Monday, August 08, 2011

Lake(s) Matters


“Aku akhirnya tergoda pingin nyoba ADS neh. Setelah mendapat penjelasan dari Fullbright bahwa bisa ambil S2 meski sudah pernah ambil S2, mungkin ADS punya pola yang sama”.
“Hah! Ng Uni apa? La emg oleh kok njupuk S2 meneh, Who said u cant? :p Uni apa ADS kan?”
“Iya ADS. Aku mu ambil di University of Queensland, University of Adeleide, or Australian National University”
“AH, Adeleide is sweet, peace n quiet, Queensland is warm n fun, Canberra is boring! Haha, u pick one. Cepet2 apply! “
“Which one of those cities that has Lake? A lake does matter for me.”
“Definitely adeled! Haha deket northern terrace! Big lake! Hehe”
Itu adalah sejumlah sms yang saling terkirim antara aku dan sohib. Keberadaan sebuah danau menjadi penentu universitas mana yang akan kupilih. Aku tidak bercanda. Bahkan bukan hanya untuk kuliah tapi untuk tinggal. Aku lebih memilih, jika bisa, untuk tinggal dekat dengan sebuah danau.
Teduh. Biru. Ketenangannya setara dengan kedalamannya. Persis seperti yang dikatakan pepatah kuno, “Air beriak tanda tak dalam”. Menatapnya, aku merasa dipeluk oleh alam. Biru yang dipagari oleh hijau tanaman. Tak ada mobil, berisik kereta maupun hilir manusia. Nihil kesibukan komputer dan FB. Hanya aku dan air.
Dingin desir angin bisa kutahan, demi sejenak bisa kumenikmati indahnya. Berdiri di ujung dermaga, membiarkan ujung-ujung bajuku melambai. Mengijikan angin menyentuh wajah. Berdesah atau bahkan bertengkar dalam hati. Monolog. Terkadang hanya senyap. Jeda. Mengijinkan diri hanyut dalam kesederhanaan alam. Menghirup dalam udara ke dalam paru-paru setelah berlari-lari kecil menujunya.
Danau pertama yang memukau adalah Takengon, Aceh Tengah. Ia begitu besar pun masih perawan. Sayang tak banyak waktu menikmati keindahannya. Kenangan yang paling dalam terukir adalah selama di Swedia. Aku rela berlari-lari diantara salju dan dinginnya winter di pagi atau sore hari demi menemuinya. Berbincang dengannya. Atau berjalan menyusur tepinya yang jauh demi menuju ke rumah kawan. Beberapa kali memandangnya dari kejauhan dari dalam kereta Stockholm-Linkoping dan sebaliknya. Swedia adalah negara 1000 danau. Dan aku merindukannya sama seperti merindu damai danau.
Gambar di atas diambil dari film “The girl with dragon tattoo”. Melihat danau adalah bagian yang paling berkesan. Swedia berarti danau. Orang-orangnya sama dengan tenangnya danau. Kadang terkesan dingin tapi jika kau ijinkan dan beri mereka waktu maka mereka akan menyambutmu hangat, terbuka. Sehangat pelukan danau.

Perlukah Mata Kuliah Empati?

Dokter itu masih muda plus cantik. Saat berjalan terlihat begitu anggun suaranya pun kecil. Tapi itu bukan harga mati bahwa beliau bisa berempati kepada pasien. Menyesal harus kukatakan seperti itu.
“Kenapa, bu?” Tanya dokter itu begitu memasuki ruangan diikuti oleh pasien yang bahkan belum sempat duduk.
“Saya kepalanya pusing, dok. saya sudah berobat ke rumah sakit daerah dan sudah EEG. Tapi setelah minum obat yang diresepkan, ternyata keluhan saya tidak berkurang. Karena itu saya kemari”.
“Pusing di daerah mana?”
“Di daerah sini, dok”, Pasien menunjuk kan kepala bagian frontal, depan.
“Nyerinya seperti apa?”
“Waktu awal nyerinya cekot-cekot tapi kadang ngga terasa hanya saja saya limbung. Saya juga tidak tahu nyerinya bagaimana”.
“Yang sakit saja tidak tahu, ya”, Kata dokter itu pelan dan tegas.
Apakah Anda merasakan nada yang sangat sinis? Bayangkan Anda yang duduk di sana menggantikan pasien itu. Lalu ketika Anda sedang berusaha mencerita keluhan Anda, dokter Anda menuduh Anda incompetible bahkan untuk menjelaskan tentang keadaan Anda.
Susah payah pasien itu berusaha menjelaskan kondisinya. Dia mulai bercerita bahwa dia sering punya tekanan darah rendah, pernah sebesar 90/60. Pada saat itu, ia akan merasa pusing dan kadang tidak bisa melakukan aktivitas.
“Tekanan darah saya juga kadang 90, tapi saya tidak masalah”, Kata wanita berjas putih itu.
Sekali lagi, dokter muda itu menuduh klien mengada-ada dan bahkan membandingkan dengan kondisinya sendiri.
Si pasien terdiam sesaat dan meneruskan keluh kesahnya. Ia menceritakan bagaimana ia mengalami kesulitan tidur sehingga tekanan darahnya tinggi, 130, sewaktu akan mengambil hasil EEG,. Pasien ini belum pernah mempunyai tekanan darah setinggi itu. Tiba-tiba ia teringat bahwa menstruasinya kurang lancar setelah menjalani KB suntik, tiga tahun yang lalu. Akhir-akhir ini perutnya juga sakit.
“KB tidak ada hubungannya dengan sakit perut, Bu”, Kata wanita berjas putih berkacamata itu tanpa memandang sang pasien.
Kemudian pasien ini berusaha menjelaskan bahwa ia menjalani terapi pijat. Sebenarnya pijat yang beliau maksud adalah refleksi. Dan beliau ingin menceritakan bahwa ia sangat kesakitan ketika penerapinya itu menekan daerah abdomen, perut dengan satu jarinya.
Tapi beliau berujar, ”Saya dipijat”, Menggunakan ibu jarinya untuk menekan abdomennya.
“Pijat di daerah itu tidak boleh bu. Di sana kan banyak organ lunaknya”.
Dering ringtone terdengar. Perlahan dokter itu mengalihkan perhatian ke saku jasnya dan mengambil dompet berisi HP. Tanpa meminta maaf dan merubah posisi duduk, wanita di depan pasien itu santai menjawab telepon.
“Iya, saya sekarang sedang di klinik...”, Suaranya terdengar ringan asyik masyuk dengan HP selama beberapa menit.
Tidak ada percakapan penting terdengar. Hanya komunikasi ringan tapi dokter muda itu tampak lebih menikmati komunikasi di telepon itu dari pada menyadari bahwa pasien di hadapannya sedang kalut. Kabar mengenai dokter muda/ residen yang seenaknya bermain gadget di depan pasien memang pernah terdengar. Tapi berbicara ketika seorang pasien yang lebih tua sedang menceritakan keluhannya, derajat kekurangsopanannya sedikit bertambah. Apalagi ketika hal itu dilakukan oleh seorang muda yang terkesan alim dari jilbab lebar dan baju longgar yang dikenakannya.
Pasien itu terpaksa harus menunggu. Ia menunduk, terkadang mendongak sambil memandang gambar-gambar yang tertempel.
Kemudian dokter itu menyuruh pasien tidur di ranjang pemeriksaan. Setelah tidur ia meletakkan jari telunjuknya di depan sudut mata kanan pasien dan menggerakkannya ke sisi yang lain.
“Ibu bisa lihat jari saya?”
“Ya bisa lihat, saya menggunakan kacamata. Kalau dilepas baru saya tidak lihat”.
“Ya saya juga kalau melepas kacamata saya juga jadi ngga jelas, Bu”
Jelas di situ terlihat bahwa pasien kurang diberikan informasi mengenai pemeriksaan yang akan dilakukan. Dari sudut pasien, ia mengira dokter sedang mengetes kemampuan matanya. Sedangkan dari sisi dokter, mungkin ia merasa pasiennya kurang sopan dan jahil karena menjawab seperti itu.
Dokter itu masih bingung apa yang akan dituliskan pada lembar pengkajiannya. Lembar itu masih putih dan tangannya kuat menggenggam pulpen. Berusaha mencari ide.
“Kalau CT scan bagaimana? Nanti takut lagi”,Katanya,” Wah masih ngga jelas ini”.
Ia kemudian mengambil alat pengukur derajat nyeri. Sebuah kertas bertuliskan angka nol sampai sepuluh. Nol berarti tidak merasakan nyeri sama sekali dan sepuluh berarti nyeri yang sangat hebat. Dan meminta klien untuk merangking derajat nyerinya.
“Ya saya pusing sekali kemarin mba”
“Nomer lima atau enam, bu?”
“Ya kemarin itu yang jelas saya sampai sangat kesakitan?”
“Bukan sembilan atau sepuluh?”
Pasien itu menggeleng. Ia tidak yakin akan menilai berapa kesakitan yang sudah lewat itu. Tapi jika ia diminta menilai rentang kemarahannya pada sang dokter saat itu, mungkin ia dengan lantang dapat menjawab, “Delapan atau sepuluh”.

Sorry


Pardon me
For not letting you in
For not realizing that i might miss the chance to meet again
Even denying the hidden feeling inside
For closing my ears, eyes even heart for you

I am sorry
For my run, hindering you
For not giving you chance to know me
Not even give chance for myself to know you
Now, that i am walking alone
Talking to no one
Smiling to no body
Staring to nothing
I am Kneeling down by myself
Begging for the Heaven to cross our roads again
Trying insanely to be back to the place where we might meet
At least, please give me chance to say . . .sorry