Tuesday, January 27, 2009

Yoga dilarang di Indonesia


“What will you do now when Indonesia bans Yoga?”
Aku terhenti sesaat. Semula hendak merebahkan badan sambil meneruskan buku ‘The undercover economist’. Menoleh pada kawan di sisi lain kamar.
“No way. I read news today. They allow us to practice Yoga.”
Kemarin, 26/1, aku pulang ke rumah dengan perasaan tenang dan Haqqul Yaqin bahwasanya MUI mengeluarkan Fatwa yang tepat terkait dengan praktek Yoga. Dalam hal ini aku merasa bangga karena MUI tidak serta merta melarang yoga mengikuti negara Tetangga, Malaysia.
Aku tidak pernah mengaitkan Yoga dengan agama. Memang ada unsur spiritualitas dalam Yoga. Meditasi. Relaksasi. Tapi aku pribadi menanggapinya sebagai salah satu cara untuk lebih mendekatkan diri pada Allah. Relaks dan fokus pada kekinian.
Tidak bisa kubayangkan jika Yoga dilarang. Sebagai orang medis, aku percaya dengan mempraktekkan Yoga maka itu bagian dari olah raga. Dan bukankah sebagai seorang muslim kita harus sehat. Padahal definisi sehat menurut WHO sangat rumit, “a state of complete physical, mental and social well-being and not merely the absence of disease or infirmity”.
Jadi kita tidak pernah benar-benar sehat bahkan ketika ada sedikit ‘ketegangan’. Degenerasi fungsi tubuh tidak bisa dihindari. Tapi tubuh kita bisa dilatih, mencegah proses penurunan fungsi terlalu cepat.
Tapi apa yang akan kulakukan jika Yoga benar-benar dilarang?
Hmmm..
Kupikir aku akan melanggar aturan itu. Melembagakan Ijtihaj itu sangat efektif dan diutamakan tapi personal ijtihaj juga tidak dilarang kan? Aku tidak pernah meniatkan Yogaku sebagai bentuk penghambaan pada Tuhan yang lain. Dan ini satu-satunya olah raga yang rutin kulakukan hampir tiga tahun.
Ada satu pose yang belum kukuasai padahal aku sangat suka. Crane Pose. Bakasana. Posisi ini, lihat gambar, melatih keseimbangan lengan. menguatkan pergelangan tangan, lengan bawah, otot perut dan organ didalamnyaadan keseimbangan tubuh keseluruhan.
Makna lain dari Pose ini adalah agar kita tidak menilai hanya dari penampilan saja. Sepintas pose ini sangat sederhana. Padahal untuk melakukannya secara sempurna dibutuhkan pemahaman intisarinya, ’dynamic tension’. Secara tidak langsung menunjukkan kegilaanku pada kesederhanaan. Bukan karena aku orang yang sederhana. Tapi karena aku orang yang rumit. Terlalu banyak pertimbangan dan pemikiran. Dan aku selalu kagum dengan orang-orang yang bisa ‘simple’. Bahkan untuk menemukan arti ‘The power of simplicity’, aku membuatnya menjadi begitu rumit. hehehe

No comments: