Thursday, December 31, 2009

I Got U Under My Skin

(Another 'rush' to end this year successfully. :) I'll come back with full letters after few minutes. just let me publish it before the day changes and so the year be different. The words below are the real thing i wanna write)

January 3rd 2010

Years go by
There's still something left and felt
Simply something i couldn't resist
Not even be understood, no matter how hard i try
But you should know that it keeps growing deeper

Even they told me to wake up..step up to reality
But dream is my only reality
Please, don't shake me
coz this is my only way to be next to you

I don't have to make special effort to remember
I can always find you here and there
now and then
coz you've been part of me

I don't really care how you keep ignoring me
But i do care for you to be yourself
And find your happiness
If that way leads to me
you know that i always be there
waiting for the right time to welcome you
That is how i love you

Kaidah 10.000 jam

Well, tulisan ini dibuat dalam rangka memenuhi target menulis saya di tahun 2009. benar-benar sebagai penutup tahun ini. Sekaligus untuk memperkenalkan diri kepada khalayak umum bahwa saya, Nurul Kodriati, adalah the very last minute person.

Terinspirasi oleh karya Malcolm Gladwell 'Outliers', saya berusaha menulis tentang hal ini beberapa waktu yang lalu. Akhirnya, tahun baru 2010 merupakan momentum yang baik untuk menuliskan hal ini.

"Apa resolusimu untuk tahun 2010?"

Adalah pertanyaan wajar yang kita dapatkan di seputar pergantian tahun. Mungkin akan lebih bijaksana jika saya mereview lebih dahulu blog saya ini. Saya membuat Blog ini pada Bulan Juli 2008. Persis setelah saya mengikuti kursus narasi. Tahun 2008 saya hanya membuat 8 entry. Ini berarti saya mempublish sekitar 1,3 entry perbulan. Masih dengan catatan bahwa ada dua bulan (Oktober dan November) kosong. Waktu dimana saya tidak memproduksi tulisan sama sekali.

Selanjutnya saya bersyukur, selama tahun 2009 saya membuat beberapa peningkatan baik kuantitas maupun kualitas. Secara jumlah terjadi peningkatan yang cukup signifikan, meski saya tidak melakukan uji statistik. Tahun 2009, saya menerbitkan 36 entry. Hal ini berarti rata-rata perbulan tiga tulisan terbit. Hal penting lainnya adalah saya bisa memproduksi tulisan secara konsisten setiap bulan. Jumlahnya mungkin belum stabil, tapi saya optimis di tahun 2010 saya akan memproduksi lebih banyak tulisan dengan isi yang lebih bervariatif.

Lalu apa hubungannya dengan Kaidah 10.000 jam? Merujuk pada buku yang saya sebut di awal, kaidah ini berarti usaha yang tanpa mengenal lelah yang selalu dilakoni oleh para ahli dan pakar. Sesuatu yang kadang luput dari perhatian hanya semata-mata karena kita berfokus pada hasil akhir.

Orang sukses melewati jauh lebih banyak usaha dan bahkan kegagalan dibandingkan dengan kebanyakan orang. Mereka tidak pernah menyerah untuk mewujudkan mimpi mereka. mereka bekerja jauh lebih keras dibanding orang kebanyakan. Bukan..bukan karena mereka mengharapkan popularitas dan kekayaan. Karena dua hal tersebut pasti akan didapatkan oleh mereka yang bersungguh-sungguh memperjuangkan mimpi. Orang-orang besar selalu memburu hal-hal yang jauh lebih besar dibanding dua hal tersebut.

Jujur, itulah motivasi yang saya miliki ketika saya mendekati orang-orang besar. Saya ingin belajar bagaimana beliau memiliki 'endurance' yang luar biasa dan proses apa yang telah dilalui. Saya tidak ingin meniru cara beliau-beliau meraih kesuksesan karena dengan meniru berarti saya hanya berada di belakangnya. Saya tidak akan menemukan kesuksesan menurut definisi saya. Yang ingin saya duplikasi adalah proses peningkatan kualitas tanpa henti.

"Apa hubungannya dengan resolusi 2010?"

Endurance selalu menjadi masalah klasik selama 27 tahun kehidupan saya yang terlewat. Sejauh ini saya adalah seorang sprinter, pelari jarak pendek. Saya bekerja sesuai deadline. Saya.. akan memperhitungkan kemampuan saya dan waktu minimal untuk memenuhi deadline tersebut. Tapi setelah itu saya mudah kelelahan dan membutuhkan banyak waktu untuk beristirahat.

