Thursday, April 26, 2012

Aku bukan Pelabuhan Hatimu


Jangan kau pikir aku akan bangga ketika kau katakan bahwa aku adalah pelabuhan hatimu
Tidak! bahkan terbersitpun tidak
Karena kapal yang berlabuh itu bisa untuk selamanya atau hanya sementara
Jika kapal itu tidak rusak dan bernahkoda pastilah akan segera meninggalkan pelabuhan
Dan aku tidak akan pernah rela hanya menjadi tambatan perahu yang tak laik berlayar atas nama selamanya
Tidak!
Karena samudra itu adalah kehidupan yang harus kita arungi
Dan aku berharap menjadi perahu yang berjalan beriringan dengan perahumu
Terengah-engah berlayar bersama untuk mengejar mimpi
Atau terhenyak diam sesaat mensyukuri indahnya samudra hidup ini
Atau bahkan oleng kacau bersama ketika menghadapi badai
Tapi yang jelas aku bukan pelabuhanmu
Kita akan sama-sama berlabuh ketika memang harus seperti itu
Tapi segera akan kita berlayar karena dunia ini terlalu luas untuk hanya berlabuh di satu tempat
Dan banyak keindahan yang sangat sayang untuk dibiarkan menanti
Karena..
Aku ingin menikmati semua itu bersama-sama dan selama yang kita bisa
Tapi aku..
Tidak akan pernah menjadi pelabuhanmu

Lima Tahun


Membaca dan mendengarkan berita ..
Kali ini tentang konser Chrisye beberapa minggu yang lalu seakan mendengar nyanyian dari dalam kubur. Ini bukan cerita picisan film horor yang akhir-akhir ini banyak di produksi. Ini tentang bagaimana seseorang begitu istimewa bahkan setelah beliau meninggal. Sedemikian sehingga konser tersebut tetap bertemakan seorang penyanyi legendaris. Tidak cukup itu, sebuah lagu baru juga digubah text dan suaranya bahkan diambilkan dari lagu-lagu beliau dan suara asli Sang Penyanyi.
Membaca dan mendengarkan berita..
Masih tentang sang legendaris tapi lima tahun berselang. Berita tentang perjuangan Sang Penyanyi di sebuah rumah sakit di negeri tetangga. Tentang bagaimana fans-fans beliau memberikan semangat dan bantuan lainnya. Sampai akhirnya Sang legendaris harus mengundurkan diri dari ‘panggung’ yang sesungguhnya, kehidupan ini.
30 Maret 2007. Kuingat jelas tanggal itu karena pada saat yang sama aku sedang membaca-baca referensi mengenai penyakit yang diderita oleh Sang Penyanyi. Kanker paru-paru.
“Kombinasi radioterapi dan kemoterapi tidak memberikan efek positif yang significant secara statistik bagi penderita kanker paru pada stadium manapun”.
Kira-kira seperti itulah kesimpulan yang kubaca dari sebuah jurnal ilmiah kedokteran. Review beberapa jurnal ini kulakukan bukan dalam rangka tugas uliah apalagi karena penasaran dengan Sang Penyanyi tapi karena aku sendiri sedang terancam kehilangan ‘nyanyian’ jiwaku. Seseorang yang selama ini aku yakin aku bersemangat belajar untuk memberi beliau semangat. Kenyataannya justru beliaulah yang memberiku semangat.
Aku tidak yakin dimana aku berpijak bahkan hanya setelah aku mendengar di telpon ibu berkata bahwa dokter curiga ayahku menderita kanker paru-paru sehingga harus menjalani serangkaian tes kesehatan yang lain. Berharap kecurigaan itu salah dan kalaupun benar, berharap bahwa pemahamanku tentang penyakit ini salah. Mungkin aku yang mengantuk saat kuliah atau tidak benar-benar membaca buku diktat sehingga menyimpulkan bahwa penyakit ini hampir pasti tidak ada obatnya.
Saat itu adalah saat dimana aku menyesal mempunyai pengetahuan tentang kesehatan. Mungkin lebih baik jika aku tidak mengetahui sehingga aku bisa tetap menjaga kestabilan emosi, jiwa dan pikiranku. Aku terlalu sibuk untuk mencari informasi yang mematahkan apa yang kupahami sendiri. Tidak yakin bahwa untuk memberitahukan kepada keluarga yang lain tentang hal ini tapi juga sebenarnya tidak bisa untuk hanya memendamnya sendiri.
Berita tentang meninggalnya Chryse hanya mengingatkanku pada satu kalimat kesimpulan jurnal ilmiah di atas. Hening. Senyap kubaca berita itu di layar komputer. Tidak yakin harus bersikap bagaimana. Menangis? Sosok laki-laki yang sangat akrab dalam hidupku itu masih berjuang melawan penyakitnya di tempat tidurnya jadi menangis bukan saat yang tepat. Tersenyum dan memberinya semangat...mungkin itu yang kulakukan saat itu. Setidaknya aku tetap berkunjung ke kamar rawat inap beliau dan menghabiskan waktu bersama.
Dua minggu setelah Sang Penyanyi meninggal, 14 April 2007, gumaman ‘nyanyian’ dalam jiwakupun lenyap. Tiba-tiba hidup ini tidak semenarik yang kupikirkan selama ini. Masa depan terlihat sangat tidak pasti dan tidak jelas. Aku tidak yakin apakah jalan yang kutempuh selama ini adalah jalan yang kumau ataukah jalan yang kupilih untuk membuat ‘nyanyian’ itu tetap ada. Angin itu telah membawa lantunan ‘lagu’ yang selama ini mengiringi hidupku.
Setelah itu banyak lagu yang kudengarkan di telingaku setiap hari. Piano. Gitar. Jazz. Pop. Dari mulai streaming radio lokal Jogja sampai radio yang digawangi oleh perkumpulan mahasiswa indonesia di seluruh dunia. Tapi belum juga kutemukan yang pas untuk menggantikan lagu yang hilang. Mungkin karena sudah tidak mungkin lagi ‘nyanyian’ itu tetap ada. Atau mungkin sebenarnya masih ada hanya saja kesibukanku untuk mencari pengganti terlalu ramai sehingga mempersulitku untuk mendengar apa yang ada di dalam diriku sendiri. Mungkin..
Apapun itu, lima tahun kemudian aku baru bisa mendengarkannya lagi. Kalau orang-orang yang tidak ada hubungan darah dengan Chrisye saja bisa tetap ‘membuat’ Sang Penyanyi terus bernyanyi. Aku seharusnya masih bisa membuat Ayahku bernyanyi karena beliau ada dalam diriku. Adaku melalui perantaranya. Dan aku tidak perlu berusaha membedakan apakah ini nyanyianku atau nyanyian beliau. Keinginanku atau keinginan beliau. Rinduku atau rindu ..ayahku.
Ya..setelah lima tahun. Aku yakin bahwa aku tidak perlu merasa sendiri karena beliau masih ada dalam diriku. Aku memperingatinya dengan melakukan perjalanan di negara asing. Keterasingan itu yang membuatku kembali menemukan ‘nyanyian’ itu. Atau mungkin ‘nyanyian’ itu muncul setelah aku berhasil meredamkan riuh rendah kegalauan emosi dan kekacauan pikiran.
Beristirahatlah dengan tenang, Ayah. Hatiku sudah mulai bisa menangkap dan bahkan membuat ‘nyanyian’ lagi. Meskipun sangat pelan tapi aku yakin suatu saat akan cukup terdengar seiring dengan semakin tumbuhnya optimismeku. Terima kasih untuk semua jerih payah selama ini. Aku merindumu..sangat merindu sehingga aku tidak yakin bagaimana rasanya hidup tanpa merindumu.  

Saturday, April 07, 2012

Diobral (Nyawa Pekerja)


Lebih dari 240 juta jiwa jumlah penduduk Indonesia. Cukup banyak sehingga harga setiap nyawanya mungkin menjadi kurang diperhatikan. Satu tahun lalu saya memiliki kesempatan untuk berjalan-jalan ke NTT. Sebuah daerah eksotik dengan alam yang masih asri hijau. Belum terlalu banyak dieksplorasi sehingga bahkan jalan-jalannya pun masih sangat berkelok dan berlubang di sana-sini.
Foto di dalam artikel ini sedianya akan digunakan sebagai kantor pusat pembangkit listrik yang baru. Beberapa pekerja sedang sibuk menyelesaikan proyek pembangunan. Jika Anda cukup jeli maka akan terlihat dua orang pekerja yang tidak menggunakan pengaman bahkan untuk sekedar alas kaki. Pekerja dengan kaus garis oranye dan hitam bertopi itu berada di lantai empat dari sebuah gedung tanpa pengaman apapun.
Saya kurang paham mengenai alat-alat pengaman apa saja yang seharusnya digunakan tapi jika helm dan alas kaki saja tidak digunakan maka cukup jelas bahwa pekerja itu tidak menggunakan pengaman yang semestinya ketika bekerja. Pekerja yang lain berpindah posisi dengan hanya berpegang pada rusuk besi di tepi gedung. Jika tangannya selip dan jatuh maka bisa dipastikan ia akan terjun bebas ke bawah.
Di negara ini, jika Anda hanya menjadi orang kebanyakan Anda tidak akan layak dihargai bahkan nyawa Anda sekalipun. Di luar dari konteks keselamatan pekerja, saya teringat pernyataan seorang pejabat negara mengenai banyaknya korban ledakan LPG.

Bersama Kawan


Agenda hari ini adalah memilah-milah foto. Melihat-lihat lagi foto apa saja yang kubuat setahun yang lalu. Tidak terasa sudah satu tahun lebih foto ini dibuat.
Maret 2011 friends gathering ini dibuat. Aku. Tri Sasi Lestari.Marie Caesarini. Menunya sederhana tapi macam-macam mulai dari Tom Yam, oseng kangkung, buah Apel (menyusul semangka sepertinya), puding dan pringles.
Mba Sasi masih seperti biasa masih suka putar-putar untuk menemukan rumahku meski sudah beberapa kali datang. Sewaktu datang langsung dipersilakan bergabung karena makanan sudah matang.
“Wah bumbunya apa neh Tom Yamnya? Enak banget. Beritahu donk resepnya?”
Aku dan Mba Marie hanya tersenyum- senyum lalu singkat kujawab.
“Bumbu warisan nenek moyang”.
“Wah nanti kapan-kapan ajari aku ya”, mungkin seperti itu tanggapan mba Sasi atau mungkin ini hayalanku saja.
Waktu berjalan lalu kita putuskan untuk pindah ruangan. Kami melewati meja makan dan rak tempat menyimpan bumbu. Sebelumnya, kami makan lesehan di garasi yang sudah disulap menjadi tempat makan. Dalam perjalanan mba Sasi sempat menemukan ‘bumbu warisan nenek moyang’. Baru saja kami duduk tidak sabar beliau komentar.
“Owh ternyata bumbu warisan nenek moyangnya itu ya”.
“Hahaha,” Aku dan mba Marie tertawa, “Iya, nenek moyangnya orang Thailand”.
Begitulah...kami tertawa karena akhirnya semuanya tahu rahasia lezatny tom yam hari itu. ‘Bumbu warisan nenek moyang’ itu sebenarnya hanyalah bumbu instan ‘Tom Yam Paste’ yang memang sudha diuji sebelumnya lumayan sedap. Tinggal masukkan bahan-bahan pelengkap spt udang, baso ikan, jamur, tahu sutra atau bahan lain sesuai selera. JADI DEH! ;)
Sepertinya sulit untuk mewujudkan waktu untuk membuat sekuel dari acara ini. Karena saat ini keduany sedang menimba ilmu di dua benua yang berbeda. Well, skype maybe could help us to make conference kitchen chef hehehe.