Wednesday, February 25, 2009

THE BUSINESS OF BUSINESS IS BUSINESS

Kalimat ini sangat sexy di mataku, somehow. Aku menemukannya dari sebuah panduan mengenai CSR. Corporate Social Responsibility (CSR) menjadi istilah favoritku hari ini. Terima kasih untuk Mbak Ririn atau Patricia Rinwigati (Uppsala) atas kuliah yang sangat menarik hari ini.
I’ll tell you that you inspired me a lot today.
Lalu apa kaitannya dengan dengan Kesehatan Masyarakat? Kaitannya sangat erat apalagi dihubungkan dengan tesisku. Autumn 2008 yang lalu aku sama sekali tidak ada dasar pengetahuan tentang kesehatan kerja (occupational health). Intuisiku mendahului logikaku. Proposal mengenai evaluasi ekonomi pencegahan penyakit jantung dan pembuluh darah (CVD_Cardiovascular Diseases) di tempat kerja kubuat. Akhir-akhir ini aku baru sadar bahwa topik ini sangat seksi dan strategis. Aku yakin cukup efektif jika orang-orang public health berfokus pada setting ini ketika merumuskan intervensi untuk meningkatkan kesehatan masyarakat umum.
Mbak Ririn memberi contoh begitu mudahnya pelaku bisnis itu berkelit dari tanggung jawab pada kasus Lumpur Sidoarjo. Bencana itu kuidentikkan dengan meningkatnya kasus CVD di masa mendatang akibat ‘kerja’. Jalur stres adalah jalur termudah untuk melacak hubungan kerja dengan penyakit ini. Job Strain Model (Karasek 1979) menjelaskan bahwa ini akibat beban kerja yang berlebih dan rendahnya kebebasan keputusan kerja (misal deadline ketat di luar kontrol kita). Sistem hormonal terkait dengan stres teraktifasi dan berakibat pada kondisi fisik kita.
Tingkat stres kerja yang tinggi ditambah dengan beberapa faktor lain bisa menjadi bom waktu bagi total beban penyakit kronis, dalam hal ini di Indonesia. Pekerjaan menguras perhatian kita sehingga sebagian dari kita lebih memilih makanan fast food, tidak ada waktu untuk olah raga dan mungkin ditambah merokok. Hal detil sederhana di atas akan berbuah kesuksesan menuai penyakit kronis bahkan di usia muda. Proses yang terselubung, tanpa kita sadari.
Hal ini diperparah dengan tidak adanya fasilitas atau bahkan waktu untuk karyawan membuat pilihan yang sehat. Tapi maukah perusahaan melakukan itu? Maukah perusahaan menyediakan makanan yang sehat dan fasilitas olah raga? Itu yang saya tidak yakin juga. Dan saya kehabisan ide bagaimana membuat tesis saya terlihat meyakinkan bahwa perusahaan sebaiknya memperhatikan hal ini. Mereka ada untuk menghasilkan keuntungan. Memperhatikan masalah tanggung jawab sosial, termasuk kesehatan, hanya akan menambah biaya saja. Selain itu, penyakit ini biasa menyerang di usia tua. Benarkah argumen seperti itu?
Cost externalities, suatu istilah ekonomi yang merujuk pada biaya tambahan atau tidak langsung. Penjelasannya sederhana saja. Mari kita samakan persepsi mengenai cost/ biaya. Para ekonom merujuk istilah biaya bukan hanya dalam artian uang tapi juga waktu dan konsekuensi lain. Dalam hal ini penyakit menjadi salah satu komponen biaya.
Kita bekerja anggap kita bekerja selama 35 tahun (mulai umur 25 sampai 60 tahun). Delapan jam perhari lima hari kerja, jika tanpa lembur. Perhitungannya adalah 8x5x52x35= 72800 jam waktu kita tersita di tempat kerja. Jumlah yang tidak bisa kita sepelekan apalagi itu sekitar sepertiga dari total hidup kita. Selama itu pula kita menabung untuk berkembangnya penyakit ini dalam tubuh kita. Bukan hal umum lagi bahwa kasus darah tinggi/ hipertensi lebih banyak ditemukan ketika kita bekerja.
Mengabaikan kesehatan kerja terutama aspek promosi kesehatan sama saja memberi beban tambahan pada masyarakat. Perusahaan boleh berkelit bahwa kasus darah tinggi, penyakit jantung, kanker dan penyakit lainnya jarang terjadi di perusahaannya. Menolak rekomendasi untuk lebih memperhatikan kesehatan kerja menjadi mudah. Tapi masihkah Anda berpikiran serupa setelah membaca uraian saya diatas? Jika masih maka saya harus membuat sekuel kedua dari artikel ini.
Perusahaan yang jelas ada organisasinya lebih mudah dijerat. Tapi saya ingin membuat Anda berpikir bagaimana dengan para TKW, supir-supir bus atau rekan-rekan wartawan kita. Mereka yang secara independen mempekerjakan diri mereka sendiri. Berat hati saya katakan pada teman-teman wartawan dan para supir bahwa Anda termasuk beresiko tinggi untuk menderita penyakit ini dengan penjelasan yang sudah disebut di atas.
The business of business is business menjadi tidak relevan. Tidak satupun dari kita bukan bagian dari masyarakat. Etiskah para pelaku bisnis menolak melakukan tanggung jawab sosial ketika mereka juga bagian dari masyarakat itu sendiri. Anda adalah bos bagi diri Anda sendiri. Mari kita buat keputusan yang sehat untuk masa tua kita.
Referensi
Amnesty Business Group. Guidelines for corporations’ work on human rights. 2007
SIDA. Guideline’s for Sida’s support to Corporate social Responsibility. 2005 available from http://www.sida.se/?d=118&a=3494 accessed on February 25th 2009.
Schnall PL, Belkic K, Landbergis P, Baker D [editor]. Occupational Medicine: The workplace and cardiovascular disease. Philadelphia, 2000
Tuchsen F, Hanerz H, Roepstorff C, Krause N. Stroke among male professional drivers in Denmark 1994-2003. Occup Environ Med 2006;63;456-460 [abstract]

Monday, February 23, 2009

RUMAH IDAMAN


Aku mengangguk sebelum Mbak Aili, Ailiana Santosa, menyelesaikan ajakannya ke IKEA Sundsvall. Meski harus naik bus selama empat jam dari Umea. Ini kesempatan kedua aku mengunjungi IKEA. Kali pertama sewaktu di Stockholm November 2008 lalu.

Ada kesempatan ke Swedia? Saran saya kunjungi IKEA. Ini adalah salah satu kebanggaan warga Swedia. Tidak perlu ke Swedia sebenarnya, karena outletnya tersebar di hampir semua benua. Singapura adalah yg terdekat jika posisi Anda di Indonesia.

Bermula dari menjual pena, frame foto, jam dan perhiasan di tahun 1943, Ingvar Kamprad berhasil mengembangkan menjadi perusahaan manufactur terbesar di dunia. IKEA sebenarnya adalah singkatan dari pendirinya Ingvar Kamprad, tempatnya dibesarkan di Elmtaryd dan rumahnya di Agunnaryd (Smaland).

Konsep yang ditawarkan sederhana saja, minimalis tapi ramah lingkungan. Cocok untuk orang-orang yang dinamis. Mengutamakan fungsi dari pada detil pernik dan kemewahan. Rumah Anda hanya seluas 32 meter persegi? Bukan masalah lagi karena setiap jengkalnya bisa difungsikan. Sederhana bukan berarti tidak menarik. Selalu ada cara untuk membuatnya terlihat unik dan bergaya.

Aku selalu bermimpi untuk mempunyai rumah yang sederhana. Kecil saja karena aku tidak punya biaya untuk merawatnya. Biaya yang kumaksud di sini bukan hanya uang tapi juga waktu dan tenaga untuk membersihkan. Konsep minimalis tapi dengan nuansa kehangatan tropis sepertinya menarik. Jangan berharap akan melihat pagar yang dibangun tinggi menutupi rumah karena aku ingin menyambut ramah tetangga, keluarga dan temanku.

Apa fungsi rumah bagimu? Rumah adalah tempat mengisi ‘energi’ kehidupan bagiku. Dan untuk memenuhi ambisi itu maka kamar tidur dan dapur adalah yang utama. Tanpa bermaksud mengabaikan area yang lain. Itulah saat-saat aku bisa memenuhi ambisi egoismeku. Tidur sepanjang hari minggu? Ingin memasak pancake? Atau menikmati bubur ayam. Hmmm..pasti sangat nyaman.
Aku sebenarnya adalah tipe rumahan. Bukan masalah melewati waktu di rumah setelah bekerja. Aku selalu bisa menemukan cara ‘membunuh’ waktu. Membaca novel di tempat tidur saja sudah cukup menghiburku. Aku tidak akan menyesal tidak melihat pertunjukan di kota atau konser artis terkenal. Toh masih bisa dinikmati dari kotak segiempat di kamarku. Jadi...rumahku adalah surgaku.
Umea, 23 Februari 2009

Monday, February 09, 2009

50 TAHUN LAGI


“BI PEDHET! ELEK!”

Sms itu masih kusimpan sejak 5 Agustus 2008. Hari kelahiran keponakan kembarku, Abdussalam Furqan Firmansyah dan Abdurrahim Fakih Firmansyah. Uko dan Aki panggilannya. Kalimat itu terkirim dari Fukuoka, Jepang. Dari seseorang yang kukenal sejak lahir. Eka Firmansyah,30 tahun, adalah dosen Teknik Elektro UGM.

Pedhet adalah anak sapi dalam Bahasa Jawa. Ledekan ketika masih kecil karena aku tidak pernah minum ASI (Air Susu Ibu). Aku tidak ingat lagi kapan terakhir kali mendengar nama itu dari dua kakakku yang usil.

b.i. p.e.d.h.e.t.!.e.l.e.k!.

Hatiku mengeja huruf perhuruf yang tercetak di layar Ponsel Samsungku. Senyum tipis masih saja berubah menjadi terbahak-bahak hingga saat ini, 8 Februari 2009.

Aku ingat bahwa kalimat itu terkirim setelah beberapa sms jahil yg kukirim padanya. Ia tidak mengenali nomer baruku sehingga selalu menjawab smsku dengan Bahasa Jawa halus sampai akhirnya terkuak juga identitasku. Itulah aku, kami tepatnya. Kakak keduaku, Fendi Maulana bahkan lebih usil lagi. Terakhir bertemu dengan Kak Ana, panggilan sayangku, masih saja ia sembunyikan gelas minumku atau piring berisi makananku. Kadang menyembunyikan cabe dalam risoles yang akan kumakan.

Aku masih ingin seperti ini. Kata ‘Pedhet’ itupun terbaca manis di mataku. Seandainya ada waktu, 50 tahun lagi aku masih ingin saling meledek dengan kakakku. Aku memilih 50 bukan seribu tahun, karena aku tidak sepuitis itu dan kurang realistik kukira. Tapi 50 tahun lagi, usiaku akan menjadi 77 tahun. Perkiraan yang cukup realistik mengingat UHH Indonesia sekitar 65 tahun saat ini.

Aku selalu lebih mudah mengungkapkan dalam bentuk tulisan. Kali ini ada tiga hal yang membuatku menulis. Pertama, status FB (Facebook) Kak Iman (Eka Firmansyah). Tanggal 4 Februari 2009 tertulis ‘Eka is suddenly missing so much about his Father. I miss U so much Dad :-( May Alloh give you the best place there...amin’. Kedua, meninggalnya dosen muda FK UGM, Nugroho Wiyadi. Beliau meninggal karena gagal ginjal di Nijmengen tanggal 30 Januari 2008. Dan terakhir, karena aku ingin jujur dan minta maaf terutama pada Kak Iman.

PIKIRANKU KOSONG. Aku tidak tahu harus bagaimana harus berbuat apa. Badanku terkulai di bangku apotek RSU PKU Muhammadiyah.

“Mbak, ada apa? Tadi siapa yang nelpon?” Tanya Osa, Noorsa Andjani.

Lemah kugelengkan kepalaku. Tanganku masih menggenggam ponsel. Seorang petugas memberiku sumbangan Vaksin Hepatitis untuk RSUD Cut Nyak Dhien. Aku tidak bisa berbasa-basi lagi. Hanya tersenyum mengucapkan terima kasih dan berpamitan.
Perjalanan ke kantor, RSUP DR Sardjito, begitu hening. Aku masih mendengar suara ibu, Sugiyarti, di HP. Beliau memintaku segera ke kamar ayah, Abdul Kodir, di Bangsal Cenderawasih. Beliau menderita CHD, Chronic Heart Disease, derajat keempat. Ayah akan menjalani pemeriksaan CT-Scan untuk mengkonfirmasi dugaan diagnosis baru. Dan ibu ingin aku mendampinginya. Tapi dugaan diagnosa kanker paru, terlalu menyakitkan. Stase apapun itu. Prognosanya, perkiraan perkembangan penyakit, terlalu buruk. Paling bagus hanya satu tahun waktu yang tersisa dengan kombinasi terapi apapun termasuk kemoterapi dan radioterapi.

Dan aku benci untuk mengetahui itu. Aku mulai mempertanyakan pengetahuanku. Mungkin aku sama sekali tidak tahu tentang kanker paru.

Sesampainya di kantor. Aku hanya diam. Melepaskan jaket dan duduk di sofa.

“Ngopo, kenapa, Mbah?”, Tanya Risalia Reni Arisanti, 27 tahun.

Aku menggelengkan kepala pelan. Sungguh aku berusaha untuk tidak menangis. Tapi akhirnya meledak juga tangis itu. Sepuluh menit aku menangis. Menangkupkan tangan di wajahku. Membungkuk ditemani tissue dan membuat dua rekanku canggung. Bingung harus bagaimana.

Puas menangis, akupun bersiap untuk ke kamar ayah.

“Mataku kelihatan habis nangis gak, San?”

Aku harus memastikan bahwa aku tidak terlihat sedih. Ayah dan ibu membutuhkanku. Aku tidak mau terlihat lemah. Dan Ayah berhak untuk mendapatkan senyum dari putrinya dalam masa sulitnya dan waktunya yang singkat.

Sorenya, Mbak Ana, Indriana Hidayah, menelponku. Ia adalah kakak iparku. Kondisi Kak Iman tidak kalah buruk denganku ketika pertama kali mendengar berita ini. Dan ia tetap ingin datang menjenguk ayah. Tentu saja ini haknya tapi . . .

“Kalau Kak Iman mau menjenguk ayah ia harus bisa mengendalikan diri. Aku nggak mau ayah semakin sedih”.

Hasil CT-san menegakkan diagnosis kanker paru. Melihat pola penyebarannya bisa kusimpulkan, stase 4. Stase terminal. Aku membaca sendiri hasil CT-scan di nurse station. Cukup membuatku menangis tiap malam di kamar kemudian sibuk mengompres mataku sebelum tidur. Dan berpura-pura baik-baik saja keesokan harinya.

Aku ingat saat itu, April 2007, seharusnya Kak Iman senang karena akan berangkat ke Jepang. Meneruskan studi S3. Aku tahu ada kebimbangan untuk meninggalkan Ayah. Pasti sangat sulit waktu itu. Di tengah kebimbangan itu. Ayah mencoba mempermudah untuk membuat keputusan.

Dalam ruangan itu hanya ada ayah, ibu, Kak Iman, Kak Ana dan aku. Lengkap satu keluarga. Di sela napasnya yang berat beliau memberikan nasehat terakhir. Khusus untuk Kak Iman beliau menambahkan untuk jangan ragu berangkat. Beliau tidak ingin menghambat kemajuan anaknya dan bahwa beliau bangga padanya.

“Doakan ayah kuat menunggu sampai sekolahmu selesai”.

Kukira mulai detik ini aku merasa bersalah dan berdosa. Karena dalam hati aku mengatakan bahwa empat tahun terlalu lama untuk ayah. Bahkan tiga bulanpun tidak mungkin dilaluinya. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku tahu kak Iman berhak tahu, atau mungkin Kak Iman sudah tahu? Aku tidak pernah tahu. Hanya saja kita tidak pernah membicarakan hal ini karena kita memang tidak siap.

“Sholat dan beribadah itu paling mudah dilakukan ketika sehat,” Nasehat terakhir ayah.

Harusnya aku mengatakan ini pada semuanya tapi itu seperti mendoakan ayahku cepat meninggal bagiku. Aku merasa bersalah karena sok tahu tentang takdir. Denial phase, first stage among 5 stages of grieving. Aku juga inginkan semuanya terlihat alami. Aku ingin ibu tetap merawat ayah seperti biasa. Dan yang lain datang berkunjung seperti biasa. Bercanda seperti biasa. Karena waktu kita tinggal sedikit maksimal 1-3 bulan saja.

Setelah kemoterapi pertama. Kondisi ayah terlihat sedikit membaik. Aku ingat Beliau juga mendapatkan prioritas untuk radiologi. Kupikir itu lebih karena kedaruratan kondisi ayah. Di rumah, ayah sangat senang karena diperbolehkan makan apa saja. Harusnya aku senang waktu itu. Aku kagum karena ayah masih bersemangat untuk sembuh tapi itu sebuah ironi. Waktunya sudah tidak banyak lagi. Seandainya yang akan berangkat sekolah itu aku maka aku akan menunda sekolahku. Selalu ada kesempatan kedua untuk kuliah tapi tidak dengan ayahku.

Aku selalu dihantui rasa bersalah. Maaf. Maaf tidak mengatakan dengan jujur. Itu keputusan terbaikku saat itu. Mohon pengertiannya. Aku tidak ingin menyesal untuk kedua kalinya. Sebagai permintaan maafku ijinkan aku mengatakan bahwa kita sangat beresiko menderita penyakit jantung dan pembuluh darah dan kanker. Salah satu jenis penyakit kronis dan degeneratif.

Bukan rahasia umum lagi bahwa penyakit ini menyerang usia yang lebih muda saat ini. Dosen yg kusebut di awal tadi baru berumur 37 tahun. Usia yang sangat muda untuk meninggal karena penyakit kronis. Ia sangat sibuk dengan pekerjaan dan sekolahnya hingga kurang memperhatikan kesehatan.

Aku sangat bersyukur karena saudara-saudaraku tidak ada yang merokok, minum alkohol atau obesitas. Tapi kecenderungan hipertensi sudah terlihat pada kedua kakakku. Kerja lembur memang akan mempercepat selesainya pekerjaan tapi terlalu membebani tubuh. Tapi juga meningkatkan resiko menderita penyakit jantung melalui jalur stres.

Aku mengatakan ini untuk diriku sendiri juga. Dan aku akan berpikir untuk memberi kesempatan lebih pada anak cucuku. Jangan biarkan mereka menyesal karena tidak cukup waktu untuk menunjukkan perhatian pada kita. Itu cara terbaik untuk menyayangi mereka.
50 tahun lagi. 50 tahun lagi saja aku masih ingin menerima sms jahil dari kakak-kakakku. Atau mungkin menggunakan teknologi yang lebih canggih di masa depan. Seandainya mungkin.