Kagum dengan para pelari marathon yang selalu mengeluarkan energi dengan penuh perencanaan demi mempertahankan kualitas kerja dalam rentang waktu yang lama. Tidak mudah teralihkan konsentrasi dari tujuan hidup. Dengan kata lain mereka adalah orang-orang yang fokus bagi pewujudan mimpi.

Analisis saya mengenai jumlah entry saya di blog ini adalah satu cara untuk mempertahankan dan bahkan meningkatkan produktivitas menulis saya. Saya akan menulis karena saya ingin menulis. Bukan untuk mendapatkan pengakuan dan bukan untuk ketenaran. Saya melakukannya karena itulah panggilan hidup saya. Saya akan pastikan bahwa menulis akan semakin mendarah daging dalam diri saya sebelum meninggalkan dunia fana ini.

Apa yang saya tulis sejauh ini, semata-mata hanyalah eksplorasi terhadap berbagai gaya tulis. Saya ingin menemukan gaya tulisan yang sesuai dan khas dari seorang Nurul Kodriati. Kehidupan saya pribadi adalah salah satu sumber inspirasi. Dan saya sudah tidak sabar untuk menulis di luar itu. Banyak hal di luar itu yang dapat 'menggugah' kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Banyak hal yang tidak perlu kita alami sendiri untuk mendapatkan hikmah kehidupan. Itu adalah salah satu tema yang ingin saya eksplore pada tulisan saya di tahun 2010.

Dengan ijin-Mu ya Allah
Biarkanlah kami berproses
Menjadi pribadi yang lebih baik

The noble pursue the path
The average pursue their duties
The loser pursue fame and wealth

Saturday, December 05, 2009

Pecinta Wanita ala Swedia: A Milkman Story

Hari ini, 5 Desember 2009, masih bagian dari peringatan 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan. Kegiatan ini akan berakhir hari kamis, 10 Desember 2009. Tujuan dari peringatan ini adalah untuk memerangi kekerasan yang jamak terjadi di masyarakat namun kurang diperhatikan seperti diskriminasi dan perbedaan gaji antara pria dan wanita.

Rifka Annisa, salah satu pelopor organisasi pembela hak-hak wanita di Indonesia, mengadakan aksi damai. (Sori, daku absen untuk aksi kali ini nggih. Mohon kelapangan hatidari para pinisepuh  ). Kegiatan ini diikuti sekitar 100-an kaum adam membawa kereta dorong dan selendang gendong bayi. Atribut itu dimaksudkan sebagai simbol pelibatan laki-laki dalam upaya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.

Arak-arakan akan dimulai dari lapangan parkir Abu Bakar Ali sampai alun-alun utara.
Well, dunia memang telah berubah, teramat berganti. Jadi wahai kaum adam, bukalah mata Anda lebar-lebar! Istri Anda bukanlah ‘konco wingking’ (pendamping hidup yang mengurusi t.u masalah dapur saja). Tapi paradigma istri yang dianut saat ini adalah ia sebagai teman hidup. Ia berhak mengaktualisasikan dirinya di luar rumah dan suami berhak untuk menunjukkan kehebatannya di dapur. Hehehehe

Para pejuang hak-hak wanita ini kebanyakan berasal dari kaum itu sendiri. Padahal tanpa adanya dukungan dari kaum lelaki, dapat menihilkan arti penting perjuangan ini. Terkait dengan hak melahirkan, cuti melahirkan selama tiga bulan itu sudah lumayan di negeri kita. Padahal ada ketimpangan gender di sana. Jika cuti tersebut hanya diberlakukan kepada wanita saja, seharusnya pria berhak protes karena mereka tidak mempunyai hak setara dengan wanita dalam hal proses pengasuhan anak. Sebagian dari kita akan berdalih, pria punya ‘peran’nya sendiri dalam pengasuhan anak. Tapi bukan itu yang akan kita bahas di sini.

Swedia, adalah surganya kesetaraan gender. Disana, pria tidak mendapat kehormatan lebih untuk mendapat perlakuan istimewa dari wanita. Kalaupun dia mendapatkannya itu adalah murni keinginan tulus dari kedua belah pihak bukan ‘paksaan’ aturan yang ada di masyarakat. Melihat pria menggendong anak di perbelanjaan atau memasakkan makan malam untuk keluarga bukan hal yang aneh lagi. Cuti terkait dengan kelahiran anak bukan hanya berupa maternal leave tapi parental leave selama satu tahun.

