Tuesday, January 20, 2009

NAMAKU LINDA


SIANG ini, 11.00 am, aku melakukan perjalanan rutinku ke perpustakaan pusat, Universitetbibliotek. Hujan salju masih berlanjut sejak semalam. Melewati daerah pedagoggränd menuju daerah hutan kecil. Kulihat di tiang lampu itu masih tersandar sepeda oranye. Kuncinya erat memeluk sepeda itu dengan tiang lampu.
“Apa kabar Linda, ya?”, Pikirku.
Linda adalah seorang yang kukenal semalam, pemilik sepeda itu. Kita belum sempat banyak bercakap. Aku hanya tahu namanya Linda.

PERUTKU mulai mengeluarkan bunyi-bunyi. Tampilan yang muncul dari ‘Scirus’ dan ‘Cochrane’ tidak cukup menggoda pikiranku. Kuputuskan cukup untuk Hari Senin ini. Kuedarkan pandangan pada 47 meja yang lain. Kosong. Sendiri di ruang seluas 12x10 meter.
Beberapa buku kubawa menuju ke lokerku. Putar ke kanan tiga kali. Putaran keempat berhenti di nomor 15. Putar ke kiri angka 25. Terakhir putar ke kanan 17. ‘CLICK’. Kuhembuskan napas sedikit lebih keras. Ini kali pertama aku menggunakan lokerku. Gunnis Karlsson baru memberitahukan padaku pukul 10.10 am.
Selanjutnya ritual sebelum keluarpun dimulai. Melilitkan syal merah di leherku. Mengenakan jaket merah, pinjaman dari Mba Ari. Meletakkan tas ransel di punggungku dan terakhir sepasang sarung tangan.
Di ruang resepsionis hanya kulihat seorang petugas saja. Lelaki berambut sedikit gondrong tapi rapi dan gaya. Mengenakan sweater hitam.
“Hej san!!”,katanya pada seorang mahasiswa yang menunggu di meja.
Melewati pintu detektor, akupun berjalan menuju pintu keluar. Pelan memencet tombol pembuka pintu otomatis. Sebenarnya alat ini ditujukan untuk mereka yang berkursi roda. Tapi sering juga aku menggunakannya. Di Luar ternyata salju turun. Berlatarkan langit yang gelap, kapas-kapas seperti berjatuhan dari langit.
Sepuluh menit berjalan. Sesekali saja kutegakkan kepalaku. Aku sudah melewati daerah hutan kecil. Lima meter di depanku ada sebuah terowongan. Di baliknya adalah area dimana aku tinggal.
“Sebentar lagi sampai Alidhem Centrum”, kataku dalam hati.
Sepintas kulihat seseorang berjaket hijau berlawanan arah menuju terowongan. Berjalan dengan sepedanya. Beberapa tas bergelantungan di sisi kanan dan kiri stang sepeda.
Kutundukkan lagi kepalaku. Satu meter terpaut darinya tiba-tiba dia jatuh terkapar. Aku berjalan mendekat.
“Can i help you?”.
Kusingkirkan sepeda yang jatuh menimpanya. Barang belanjaannya jatuh berhamburan. Dua buah tas kertas ukuran besar berisi makanan dan peralatan dapur. Keranjangnya juga terisi penuh. Kualihkan pandangan padanya. Tak ada jawaban. Dia masih terkapar.
“Are you OK?” Kuraba bahunya. Kupalingkan mukanya yang masih mencium tanah. Tanpa respon dan ekspresi.
O..o..hmmm...
Reflek kucari denyut nadi di lehernya. Dan kuletakkan jari diujung hidungnya. Aman. Masih ada denyut nadi dan nafas. Seorang wanita berjaket hitam berjalan mendekat. Melihat kondisi ini, ia meraih teleponnya,” We should call ambulance”.
Please do that.
Terus terang aku tidak terlatih untuk kondisi darurat. Aku hanya tahu dalam kondisi ini aku harus memastikan ia dalam kondisi yang aman. Tapi ia jatuh dalam kondisi yang benar2 bagus. Di tepi dan di bawah terowongan. Dan ia mengenakan helm. Minimal bisa kupastikan tidak ada cedera kepala yg serius.
Posisi tengkurap kurasa kurang baik untuk nafasnya. Jadi kubantu ia untuk miring. Tiba-tiba ia kejang. Empat ekstrimitasnya bergerak tak terkendali. Clonic state. Kondisi dimana otot berkontraksi dan relaks dengan sangat cepat dan tak terkendali. Badannya bergunjang cepat.
Wanita berjaket itu masih menelpon ambulance. Kuteriakkan kondisi pasien agar dia laporkan pada petugas. Nafasnya sempat hilang sesaat. Ada pergerakan bola mata. Tidak ada air liur yang keluar. Satu wanita lain memarkirkan sepedanya ikut membantu.
Kurasa komunikasi berbahasa Inggris kurang efektif dalam kondisi seperti ini. Ia membantu mengkomunikasikan keadaan pasien kepada wanita berjaket hitam. Petugas juga memandu apa saja yang harus dilakukan.
Kejang itu berhenti sekitar 2 menit. Setelahnya tidak terlalu jelas apakah ada fase tonic. Karena seluruh tubuhnya tertutup. Dan kita tidak mau ambil resiko membuka jaketnya. Suhu masih minus 4 kurasa. Tapi yang jelas ia masih tidak sadar dan tidak ada reaksi terhadap stimulus apapun. Nadinya sedikit lebih cepat.
“Arggghhh..Awhhhh”, Gumamnya setelah beberapa menit.
Koordinasi ototnya masih belum sempurna. Tapi pelan, kesadarannya mulai pulih.
“Vad Heter du,” Tanya wanita disampingku.
“Linda”.
Sekitar lima menit ambulans datang. Seorang pria yang melewati terowongan itu membantu memberi arahan pada ambulans. Dua petugas keluar. Satu membawa brankar dan satu lagi memeriksa kondisi Linda. Dialog terjadi antara petugas dan wanita berjaket hitam. Linda sudah dalam kondisi yang aman.
Dialog beralih pada apa yang harus dilakukan pada sepeda dan barang bawaannya. Akhirnya petugas itu memutuskan untuk membawa semua barang Linda ke dalam ambulans. Kemudian meninggalkan sepeda. Tidak aman meninggalkan sepeda begitu saja. Untung Linda cukup sadar untuk mengatakan bahwa dia membawa kunci pengaman dan menunjukkan kuncinya.
Setelah peristiwa itu aku sibuk bertanya,”benarkah yang kulakukan?”
Berikut hal-hal yang bisa dilakukan ketika terjadi kejang:
1. Amankan pasien dan cegah terjadinya injuri. Posisikan pasien dalam kondisi terbaring, miring (apalagi jika pasien muntah untuk mencegah terhirup ke paru-paru). Jauhkan dari benda-benda yang berbahaya/ tajam di sekitarnya.
2. Beri alas di kepalanya. Dalam kasus Linda, helmnya cukup untuk mencegah benturan selama kejang berlangsung
3. Monitor tanda-tanda vital (terutama nadi, napas), temani pasien sampai ada petugas yang bisa mengambil alih
4. Jangan beri/meletakkan apapun diantara gigi pasien (termasuk jari) ketika kejang terjadi
Aku sedikit lega, setidaknya apa yang kulakukan bisa dipertanggungjawabkan. Lalu apa penyebab yang memungkinkan terjadinya kejang? Untuk menentukan alasan pastinya perlu pemeriksaan lebih lanjut. Namun kondisi berikut adalah beberapa alasan terjadinya kejang: epilepsi, penggunaan alkohol, drug abuse, demam, cedera kepala, meningitis, kadar gula darah rendah (hypoglicemia). Kira-kira penyebab apa ya yg cocok?

Referensi:
1. Marx JA, Hockberger RS, Walls RM, eds. Rosen’s Emergency Medicine: Concepts and Clinical Practice. 5th ed. St. Louis, Mo: Mosby; 2002
2. Univeristy of Maryland Medical Centre. Available :http://www.umm.edu/ency/article/000021.htm

No comments: