Satu wanita lain memarkirkan sepedanya ikut membantu.
Kurasa komunikasi berbahasa Inggris kurang efektif dalam kondisi seperti ini. Ia membantu mengkomunikasikan keadaan pasien kepada wanita berjaket hitam. Petugas juga memandu apa saja yang harus dilakukan.
Kejang itu berhenti sekitar 2 menit. Setelahnya tidak terlalu jelas apakah ada fase tonic. Karena seluruh tubuhnya tertutup. Dan kita tidak mau ambil resiko membuka jaketnya. Suhu masih minus 4 kurasa. Tapi yang jelas ia masih tidak sadar dan tidak ada reaksi terhadap stimulus apapun. Nadinya sedikit lebih cepat.
“Arggghhh..Awhhhh”, Gumamnya setelah beberapa menit.
Koordinasi ototnya masih belum sempurna. Tapi pelan, kesadarannya mulai pulih.
“Vad Heter du,” Tanya wanita disampingku.
“Linda”.
Sekitar lima menit ambulans datang. Seorang pria yang melewati terowongan itu membantu memberi arahan pada ambulans. Dua petugas keluar. Satu membawa brankar dan satu lagi memeriksa kondisi Linda. Dialog terjadi antara petugas dan wanita berjaket hitam. Linda sudah dalam kondisi yang aman.
Dialog beralih pada apa yang harus dilakukan pada sepeda dan barang bawaannya. Akhirnya petugas itu memutuskan untuk membawa semua barang Linda ke dalam ambulans. Kemudian meninggalkan sepeda. Tidak aman meninggalkan sepeda begitu saja. Untung Linda cukup sadar untuk mengatakan bahwa dia membawa kunci pengaman dan menunjukkan kuncinya.
Setelah peristiwa itu aku sibuk bertanya,”benarkah yang kulakukan?”
Berikut hal-hal yang bisa dilakukan ketika terjadi kejang:
1. Amankan pasien dan cegah terjadinya injuri. Posisikan pasien dalam kondisi terbaring, miring (apalagi jika pasien muntah untuk mencegah terhirup ke paru-paru). Jauhkan dari benda-benda yang berbahaya/ tajam di sekitarnya.
2. Beri alas di kepalanya. Dalam kasus Linda, helmnya cukup untuk mencegah benturan selama kejang berlangsung
3. Monitor tanda-tanda vital (terutama nadi, napas), temani pasien sampai ada petugas yang bisa mengambil alih
4. Jangan beri/meletakkan apapun diantara gigi pasien (termasuk jari) ketika kejang terjadi
Aku sedikit lega, setidaknya apa yang kulakukan bisa dipertanggungjawabkan. Lalu apa penyebab yang memungkinkan terjadinya kejang? Untuk menentukan alasan pastinya perlu pemeriksaan lebih lanjut. Namun kondisi berikut adalah beberapa alasan terjadinya kejang: epilepsi, penggunaan alkohol, drug abuse, demam, cedera kepala, meningitis, kadar gula darah rendah (hypoglicemia). Kira-kira penyebab apa ya yg cocok?

Referensi:
1. Marx JA, Hockberger RS, Walls RM, eds. Rosen’s Emergency Medicine: Concepts and Clinical Practice. 5th ed. St. Louis, Mo: Mosby; 2002
2. Univeristy of Maryland Medical Centre. Available :http://www.umm.edu/ency/article/000021.htm

Sunday, January 11, 2009

Tuhan, Andai Boleh Kumemilih

Pernah terbayang kalau aku sekamar dengan seorang bajak laut Somalia? Ini bukan khayalan bukan pula kenyataan. Hanya sebuah dugaan, prasangka yang sempat merusak liburannya. Sewaktu kembali ke Umea, Sweden dari perjalanannya ke Jerman.
Sore hari, 10 Januari, pertama kali kulihat dia di tahun 2009. Hampir dua minggu tak bertemu membuat kami banyak bercerita. Mulutnya tak henti bicara selama 20 menit. Tangannya sibuk bergerak, dramatisasi ceritanya. Matanya lincah melirik ke kanan ke kiri sekedar menunjukkan padaku bagaimana orang jerman memperlakukannya.
“ They made funny face and starred at me, like this”, Kata Agnes Nanyonjo (29 tahun) sambil menyeringai dan memainkan bola matanya.
Aku pernah melihat banyak tatapan seperti itu ketika kita berdua pergi ke Riga, Latvia. Benar- benar bisa membayangkan peristiwa yang dia alami di bus Dresden-Munich. Kali ini bukan hanya sekedar tatapan dan mencoba menyentuhnya. Interogasi singkat sempat terjadi. Dua petugas tiba-tiba masuk dan mencecarnya dengan beberapa pertanyaan. Kewarganegaraan, apa yang dilakukannya di Jerman adalah isu sentralnya. Padahal ia hanyalah seorang Uganda yang menjadi mahasiswa di Swedia dan sedang mengunjungi temannya di Negara NAZI itu.
Pengalaman selanjutnya adalah di Bandara Berlin/ Berlin Flughäfen. Petugasnya begitu menyebalkan hingga membutuhkan waktu check in yang lama. Data seperti bukti reservasi, pasport bahkan sampai pertanyaan tidak penting,”any present for me?” cukup membuatnya sebal.
Tiba di Bandara Västeras, Swedia ia ingin segera mengejar Flygbussen, bus airport. Dua polisi dari dua arah yang berbeda bergerak ke arahnya. Merasa tidak punya masalah, ia masih melangkah terus hingga tangan petugas itu memberhentikannya.
“No,..not again”, Keluhnya.
Dan petugas itupun memberikan pertanyaan - pertanyaan serupa. Dan memintanya untuk menunjukkan bukti reservasi. Pertanyaan yang sangat tidak relevan apalagi setelah dia sampai tujuan.
“Look Nurul!! This simple traditional scarf thing is the matter”, Intonasinya sedikit naik saat mengatakan itu.
Itu adalah hasil obrolannya dengan beberapa penumpang lain. Kulitnya yang hitam, ditambah scraf bermotif Afrika yang melilit di lehernya membuat orang berpikir bahwa dia adalah imigran Somalia. Apa salahnya menggunakan syal tradisional? Dia begitu yakin kalau yang menggunakan itu adalah orang kulit putih atau Asia, perlakuan serupa tak akan terjadi.
Pengalamannya mengingatkanku pada seorang teman yang sedang memotret gedung di Jerman.
“Itu bukan mesjid yang bisa kau foto”, Teriak seorang pria padanya dalam Bahasa Jerman.
Sesuatu yang tak dia mengerti sampai temannya menjelaskan padanya. Hanya karena dia berjilbab. Ada sepotong kain yang menutupi rambutnya. Itu memang simbol sebuah agama. Begitu sulitkah menerima orang lain apa adanya, termasuk agamanya? Bisakah menganggap itu sebagai sebuah mode?
Tidak ada yang bisa dipersalahkan. Temanku tidak pernah meminta untuk dilahirkan sebagai orang kulit hitam. Temanku yang lain tidak memilih untuk dibesarkan dalam lingkungan muslim. Ia terbiasa dengan nilai-nilai itu meski ia punya hak untuk menentukan agamanya sendiri di kemudian hari.
Tapi setiap orang memiliki mekanisme pertahanannya sendiri. Melindungi dirinya, keluarganya, keyakinannya dari sesuatu yang ia anggap berbahaya. Mungkin tidak benar-benar berbahaya, hanya sesuatu yang asing, identik dengan ketidaktahuan, bagi mereka. Kesadaran akan adanya ‘ancaman’ melahirkan prasangka.
Hal inilah yang mengawali stereotype. Misal, laki-laki itu maskulin, dan itu berarti keterlibatan ‘otot’ diperbolehkan. Dengan itu, orang mempunyai alasan untuk memperlakukan orang lain seperti yang mereka sangka. Lahirlah apa yang orang sebut Sexism, Racism, Chauvinism. Istilah yang serupa tapi merujuk pada tataran yang berbeda. Bentuk ekstrem dari eksistensi diri dan kelompok dimana dia berada.
Seorang Osama Bin Laden mungkin cukup untuk membuat sebagian bule-bule itu berpikir semua muslim adalah teroris. Karena kebanyakan negara Afrika adalah negara miskin, maka kita meremehkan keberadaan mereka. Hanya karena bajak laut Somali dan kekacauannya membuat polisi-polisi itu berpikir akan banyak pencari suaka yang datang.
Terakhir, Hanya karena HAMAS dan perlawanan-perlawanan ‘kecilnya’ cukup memberikan alasan bagi Israel untuk menyerang ‘besar-besaran’? Lebih dari 800 korban meninggal dalam waktu 2 minggu.Bocah-bocah itu tidak memilih untuk dilahirkan sebagai warga Palestina. Jadi perlakukanlah mereka dengan penuh martabat.
Dan untuk martabat dan kemanusiaan itupulalah demonstrasi dan penggalangan dana marak dilakukan di seluruh dunia. Sabtu, 10 Januari 2009 di Stockholm setidaknya 8000 demonstran hadir di Sergel’s Torg. Umea juga melakukan hal yang serupa meski dengan kuantitas yang lebih kecil. Ribuan orang juga berkumpul di Taman Queen, Brisbane menunjukkan solidaritas terhadap saudara yang sedang terdzalimi.

Saturday, January 03, 2009

My resolution

“I am Leaving the past as it is and living today for what it is”, Jeritku dalam hati. Di atasku fireworks berbagai warna dan bentuk bermain-main indah. Satu, dua, tiga membentuk payung di atasku. Payung yang indah berwarna merah, ungu, kuning. Hijau tetap yang terindah di mataku.
“Happy new year, Xue Yen!” Kubalas ucapan selamat temanku. Satu tanganku melingkar di bahu kirinya. Yang lain tak berkutik karena digenggamnya erat.  ini hanyalah salah satu usaha untuk mempertahankan tubuh dalam suhu normal.
Detik pertama di tahun 2009. Umea, Sweden pukul 00.00 bersuhu minus 10. Tidak terlalu dingin jika angin tidak ikut meramaikan suasana. Membuat kakiku terasa nyilu. Tanganku sedikit kebas setelah berada di luar selama satu jam lebih.
Pertunjukan tanpa kata di langit itu berlangsung sekitar 10 menit.
“YES”, Teriak bocah balita di sampingku. Matanya terus terarah ke atas, acuh meski beberapa pasang mata melirik ke arahnya.
Tepuk tangan bergemuruh beberapa kali. Terang kembang api berlatarkan gelapnya langit. Ternyata ‘kegelapan’ justru membuat cahaya terasa lebih ‘bersinar’. Kalaupun ‘hitam’ lebih mendominasi selalu akan ada warna.
Selalu ada alasan untuk bersyukur atas nikmat hari ini. Seperti salah satu ayat favoritku dalam AlQuran ,“Wa laa i Robbikuma Tukadziban”. Dan nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan. Kalimat ini beberapa kali disebut dalam surat ArRahman.
Ada saatnya kita tersesat supaya kita tahu apa yang dimaksud jalan yang benar. Ada saatnya kita sedih agar lebih mensyukuri saat bahagia. Tahun 2008 ini, aku dikhianati sahabat dalam urusan pekerjaan dan sekaligus patah hati. Itu sangat menyakitkan. Sedih tentu saja. Hilang arah dan tak tahu jalan tujuan bisa dimengerti. Tapi keadaan tidak akan berubah tanpa ada usaha.
Allah tidak akan merubah nasib kaumnya tanpa usaha. Apa dengan meratapi nasib kemudian aku bisa menghapus peristiwa pencolongan dataku? Menangis dan tidak fokus pada pekerjaan akan membuat ‘lelaki’ di belahan bumi yang lain itu berpaling padaku?
Jawabnya, “TIDAK.TIDAK.TIDAK”
Gelapnya langit membuat kembang api menjadi lebih indah. Hidupkupun akan lebih indah dengan banyaknya cobaan yang kuhadapi. Toh aku tidak pernah sendiri. Ada keluarga yang selalu bisa kuajak bicara. 3 ponakan jagoan yang meski jauh tapi selalu dekat di hati. Ada teman yang selalu menanti. Kurang apa lagi coba aku ini?
Sulit sekali berdamai dengan kegagalan. Aku semakin kagum pada para diplomat. Kagum pada bagaimana mereka berkompromi. Kudapati bersahabat dengan masa lalu terutama yang menyakitkan sangatlah sulit. Selalu ada alasan untuk menunda-nunda pekerjaan dulu sebelum bersusah payah lagi. Call me a Proscrastinator!!
Kulihat jam dinding di radhusset menunjukkan pukul 12.15. waktunya untuk pulang. Saatnya untuk berjuang lagi. Tahun sudah berganti maka semangatpun harus diperbaharui. Tahun ini, aku akan menyelesaikan sekolahku lagi untuk kesekian kali. Waktunya untuk bekerja dan mengabdi. Meski dunia sedang dilanda krisis, jangan menyerah. Rizki Allah ada dimanapun. Tahun untuk ‘menyingsingkan lengan’ kurasa.
Bekerja sebagai peneliti bukan ide yang buruk. Di Universitas atau NGO bukan masalah. Di luar negri lebih kuprioritaskan kurasa. Atau magang di majalah di luar negri? Mengasah bahasa inggris, kemampuan menulis sekaligus jurnalisme? Hmmm...masih tergoda. ;)
Bagaimana kalau kita merencanakan untuk membuat kenangan? Dengan berusaha memberikan yang terbaik pada orang-orang terkasih dan mensyukuri yang ada saat ini. Masa lalu memang selalu bisa dikenang. Tapi selalu ada ‘detik ini’ untuk membuat kenangan baru.