Begitu suksesnya propaganda kesetaraan gender ini sehingga kaum prianya memiliki empati berlebihan terhadap wanita. Berita mengenai pria ‘hamil’ mungkin sudah beberapa kali kita dengar. Tapi usaha seorang pria untuk memompa payudaranya demi setetes susu. Saya sungguh takjub dan geli membaca berita ini di www.thelocal.se.

Seorang Ragnar Bengtsson, 26, memulai perjuangannya menghasilkan susu pada 1 September lalu s.d 1 Desember 2009. Dia memasang mesin pemompa di payudaranya setiap tiga jam sekali. Sebagai mahasiswa ilmu ekonomi di Stockholm University dia bahkan nekat melakukannya di dalam kelas, ketika kuliah berlangsung.

"I'm going to have to pull out the pump during lectures. But really it doesn't bother me if it makes people uncomfortable. If they have issues with it that's their problem," Kata Bengtsson.

Idenya sungguh unik kalau tidak bisa dibilang gila. Tapi ayah dari seorang anak laki-laki berusia dua tahun ini mempunyai tujuan yang mulia.

“If men could breastfeed their babies, the argument went, then women could rejoin the workplace more quickly, safe in the knowledge that their newborns were receiving the proper nourishment from their proud dads.”

Mungkin propaganda kaum feminis terlalu berhasil di Swedia. Kalau usaha pengentasan kekerasan terhadap wanita diibaratkan sebagai obat. Maka kejadian ini menyiratkan adanya kondisi ‘over-dose’. Sedangkan di belahan dunia yang lain masih ‘under-dose’.

Usahanya mungkin gagal memenuhi niat mulianya. Tapi berkat ide gilanya dia akan diterbangkan ke US untuk memenuhi undangan The Tyra Banks Show. Dan dongeng mengenai ‘Air Susu Ayah’ ini pun cepat menyebar menimbulkan pro dan kontra. Ada yang memuji usaha ‘terobosan’ baru yang dirintis tapi tak sedikit yang mencemooh.

Seandainya, hanya berandai-andai, jika benar Air Susu Ayah ini bisa diproduksi. Maka WHO, badan kesehatan dunia, harus membuat definisi ulang mengenai ASI Eksklusif. Penelitian-penelitan mengenai kandungan nutrisi pada air susu ini juga harus diinisiasi. Lalu apakah peran wanita dalam pengasuhan anak akan terminimalisasi? Peran ayah menjadi semakin besar dalam urusan domestik? Apakah dengan begitu kesetaraan gender bener-benar bisa dicapai? Sebenarnya istilah apa yang kita bahas saat ini? Gender equality atau gender equity? Dua hal yang berbeda namun sering dianggap sama.

Sunday, November 22, 2009

JEDA

Seindah apa pun huruf terukir, dapatkah Ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkah Ia dimengerti jika tak ada spasi?

Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak? Dan saling menyayang bila ada ruang? Kasih sayang akan membawa dua orang makin berdekatan, tapi Ia tak ingin mencekik, jadi ulurlah tali itu.

Nafas akan melega dengan sepasang paru-paru yang tak dibagi. Darah mengalir deras dengan jantung yang tidak dipakai dua kali.

Jiwa tidaklah dibelah, tapi bersua dengan jiwa lain yang searah. Jadi jangan lumpuhkan aku dengan mengatasnamakan kasih sayang.

Mari berkelana dengan rapat tapi tak dibebat, janganlah saling membendung apabila tak ingin tersandung.

Pegang tanganku, tapi jangan terlalu erat, karena aku ingin seiring dan bukan digiring.
(Diambil dari Buku Filosofi Kopi karya Dewi ‘Dee’ Lestari)

Jeda tercipta untuk memberi ruang yang cukup bagi jiwa kita yang semakin didominasi oleh rasionalitas dan logika. Jarak terentang agar dua insan menyadari sepenuhnya bahwa setiap orang adalah individu utuh. Ia berhak berkeputusan dan pihak lain diharapkan untuk menghormatinya. Spasi ada agar kita memahami apa yang telah kita lalui dan pikirkan. Tanpanya, seperti puisi di atas, kata dan huruf menjadi kabur kebermaknaannya, sulit untuk dicerna atau bahkan sama sekali tidak bisa dimengerti. Tapi terlalu banyak jeda menciptakan kehampaan.

Tahun lalu, aku begitu menggilai konsep mind, body and soul. Status y!mku memuat beberapa puisi bertemakan hal itu.

Ketika ‘Penaku bicara’
Hatikupun ikut menyapa
Dan Neurotransmitterkupun bekerja
Mind Body& Soul

Ketika bibirku gagu
Hatikupun kelu
Akhirnya otakkupun beku
Mind Body& Soul

Dan beberapa puisi lirih lainnya sehingga membuat seorang suami menyangka bahwa aku menujukan puisi-puisi itu untuknya. Ketika beliau mencoba ‘mendekatiku’, aku menjadi marah...sangat marah sehingga aku tidak sanggup membalas pesannya. Sejak saat itu aku menghentikan menulis status apapun yang terlalu mendayu-dayu. Saat itu yang kubutuhkan adalah jeda sehingga kata-kata yang kuucapkan bukan sumpah serapah yang akan membuat masalah menjadi keruh.

Jeda menjadi penting untuk memastikan bukan hanya emosi yang mendominasi. Jeda mengizinkanku untuk melibatkan logika dan rasionalitasku masuk. Jeda memberi waktu bagi jiwa yang sempat ‘terluka’ untuk melihat masalah lebih jernih. Dan lebih dari itu, memberi kesempatan bagi jiwa, suara hati, kita untuk didengar.

Aku membutuhkan satu hari jeda untuk bisa membalas sang bapak, suami orang, yang keGe-Eran tersebut. Berusaha menempatkan masalah sesuai porsinya dan tidak membiarkannya menjadi berlarut-larut.

Setiap dari kita membutuhkan jeda. Bahkan Tuhanpun telah menciptakan sebuah cara agar kita mampu membuat jeda dari kesibukan kita sehari-hari. Muslim mengenal sholat lima waktu setiap hari. Pemeluk agama nasrani mengenal kegiatan kebaktian setiap Hari minggu. Penganut Budha dan Hindu mengadakan ritual keagamaan di Pura atau Vihara. Beberapa yang lain lebih menyukai bermeditasi. Semua mengenai jeda, spasi.
Manusia modern diidentikkan dengan penggunaan otak dan rasionalitas di atas apapun dan fisik tentu saja. Padahal manusia terdiri dari tiga komponen: otak, jiwa dan fisik. Lalu bagaimanakah jiwa akan berkontribusi? Atau lebih tepatnya adakah peluang baginya untuk berperan?

Ketika akan memilih pekerjaan kita cenderung untuk memikirkan untung ruginya secara nalar. Untuk pengembangan diri dan organisasi mungkin kita akan berpikir menggunakan metode SWOT (Strenght, Weakness, Opportunity dan Threat) sebagai piranti mutakhir. Bahkan untuk memilih pasangan kita melakukan perhitungan-perhitungan logis untuk meminimalisir kegagalan dan sakit hati. Atau bahkan ada yang menyarankan untuk menggunakan metode statistik dan meranking calon berdasar kriteria tertentu. Apakah masih ada tempat bagi suara hati kita untuk didengar?

"Hati tidak perlu memilih karena ia tahu pasti dimana kan berlabuh", Kata Luhde dalam 'Perahu Kertas' karya Dee Lestari.

Itu adalah penolakan seorang Luhde atas jawaban Keenan terhadap pertanyaannya sendiri. Luhde menanyakan kenapa Keenan menyukainya.

Dan Keenan menjawab, ”Karena aku memilihmu”.

Sebagian dari kita mungkin akan merasa di awang-awang ketika orang yang kita suka mengatakan dia memilih kita. Tapi tidak dengan Luhde. Luhde sadar betul bahwa tindakan memilih adalah hasil dari pemikiran, rasionalitas yang mungkin menihilkan suara hati. Dan ia meyakini kita tidak akan bahagia jika kita mengingkari suara hati kita atau bahkan tidak menghiraukannya. Karena itu dia memilih untuk tidak menerima Keenan.

Jeda adalah cara untuk memberi ruang bagi jiwa kita. Jeda adalah saat dimana kita bisa memahami secara utuh segala kejadian di seputar kita. Dan jeda mengizinkan bisikan hadir dari diri kita yang murni. Itu adalah penghargaan seutuhnya bagi eksistensi raga dan otak kita. Ia tidak mungkin salah karena ia berbeda dengan emosi yang sesat dan sesaat. Ia bukan logika yang sering kali kurang tepat dalam melakukan pertimbangan-pertimbangan. Ia adalah bagian diri kita yang sering kita lupakan.

Temukan jawaban dari kegalauan kita melalui jeda! Lewat sholat-sholat malam yang dengan syahdu melantunkan pengharapan sejatimu. Melalui keheningan dan kebeningan jiwa yang akan mengantar pada kebahagiaan sejati. Bersualah dengan jedamu di antara rinai hujan yang mulai sering menyapa. Atau sambutlah dia di tepian danau yang penuh ketenangan dan kelegaan. Mungkin juga diantara sesapan secangkir hangat kopi.

Dan kelak, di saat begitu banyak jalan
terbentang di hadapanmu
Dan kau tak tahu jalan mana yang harus kauambil
Janganlah memilihnya dengan asal saja
Tetapi duduklah dan tunggulah sesaat
Tariklah nafas dalam-dalam,
Dengan penuh kepercayaan
Seperti saat kau bernafas di hari pertamamu di dunia ini
Jangan biarkan apa pun mengalihkan perhatianmu
Tunggulah dan tunggu lebih lama lagi
Berdiam dirilah, tetap hening, dan dengarkanlah hatimu
Lalu, ketika hati itu bicara, beranjaklah
Dan pergilah ke mana hati membawamu

(cuplikan buku "Pergilah ke mana hati membawamu" karya Susanna Tamaro)

Sunday, October 18, 2009

Filsafat Hidup Pak Marijan

Mudah - mudahan saya tidak salah mengingat nama seorang guru kehidupan minggu ini. Beliau orang yang sangat bersahaja, ulet, teguh pendirian, dan mandiri. Saya menjumpai beliau pada rabu, 14 Oktober 2009. Kebetulan roda sepeda motor saya bocor di daerah perempatan Santikara, Jl. Prof Yohanes. Kebanan dalam Bahasa Jawa (ban= roda). Sekitar pukul 03.30 pm jogja masih lumayan panas, beruntung aku langsung menemukan tempat untuk menambal.

Tukang tambal ban ini tingginya sekitar 155 cm, berkaus putih namun tersibak di bagian punggungnya. Mungkin karena terlalu gerah sehingga beliau membiarkan angin membelainya sekaligus matahari membakar kulitnya. Topi ‘caping’ lebar menutupi kepalanya. Gigi Taring kanannya sudah tanggal namun suaranya masih sangat berwibawa.

“Bocor, mbak?”, Tanya beliau sekedar untuk memulai percakapan.

Inggih (iya dalam Bahasa Jawa), Pak”, Tanyaku sambil duduk di trotoar supaya bisa memperhatikan beliau bekerja lebih dekat.

Bosan menunggu akupun memulai percakapan,”Sudah berapa lama jadi tukang tambal?”

“wahh , sakdurunge panjenengan lahir (sebelum Anda lahir),” Kata beliau jenaka.

“Memang bapak tahu saya lahir tahun berapa?”

“Tahun berapa, mbak?” Beliau balik bertanya.

Sunday, October 11, 2009

Dua Malaikat di Dini Hari Stockholm (Berdasar kisah nyata, November 2008)

Hari ini, 11 Oktober, Damar memposting sebuah link dari Youtube di Facebook, FB. Video teman-teman PPI Swedia Stockholm di subway station. Jujur, hal ini mengingatkanku pada Swedia dan pengalamanku di Stockholm, nyaris satu tahun yang lalu.

November 2008, sehari setelah ujian Advance Epidemiology, aku dan teman sekamarku yang berasal dari Uganda memutuskan untuk jalan-jalan ke Riga, Latvia. Puas melihat bagaimana orang-orang Swedia ‘berwisata alkohol’ di Riga, kita pulang dan memutuskan berpisah sementara. Aku ingin mengunjungi teman-teman di Stocholm dan dia meneruskan pulang ke Umea.

Bawaanku hanya sebuah tas punggung saja, sehingga aku dengan mudah berkeliling. Cuaca cerah dan ada Nena yang menjemput di Ring O, Central Terminalen. Stockholm memang selalu menarik dikunjungi, salah satunya karena banyak mahasiswa Indonesia di sana. Cukuplah untuk melepas rindu sua kawan-kawan di tanah air.

Kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa KTH, Kungliga Tekniska Hogskolan. Tim wajib yang biasa menyambut adalah Andyka Kusuma, Anto Sihombing, Agustinus Prasetyo dan Taufik Putra Hasby. Nena adalah mahasiswi Linkoping University yang sering berkunjung ke Stockholm. Sayangnya, pak Ketua Edwin Setiawan Candra sedang ke Roma. Oya ada dua mahasiswi Erasmus, Zhafira Darmastuti dan Irmanda Handayani. Aku memutuskan menginap di apartemen Fira, di Kysta.

Hari itu, aku dan Nena berkunjung ke rumah Pak Tom Iljas di Sodertalje (Makasih, Win atas pinjaman tiket SL gretongan hehehe) Sore hari pulang ke Stockholm di antar beliau dan mampir ke KBRI. Biasa, membeli indomie pesanan teman-teman Indonesia di Umea.

“Nen, aku pingin bikin bakso neh. Kita makan malem rame-rame dengan yang lain yuk!”Ajakku.

Setelah itu kita berbelanja di toko China. Sekaligus membeli bakso titipan juga.
Pulang, aku langsung menuju ke Professorlingan, Lappis. Ini adalah markas besar mahasiswa KTH. Sukses masak dan makan kita dilanjutkan dengan ketawa ketiwi nggak jelas. Mulai dari game-game uniknya Nena sampai dengan memutar lagu-lagu jadul oleh DJ Andyka. Seru tapi aku harus kembali ke Kysta.

“Eh aku pulang dulu ya”, Kataku sekitar pukul 10 pm.

“Udah nginep sini aja, Rul!” Ajak Dyka.

“Tapi barang-barangku kan di tempat Fira, mana besok bus ke Umea jam 8 dari Centralen lagi.”

“Bentar gue cek jadwal busnya dulu,” Akhirnya Dyka mengalah,”Wah busnya dah lewat, Rul. Setengah jam lagi baru ada”.

Apa boleh buat. Kita tetap meneruskan permainan. Setengah jam kemudian aku teringat lagi. Dan hal yang sama terjadi. Tapi aku memutuskan untuk tetap keluar dari apartemen.

“Aku temenin deh,” Anto menawarkan diri.

Akhirnya aku berjalan ke halte bus bersama dengan Anto, Nena dan Pras. Bus lumayan lama datang, dan udara malam itu lumayan dingin (mungkin sekitar 10 derajat celcius). Nena dan Pras sempat memberi pelajaran dansa di halte bus. Haha-hihi ngga mutu di tengah malam. Sesuatu yang tidak mungkin dilakukan orang Swedia kecuali jika mereka sudah menenggak alkohol. Maksudnya, orang Swedia itu sangat sopan dan pendiam, sehingga dia tidak akan tertawa terbahak-bahak dan dansa dansi ngga jelas di halte bus tanpa alkohol. Sesuatu yang orang Indonesia bisa dengan mudah melakukannya.

Bus datang sekitar pukul 12.00 lebih. Aku berpamitan dan segera menuju Universitet. Di sana aku harus berganti alat transport ke kereta api menuju City Terminalen. Selarut itu, stasiun masih penuh. Tapi aku masih menemukan bangku kosong. Di depanku duduk seorang pria sekitar umur 30-an. Berambut pirang yang tak sempat tersentuh sisir. Dia sibuk berbicara dengan ‘seseorang’ di sampingnya. Yang membuatku bingung adalah tidak ada orang di sampingnya. Mungkin dia menggunakan earphone. Tidak juga.

“hmm..halusinasi,” Pikirku,” Derajat tiga atau empat??”

Aku sibuk mengamati pria di depanku. Seharusnya aku berusaha mendistraksinya dan mengembalikannya ke alam nyata. Tapi..well, aku ngga terlalu bisa. Dan haloo!! Ini Swedia. Kita tidak bisa semena-mena mencampuri urusan orang lain.

Ketika aku bersiap turun, bapak di depanku ini turun juga. Dia masih sibuk berbicara dengan ‘teman’nya. Kukira kali ini ‘temannya’ juga akan turun dan berada di belakangnya.
Keluar dari kereta aku segera mencari kereta berikutnya menuju Kysta. Gate 5 adalah kereta dengan jurusan Akalla/ Hjulsta. Saat itu sekitar pukul 12.40 aku terlalu mengantuk dan tidak bisa berpikir jernih. Dalam otakku, kereta di jalur lima ini adalah jurusan Akalla dan Hjulsta. Padahal itu adalah dua jalur berbeda. Dan aku seharusnya memilih jurusan Akalla.

Kereta datang,..dengan tenang aku masuk dan duduk. Tidak ada keanehan di stasiun-stasiun berikutnya. Meski baru sekali ke Kysta, aku hapal jalur apa saja yang kulewati untuk menuju ke sana. Namun tak berapa lama aku menemukan nama stasiun yang asing.

“Ah mungkin waktu itu aku terlalu asyik ngobrol jadi tidak memperhatikan stasiun ini,” 

Pikirku menenangkan diri.

Tapi stasiun selanjutnya semakin aneh. Dan kuputuskan untuk mencari peta jalur kereta. Sayangnya usahaku terlambat. Tepat ketika aku menyadari bahwa aku salah naik, kereta sudah sampai di Hjulsta , stasiun terakhir.

“Ah masih ada kereta berikutnya”.

Santai aku melenggang keluar. Tapi aneh..kenapa orang-orang hanya naek ke atas? Papan penunjuk waktu keberangkatan kereta digital juga kosong. Tiba-tiba saja stasiun terasa kosong, lengang.

“Ada yang ngga beres ini”.

Aku mencari jadwal kereta. Owhh yes!! Kereta tadi adalah kereta terakhir hari itu. Perlu beberapa detik untuk benar-benar sadar. Aku Melihat sekelilingku. Kosong. Petugaspun tak ada. Tiba-tiba masinis kereta keluar dan menanyakan sesuatu dalam Bahasa Swedia yang tidak terlalu kutangkap. Aku menjelaskan bahwa aku salah naik kereta dan aku harus ke Kysta.

How will you suggest me to do if i want to go to Kysta?”

Kereta baru beroperasi lagi sekitar pukul 5 am. Tapi ada Bus 24 jam hanya saja itu adanya di Rinkeby, satu stasiun dari Hjulsta. Tiba-tiba masinis ini menyuruhku masuk ke ruang masinis dan mengatakan akan mengantarku ke Rinkeby. Usianya mungkin sekitar awal 30-an. Muda, rapi, sopan dan baik hati tentu saja. Dia adalah malaikat pertamaku. Kereta canggih bin panjang itupun dijalankan hanya untuk mengantarku. Dia bercerita musim panas tahun lalu ingin ke Bali tapi batal. Dan dalam waktu yang singkat itu aku masih sempat promosi wisata Bali. Aku cukup tenang karena aku akan mendapat bus untuk ke Kysta. Sayang aku tidak mendapat kartu namanya.

Stasiun Rinkeby sama senyapnya dengan stasiun Hjulsta. Di luar terasa jauh lebih sepi,..seperti kota mati tepatnya. Lalu dimana halte bus 24 jam itu? Tidak ada orang yang bisa ditanya. Hanya ada dua orang mabuk yang lewat. Apesnya, Hpku mati karena low-bat. Kali ini aku membuktikan rumus pertamaku sekali kesialan datang maka bersiaplah dengan kesialan berikutnya. Rumus keduaku adalah stasiun kereta dan terminal Bus di Eropa selalu berdekatan. Jadi tenang dan mulailah mencari dari sisi kanan. Jika setelah melewati jalan besar tidak menemukan juga maka perlahan berputar haluanlah ke sisi kiri. Yakin sisi kanan tidak ada aku memutuskan memutar arah ke kiri.

Setelah sekitar 10 menit berjalan, aku melihat bus berjalan di depan. Lega sekali saat itu. Begitu sampai di halte kucari jadwal bus. Tapi tidak kutemukan jadwal bus 24 jam. Hmm..Aku duduk di bangku panjang. OK. Mari berpikir. Masalahnya adalah bagaimana untuk mencapai Kysta, Packing dan tiba di City Terminalen lagi pukul 8 am tepat. Aku punya beberapa alternatif. Satu, tidur di stasiun dan menunggu kereta paling pagi. Dua, menunggu taksi. Tiga, tetap mencari bus 24 jam.

Tiba-tiba seorang kakek berjalan ke arahku. Dia menyapaku. Dan berusaha mengobrol. Tapi aku hanya bisa menangkap sedikit karena Bahasa Swediaku masih terbatas. Aku berhasil memperkenalkan diri dan menjelaskan bahwa aku akan ke Umea besok pukul 8 am dan bahwa aku harus ke Kysta.

