Sunday, January 11, 2009

Tuhan, Andai Boleh Kumemilih

Pernah terbayang kalau aku sekamar dengan seorang bajak laut Somalia? Ini bukan khayalan bukan pula kenyataan. Hanya sebuah dugaan, prasangka yang sempat merusak liburannya. Sewaktu kembali ke Umea, Sweden dari perjalanannya ke Jerman.
Sore hari, 10 Januari, pertama kali kulihat dia di tahun 2009. Hampir dua minggu tak bertemu membuat kami banyak bercerita. Mulutnya tak henti bicara selama 20 menit. Tangannya sibuk bergerak, dramatisasi ceritanya. Matanya lincah melirik ke kanan ke kiri sekedar menunjukkan padaku bagaimana orang jerman memperlakukannya.
“ They made funny face and starred at me, like this”, Kata Agnes Nanyonjo (29 tahun) sambil menyeringai dan memainkan bola matanya.
Aku pernah melihat banyak tatapan seperti itu ketika kita berdua pergi ke Riga, Latvia. Benar- benar bisa membayangkan peristiwa yang dia alami di bus Dresden-Munich. Kali ini bukan hanya sekedar tatapan dan mencoba menyentuhnya. Interogasi singkat sempat terjadi. Dua petugas tiba-tiba masuk dan mencecarnya dengan beberapa pertanyaan. Kewarganegaraan, apa yang dilakukannya di Jerman adalah isu sentralnya. Padahal ia hanyalah seorang Uganda yang menjadi mahasiswa di Swedia dan sedang mengunjungi temannya di Negara NAZI itu.
Pengalaman selanjutnya adalah di Bandara Berlin/ Berlin Flughäfen. Petugasnya begitu menyebalkan hingga membutuhkan waktu check in yang lama. Data seperti bukti reservasi, pasport bahkan sampai pertanyaan tidak penting,”any present for me?” cukup membuatnya sebal.
Tiba di Bandara Västeras, Swedia ia ingin segera mengejar Flygbussen, bus airport. Dua polisi dari dua arah yang berbeda bergerak ke arahnya. Merasa tidak punya masalah, ia masih melangkah terus hingga tangan petugas itu memberhentikannya.
“No,..not again”, Keluhnya.
Dan petugas itupun memberikan pertanyaan - pertanyaan serupa. Dan memintanya untuk menunjukkan bukti reservasi. Pertanyaan yang sangat tidak relevan apalagi setelah dia sampai tujuan.
“Look Nurul!! This simple traditional scarf thing is the matter”, Intonasinya sedikit naik saat mengatakan itu.
Itu adalah hasil obrolannya dengan beberapa penumpang lain. Kulitnya yang hitam, ditambah scraf bermotif Afrika yang melilit di lehernya membuat orang berpikir bahwa dia adalah imigran Somalia. Apa salahnya menggunakan syal tradisional? Dia begitu yakin kalau yang menggunakan itu adalah orang kulit putih atau Asia, perlakuan serupa tak akan terjadi.
Pengalamannya mengingatkanku pada seorang teman yang sedang memotret gedung di Jerman.
“Itu bukan mesjid yang bisa kau foto”, Teriak seorang pria padanya dalam Bahasa Jerman.
Sesuatu yang tak dia mengerti sampai temannya menjelaskan padanya. Hanya karena dia berjilbab. Ada sepotong kain yang menutupi rambutnya. Itu memang simbol sebuah agama. Begitu sulitkah menerima orang lain apa adanya, termasuk agamanya? Bisakah menganggap itu sebagai sebuah mode?
Tidak ada yang bisa dipersalahkan. Temanku tidak pernah meminta untuk dilahirkan sebagai orang kulit hitam. Temanku yang lain tidak memilih untuk dibesarkan dalam lingkungan muslim. Ia terbiasa dengan nilai-nilai itu meski ia punya hak untuk menentukan agamanya sendiri di kemudian hari.
Tapi setiap orang memiliki mekanisme pertahanannya sendiri. Melindungi dirinya, keluarganya, keyakinannya dari sesuatu yang ia anggap berbahaya. Mungkin tidak benar-benar berbahaya, hanya sesuatu yang asing, identik dengan ketidaktahuan, bagi mereka. Kesadaran akan adanya ‘ancaman’ melahirkan prasangka.
Hal inilah yang mengawali stereotype. Misal, laki-laki itu maskulin, dan itu berarti keterlibatan ‘otot’ diperbolehkan. Dengan itu, orang mempunyai alasan untuk memperlakukan orang lain seperti yang mereka sangka. Lahirlah apa yang orang sebut Sexism, Racism, Chauvinism. Istilah yang serupa tapi merujuk pada tataran yang berbeda. Bentuk ekstrem dari eksistensi diri dan kelompok dimana dia berada.
Seorang Osama Bin Laden mungkin cukup untuk membuat sebagian bule-bule itu berpikir semua muslim adalah teroris. Karena kebanyakan negara Afrika adalah negara miskin, maka kita meremehkan keberadaan mereka. Hanya karena bajak laut Somali dan kekacauannya membuat polisi-polisi itu berpikir akan banyak pencari suaka yang datang.
Terakhir, Hanya karena HAMAS dan perlawanan-perlawanan ‘kecilnya’ cukup memberikan alasan bagi Israel untuk menyerang ‘besar-besaran’? Lebih dari 800 korban meninggal dalam waktu 2 minggu.Bocah-bocah itu tidak memilih untuk dilahirkan sebagai warga Palestina. Jadi perlakukanlah mereka dengan penuh martabat.
Dan untuk martabat dan kemanusiaan itupulalah demonstrasi dan penggalangan dana marak dilakukan di seluruh dunia. Sabtu, 10 Januari 2009 di Stockholm setidaknya 8000 demonstran hadir di Sergel’s Torg. Umea juga melakukan hal yang serupa meski dengan kuantitas yang lebih kecil. Ribuan orang juga berkumpul di Taman Queen, Brisbane menunjukkan solidaritas terhadap saudara yang sedang terdzalimi.

2 comments:

Kopi Dan Tembakau said...

wah, mbak Nurul produktif nih menulis. Kayanya ilmu kelas menulisnya digunakan secara kaffah.. Aku malah belum sempat2 menulis panjang, hiks.. Ayo semangat mbak!

Nuri said...

hayoo nulis2!!..apalagi dah kelar tho sekolahnya. SEMANGAT JUGA RI!!