Friday, May 29, 2009

Things i hate about you


I hate when you leave the door open
I hate the fact that you don’t have to wake up to start watching movies or typing
I hate when you say, "Leave me alone"
I hate you because you are my first African friend who always correct my english grammar and pronunciation
I hate because you didn’t keep your promise to always make the room tidy
I hate because you always have strong argumentations
Because you left me with empty room. Because we hadn’t finished watching '10 things i hate about you'; ‘passengers’ remained unclear also because our mini-cinema should be closed
I hate because of what we like in common: vanilla ice cream, white chocolate, and cheese
I hate because there will be no chance to be your roommate, not even chance to meet
I hate because i guess i will miss you

Note: adapted from ‘10 things i hate about you’ movie for my beloved voodoo's mother, Agnes Nanyonjo

Thursday, May 28, 2009

Teropong Penyebaran Pendidikan Indonesia (Jawa vs NonJawa)


Membaca lagi daftar calon presiden, capres, pada hari minggu (24 Mei 2009), saya terlintas bahasan penyebaran pendidikan di Indonesia. Tulisan ini hanya sebuah teropong dari masalah ini. Layaknya teropong, ia hanya digunakan untuk melihat objek yang kita minati dari jauh. Bahasan dalam artikel inipun masih terlalu dangkal. Tapi seandainya mungkin, saya ingin mengembangkan menjadi sebuah artikel yang membahas masalah penyebaran pendidikan di Indonesia secara menyeluruh.

Beberapa aktor lama, terutama orde baru, masih muncul di awal pencalonan presiden seperti Akbar Tanjung, Prabowo (menantu mantan presiden Soeharto)(Lihat Table 1). Megawati, putri mantan presiden pertama, juga masih muncul. Dari sisi gender, minimal ada satu sosok wanita tampil di elit politik Indonesia.

Kolom kedua menginformasikan tahun kelahiran dan umur para kandidat. Tahun 40-an mendominasi tahun kelahiran yang berarti usia 50 sampai 60 tahun. Usia termuda adalah Hidayat Nur Wahid (49 tahun). Rata-rata usia capres 2009 kali ini adalah 59.62 tahun.

Selanjutnya, lima dari 13 capres (38.46%) berasal dari luar jawa (kolom ketiga). Beliau adalah Akbar Tanjung, Yusril Ihza Mahendra, Rizal Ramli, Din Syamsudin dan Yusuf Kalla. Kondisi ini menunjukkan keterwakilan saudara- saudara kita di luar jawa. Setidaknya ada ruang untuk saudara kita untuk berpartisipasi aktif. Isu kesetaraan hak menjadi isu utama di sini. Saya yakin bahwa pernyataan saya di atas masih terlalu dangkal. Setidaknya ada proses menuju ke arah yang lebih baik. Proses itu yang saya utamakan.

Kolom keempat adalah bahasan Utama kita. Secara umum para kandidat memiliki latar belakang pendidikan SMU plus. Bahkan mayoritas lulus tingkat doktoral, 61.54%. Kali ini saya tidak berani mengatakan bahwa hal ini mencerminkan kenyataan. Apalagi dengan meningkatnya biaya kuliah. Minimal untuk menempuh pendidikan lanjut menjadi lebih sulit untuk kondisi saat ini. Hal lain yang saya lihat adalah, kecenderungan kaum muda untuk lebih religius tanpa menjadi ekstrimis. Dua capres termuda (Hidayat Nur Wahid dan Din Syamsudin) adalah lulusan universitas berbasis pendidikan agama. Setidaknya universitas ini juga bisa melahirkan pemimpin yang berkualitas untuk menjawab kebutuhan bangsa. Sayangnya, satu-satunya capres wanita kita adalah lulusan SMU (karena tidak lulus pendidikan S1). Apakah ini menunjukkan pendidikan kaum wanita secara umum memang lebih rendah dibanding pria?

Saturday, May 23, 2009

Makhluk Mungil di Sekitarku _’09



“Mbak Nurul ndak boleh pulang hari ini!”, Bunyi catatan yang dibuat Michele Andra padaku. Hari senin sore (18 Mei ’09) itu aku memang berkunjung ke rumahnya. Sebuah ajakan yang wajar dari seorang adek kepada kakaknya. Sayang harus kutolak karena sesuatu hal. Michele lebih mudah mengerti dibandingkan adiknya, Crysella. Dia bahkan menambahi, ”Harus tinggal di sini 10 hari!”. Tentu saja itu tidak mungkin karena empat hari kemudian mereka sekeluarga harus pergi ke Stockholm kemudian ke Indonesia.
Begitulah hari-hariku. Menjadi bibi dan kakak bagi banyak makhluk mungil. Aku selalu kagum pada semangat muda mereka. Berusaha untuk belajar dari kesederhanaan dunia polos mereka. Tulisan ini kubuat sebagai ucapan terima kasih dari seorang kakak dan bibi (tante) kepada adek/ keponakannya. Cerita berikut berdasar gambar di atas dimulai di pojok kiri atas searah jarum jam.

Tiga pahlawanku (Auf, Ayas, Abit) ini adalah putra dari mas Abram Perdana dan Mbak Asri Kirana (Goteburg). Akhir maret 2009 aku menginap dua hari dua malam di kediaman beliau. Meski belum pernah bertemu sebelumnya kami langsung akrab. Permainan yang digemari adalah tebak-tebakan.
“Paus apa yang pinter mengaji?” Tanya Auf.
Aku dan Ayas tidak bisa menjawab. Kemudian dengan bangga Auf berkata,” Pa Ustadz, seperti Abi”. ;)
Atau ketika Abit mendakwaku untuk membacakan buku ‘Mama Muu’ (Mama Sapi) sambil tiduran di pangkuanku. Beberapa kali Abit memprotesku karena pengucapanku salah. Serasa ujian oral Bahasa Swedia. Hahaha.

Foto kedua adalah foto putri dari Pak Nawi Ng dan Mbak Ailiana Santosa. Michele dan Crysella namanya. Melanjutkan cerita di paragraf pertama. Aku berhasil mendapat ijin dari Crysella untuk pulang. Turun dari lantai tiga apartemen mereka menggunakan lift. Ternyata si bungsu menyusulku turun ke lantai dasar menggunakan tangga.
“Mbak Nurul, aku lupa bilang kalau Mba Nurul harus janji untuk nginap hari ini ya!”
Aku tidak bisa menjawab, cuma bisa menatap wajah polosnya dan minta bantuan ibunya untuk menjelaskan.
“Mbak Nurul mau nginep asal boleh peluk dan dicium,” Kusodorkan pipiku.
Aku tahu dia selalu menolakku jika kuminta dia menciumku dan sekedar untuk menggodanya.

Foto Ketiga adalah gambar keponakanku (Zuhdi, Furqan, Faqih). Putra dari Eka Firmansyah dan Indriana Hidayah. Aku belum ada kenangan dengan dua kemenakan kembar yg kusebut terakhir. InsyaAllah 2010 baru bisa bertemu langsung setelah ayahnya selesai sekolah. Zuhdi, Izu panggilannya, selalu mengajakku main perang-perangan.
“Ayo, Bi Lung! Ciat! Ciatt!”, Membabi buta dia menyerangku tapi dengan mata tertutup. hehehe.
Obatku ketika resah atau sedih adalah memeluknya. Kubuat dia diam tak berkutik dan bingung. Tapi dia sangat baik sehingga membiarkan aku meneruskan sampai aku puas. Cukup membuat bapaknya cemburu, sehingga sering meniruku,”Cium dulu donk, Bapak!”.
Sering kali pertanyaan-pertanyaan polosnya membuatku tersenyum simpul.
“Bi Lung kan di Swedia kok bisa Bahasa Indonesia, ya Bu?”

Bayi mungil di gambar terakhir adalah Zara Nur Akila, putri dari Mohammad Zalmy dan Rosmawati. Pasangan muda ini pergi jauh ke Umea dari Malaysia untuk belajar. Ros adalah mahasiswa S3 di Umea. Zalmy berbesar hati mengikuti istrinya setelah lulus S1. Ketika Ros kuliah Zalmylah yang mengasuh Akila.
Bersama mereka, aku belajar menjadi orang tua. Mengganti popok, menggendong, mengantar ke klinik. Ikut berdiskusi ketika ada perawat Vardcentral, Puskesmas, berkunjung ke rumah. Terima kasih untuk kesempatannya.
Setiap melihat Akila, aku selalu yakin bahwa rejeki datang pada waktunya. Tidak pernah diperlambat ataupun dipercepat. Sebelumnya, banyak hal yang kupertanyakan dari mereka. Diskusi kita seputar pernikahan dan kehamilan yang terkesan tanpa perencanaan. Dan mereka begitu yakin dengan keputusan yang diambil, ikhlas dengan apapun rencana Allah. Aku bangga mengenal keluarga muda ini.