Beliau berulang kali mengatakan,”Lugna (tenang)!” Sitta har (duduk di sini)!”

Tapi aku tidak bisa tenang. Aku terus mencari-cari taksi yang setelah lebih dari setengah jam tidak muncul. Bahkan mobilpun nyaris tidak ada yang lewat. Dan aku hanya berdua dengan kakek ini. Beliau menawarkan untuk menggunakan taksi bersama dan berjanji akan membayari taksiku.

“Bukan ide yang baik sepertinya”, pikirku gundah waktu itu.

Pertama, aku tidak kenal kakek ini. Kedua, aku baru saja magang di Women Crisis Center dimana kasus trafficking, menjadi salah satu bahasan utama. Halloo!! Aku jelas tidak mau membayangkan koran-koran esok hari akan memuat berita mahasiswa Umea University asal Indonesia menjadi korban trafficking. Tapi apa aku punya pilihan? Aku memutuskan berdiri.

Sekitar pukul 01.30 sebuah taksi akhirnya lewat. Aku buru-buru maju ke depan.

Kysta, please!” Kataku.

Lalu kakek itupun maju dan menyebut tujuan lain. Supir taksi terlihat bingung, dan memutuskan untuk bertanya ulang. Jawabanku tetap sama dan jawaban si Kakek tidak berubah. Akhirnya si Kakek mengatakan untuk mengantarku ke Kysta dulu dan dia yang akan membayar ongkos taksi.

Entah apa yang ada di pikiranku saat itu. Tapi aku memutuskan untuk naek. Tas punggungku masih kupanggul, Plastik besar berisi titipan mie instan dan bakso kupegang erat di tangan kiriku sepanjang perjalanan. Mataku sibuk mencari tahu petunjuk jalan. Setelah sepuluh menit lebih kami berhenti di sebuah perempatan dan papan penunjuk jelas menulis arah ke Kysta adalah lurus.

“OK,..jika taksi ini belok ke arah manapun, aku harus segera keluar”.

Tanganku sibuk membenarkan tas punggungku dan memegang erat tas plastikku. Namun taksi tetap lurus dan supir taksi bertanya di mana temanku tinggal. Akupun menjelaskan. Bahwa apartemennya di atas mall di Kysta. Aku mulai mengenali jalan dan gedung-gedung yang kulewati. Rasa lega sedikit tersisip. Dan ketika sampai di mall itu akupun berniat meminta kartu nama sang kakek.

“Anggap saja kamu bertemu seorang malaikat,” Jawabnya tenang.

Awhh...malu aku mendengar jawabannya. Padahal selama tiga puluh menit lebih aku berburuk sangka padanya.

Tack sa mycket (terima kasih banyak)!!” Kataku.

“Hati-hati perjalananmu ke Umea besok!” Nasehat si Kakek.

Turun dari taksi aku mencari kunci masuk apartemen yang berupa kartu. Ketika kugesekkan ke sebuah alat ternyata tidak berfungsi. Rumus pertamaku masih berlaku ternyata. Jangan cepat berpuas diri, ujian masih menanti. Fira pasti sedang tidur pulas di lantai 9 sana. aku ada di bawah. Bagaimana bisa sampai di atas. Kulihat jalanan, lengang tentu saja. Sekitar pukul 02.00 am.

“Ya Allah, aku ke Swedia Cuma untuk sekolah dan inipun untuk silaturahmi dengan teman-teman. Kumohon, beri aku kemudahan”.

Sebelumnya aku terlalu sibuk memikirkan cara untuk sampai ke Kysta. Tidak ada kesempatan untuk berpikir tentang perampokan, pembunuhan kecuali trafficking tentu saja. Hehe Tapi rasa tidak aman baru benar-benar muncul ketika aku sudah di Kysta. Tujuanku sudah tercapai. Masa harus tidur di jalan?

“Ya Allah, aku belum pernah berbuat dosa besar, belum nikah lagi. Jadi kumohon keselamatan dariMu,” Doaku.

Konyol memang. Di saat genting seperti itu aku masih sempat-sempatnya ingat nikah. Hehehe singkat cerita aku memutuskan untuk menyeberang jalan dan mencoba pintu masuk dari lantai 2. Tapi pintu masuk ini langsung menuju mall. