Saturday, April 07, 2012

Diobral (Nyawa Pekerja)


Lebih dari 240 juta jiwa jumlah penduduk Indonesia. Cukup banyak sehingga harga setiap nyawanya mungkin menjadi kurang diperhatikan. Satu tahun lalu saya memiliki kesempatan untuk berjalan-jalan ke NTT. Sebuah daerah eksotik dengan alam yang masih asri hijau. Belum terlalu banyak dieksplorasi sehingga bahkan jalan-jalannya pun masih sangat berkelok dan berlubang di sana-sini.
Foto di dalam artikel ini sedianya akan digunakan sebagai kantor pusat pembangkit listrik yang baru. Beberapa pekerja sedang sibuk menyelesaikan proyek pembangunan. Jika Anda cukup jeli maka akan terlihat dua orang pekerja yang tidak menggunakan pengaman bahkan untuk sekedar alas kaki. Pekerja dengan kaus garis oranye dan hitam bertopi itu berada di lantai empat dari sebuah gedung tanpa pengaman apapun.
Saya kurang paham mengenai alat-alat pengaman apa saja yang seharusnya digunakan tapi jika helm dan alas kaki saja tidak digunakan maka cukup jelas bahwa pekerja itu tidak menggunakan pengaman yang semestinya ketika bekerja. Pekerja yang lain berpindah posisi dengan hanya berpegang pada rusuk besi di tepi gedung. Jika tangannya selip dan jatuh maka bisa dipastikan ia akan terjun bebas ke bawah.
Di negara ini, jika Anda hanya menjadi orang kebanyakan Anda tidak akan layak dihargai bahkan nyawa Anda sekalipun. Di luar dari konteks keselamatan pekerja, saya teringat pernyataan seorang pejabat negara mengenai banyaknya korban ledakan LPG.
“Wajar jika dalam satu kebijakan baru ada kekurangan”.
Kesan yang ditangkap menjadi lebih ke pembenaran dan logika proyek tetapi dengan nilai humanisme yang minimal. Bahkan satu korban pun sudah terlalu banyak untuk sebuah kebijakan. Begitu seharusnya slogan pemerintah. Kelemahan lain dari sebuah kebijakan mungkin masih bisa ditolerir tapi tidak dengan korban manusia. Zero tolerance!
Kembali ke proyek pembangunan kantor pembangkit listrik di NTT. Kami berkeliling di seputar wilayah proyek yang cukup luas. Tempat ini masih terisolir dari dunia luar sehingga satu-satunya jalan menuju proyek ini mungkin hanya dilalui oleh kendaraan yang ada hubungannya dengan proyek. Kami hanya menemukan satu rumah sederhana di sekitar tempat pembangunan.
Sekali lagi kalau dilihat dari sisi kesehatan, kesehatan jiwa. Para pekerja, yang kebanyakan laki-laki, ini pastilah sulit untuk mencari menu makanan di luar dari yang disediakan proyek (jika ada). Oleh karena itu, menu makanan yang tersedia menjadi mutlak tanggung jawab employer. Pekerja tidak memiliki alternatif lain yang dapat dipilih. Dan employer, untuk alasan apapun, berkewajiban untuk memberikan pilihan yang setidaknya mendukung kinerja pegawainya (untuk jangka pendek atau panjang).
Masalah menu dan makanan mungkin masih terlalu jauh untuk dapat disediakan bahkan dimengerti karena keselamatan yang langsung bisa dirasakan manfaatnya saja masih belum terpenuhi.
Di negara ini nyawa rakyat kebanyakan memang tidak ada harganya.
“Lebih baik bekerja dengan pengamanan yang minimal tapi mendapatkan bayar dari pada banyak suara dengan resiko tidak diikutkan dalam proyek lagi.”
Sebaliknya dari sisi employer merasa masih ada banyak calon pegawai yang menunggu kesempatan untuk dapat bergabung dalam proyek. Jika satu pekerja sakit/berhalangan maka sangat mudah untuk mencari pengganti. Sehingga pengeluaran tambahan untuk tetek bengek pengamanan pegawai menjadi tidak terlalu penting.
Ah, apapun dengan jumlah yang semakin banyak diharuskan mengorbankan ‘nilai’nya. Haruskah ‘nilai’ manusia juga berkurang nilainya.

No comments: