Sunday, March 27, 2011

Akhir Pekan Waktunya Bermimpi

Hari ini dan kemarin, bolehlah aku bermimpi. Sebentar saja. Hanya beberapa beberapa jam saja dari dua hari itu, aku ingin bermimpi. Bukan. Bukan tidur yang aku bayangkan untuk kulakukan. Tapi sejenak melepaskan batasan-batasan rasionalitas yang mengungkung pewujudan miimpi. Dua hari ini saja, aku ingin melupakan kenyataan bahwa mimpi itu masih terlalu jauh untuk direngkuh. Terlalu abstrak untuk dicecap rasanya dan bahkan terlalu mustahil untuk sekedar dibayangkan.
Pagi hari, menemukan file lagu schiller feat Lang Lang (Time for dreams), adalah anugerah bagiku. Cobalah dengarkan lagunya yang ritmis mengalun. Setiap dentingan piano Lang-Lang seakan bisa memberi semangat jantungku untuk berdenyut, setiap alunannya memompa semangat untuk terus berusaha. Karena bahkan berusaha dan mempunyai gairah hidup itupun harta yang sangat berharga. Dan baru hari ini, aku menyadari bahwa akhir pekan adalah hari yang sangat kunikmati. Aku tidak perlu khawatir bahwa yang kulakukan akan sia-sia. Tidak memikirkan, bahwa orang lain mungkin menganggap aneh ide dan semangatku.
Sedikit orang berani bermimpi. Dan lebih sedikit lagi orang yang berani berusaha meraih mimpi. Apalagi untuk seorang wanita ‘timur’ yang sudah cukup umur untuk menikah. Tidak akan ada lagi yang memberimu semangat untuk “Gantungkan cita-citamu setinggi langit”. Oughhhhh..huffff..lupakan itu! “Sekarang saatnya untuk berharap ada seseorang yang sudi melamarmu”. Sepertinya Cita-cita ibu Kartini baru terkabulkan sampai tahap dimana seorang perempuan hanya boleh bermimpi sampai usia tertentu. Pramudya dalam bukunya ‘Kartini’ mengatakan, dengan sinis, kemerdekaan yang diidamkan Kartini hanya dapat diperoleh ketika dia menjadi Janda.
Jadi ijinkan hanya di dua hari ini aku bermimpi dan berusaha untuk mewujudkan mimpiku. Hanya demi dua hari ini saja, aku akan dengan semangat melewati lima hari lainnya. Untuk dua hari ini, aku yakin suatu saat aku akan meraih yang kuinginkan. Dua hari ini...

Backsound: Schiller feat Lang Lang

Wednesday, March 02, 2011

Cinta Vs Lelang

Cinta dan pelelangan, apa hubungannya? Membaca buku ‘Sway’, belum menginspirasiku untuk menulis. Meski bagian pelelangan dan hubungannya dengan keputusan US untuk membantu Vietnam Selatan melawan komunisme dari utara cukup mengejutkanku. Hingga seorang kawan menceritakan kehidupan cintanya, ini memberiku ide, “Cinta juga seperti pelelangan”. Di pelelangan, ada kalanya kita beruntung mendapatkan barang berharga dengan harga murah di lain waktu kita rugi karena membayar mahal untuk benda yang kurang berharga.
Jadi begini, dalam buku itu diceritakan seorang dosen di Harvard Business School mengadakan ‘Lelang $20’ untuk kelas negosiasi. Peraturannya hanya dua, kenaikan penawaran hanya boleh selisih $1 satu dengan yang lain dan penawar tertinggi kedua harus membayar sejumlah tawarannya meskipun kalah.
Seperti yang telah diperkirakan oleh dosen, tahap pertama berlangsung sangat cepat. Setiap mahasiswa membayangkan mendapatkan sedikit keuntungan dari $20. Ritme sedikit melambat ketika penawaran mencapai $12-$16, tahap kedua. Sebagian besar sudah menebak ke arah mana lelang ini. $20 menjadi kurang bernilai. Hingga akhirnya hanya tersisa dua penawar tertinggi. Penawar kedua ($16) bisa memilih untuk berhenti dan mengakui kekalahannya atau menaikkan tawaran menjadi $18.
“Sudahlah, menyerah saja. Mumpung kekalahanmu masih sedikit”, Mungkin itu yang dikatakan teman-temannya yang lain sambil tersenyum melihat pertarungan ini.
Tapi di tahap ketiga ini, kedua penawar itu sedikit sulit menerima kekalahan dan menjadi lebih berkomitmen untuk memenangkan lelang. Penasaran. “Aku masih bisa menang”. Dan benar, lelang ini terus berlangsung. Semakin dalam terperosok ke dalam lubang dan sulit melepaskan. Penawaranpun terus berlanjut, $50,.. $75 dan penawaran tertinggi mencapai $204. Seperti judul bukunya, ‘Sway’, kita terkadang berlaku tidak rasional. Dalam hal ini, sulit menerima kekalahan dan komitmen menghalangi untuk berpikir ‘waras’.
Kembali ke cerita teman saya. Bagaimana menghubungkannya? Di awal masa romantisme itu berkembang, itu adalah fase-fase euphoria. Sama seperti ketika para mahasiswa membayangkan memperoleh $20. Kata-kata sayang mudah diucap di sini. Janji-janji manis diobral murah. Perilaku menyakitkan dinihilkan. Semuanya indah.