Ini hanyalah beberapa penggalan cerita bersama makhluk mungil di sekitarku. Mereka yang selalu menginspirasi langkahku. Aku hanya bisa berharap yang terbaik untuk mereka semua. Semoga bisa meraih apapun cita-cita mereka, menjadi anak yang sholeh/ sholehah dan berbakti pada orang tua. Amien. (kok kesannya tua banget ya...huhuhu)

Friday, May 22, 2009

Tiga Pertama untuk Dikenang


Kali pertama selalu berkesan. Setidaknya untuk melakukan dan melampaui ‘pertama’ selalu dibutuhkan perjuangan. Gambaran-gambaran kesulitan biasanya lebih mendominasi ketika kita akan melakukan sesuatu untuk pertama kalinya. Bangga sedang dan telah melewati tiga diantaranya, disimbolkan dengan tiga benda yang berbeda.
Hari ini, Kamis (21/5/2009) aku mendapatkan ‘talisman’ ketigaku. Ditambah dua benda ‘pertama’ lainnya akan selalu mengingatkan pada sejarahku sendiri. Agar aku selalu berjuang untuk mendapatkan ‘pertama’ lainnya. Angka tiga adalah angka keramat bagiku. Ganjil, tidak terlalu banyak ataupun sedikit. Tak salah jika kuputuskan untuk menulis.
Alhamdulillah, tak terkira rasa syukurku pada Allah. Ataz rizki dan rahmat yang tak terkira. Memberiku orang-orang ‘besar’ penuh kasih sayang. Beri hamba kemampuan untuk membalas rasa mereka ya Allah. Sang Maha Pecinta. Jika telah Kau tetapkan cinta pada hati seseorang, maka tak ada yang bisa mengubahnya.
‘Talisman’ pertama kudapat di tahun 2006 dan masih kugunakan sampai sekarang. Tahun ini adalah pertama kali aku bekerja penuh. Simbol kemandirian secara finansiil. HP Samsung, sederhana yang hanya bisa sms dan telpon. Tidak ada fungsi tambahan, jangankan bluetooth atau internet fungsi alarm atau radiopun tak tersedia. Waktu itu, HP seri inilah yang bisa masuk anggaran gajiku. Kriteria utamaku adalah Samsung, dampak dari ‘Korean wave’. Merk ini mewakili Korea Selatan. Secara tidak langsung kudedikasikan untuk dosen Bahasa Koreaku, Yang Ji Sun Sonsengnim. Beliau adalah orang yang menginspirasiku saat itu.
Benda kedua,kalung, kudapat di tahun 2007, sebelum aku berangkat ke Swedia. Berasal dari seseorang yang kuberi gelar ‘ayah kedua’ sebagai bentuk penghormatan. Seakan beliau ingin mengatakan,”Teruskan perjuanganmu”. Sengaja kugunakan saat pendadaran thesis karena aku ingin mengatakan,”Terima kasih atas kepercayaannya bapak, telah kutunaikan tugasku”. Ini adalah jembatan untuk meninggalkan yang ‘pertama’ (kerja) menuju ke ‘pertama’ (pergi dari rumah untuk jangka waktu lama dan ke luar negri) yang lain. Selain itu juga simbol kebangkitan setelah kepergian ayah kandungku.
Benda ketiga, cincin, kuterima sore ini. Aku hanya bisa memeluk dan mengucapkan terima kasih. Mataku mungkin tak memandangnya lama tapi mata hatiku mengukirnya dalam di lubuk hati.
“Iya, dilamar untuk jadi temanku selamanya”.
Sms ini kuterima pukul 9.36 pm CET. Hati siapa tak tersentuh mendapat perhatian seperti ini. Cincin ini adalah batu loncatan dari ‘pertama’ yang kedua menuju ‘pertama’ yang ketiga, kerja independen sebagai peneliti. Selain itu juga pelipur lara dari rasa yang tak berbalas. Hidup memang penuh pilihan. Dan aku bersyukur masih memiliki pilihan itu dan bisa menentukan keputusan hidupku.
Bismillahirrahmannirahiim, Jika Engkau kehendaki aku sebagai orang berilmu maka pastilah kudapati diriku berada di antara orang-orang yang Kau beri ilmu.

Friday, May 15, 2009

RASAKU

Rasaku padamu sederhana saja
Tak bisa kujanjikan setiap waktuku untuk mengingatmu
Atau kata yang mengalun biru
Tidak sampai saatnya tiba

Jika teman saja cukup bagi kita
Seandainya lara kehidupan itu tak hendak ditopang bersama
Setidaknya doaku masih belum terlarang
Temukan jalan dan caramu untuk terus berkarya

Karna kupun kan terus melangkah
Hanya jika kutemukan jalan menujumu
Menjadikanku bagian dari perjuanganmu
Maka kuyakin kaulah jawabnya

Note: Spesial untuk sahabatku yang akan segera menyempurnakan separuh diennya :)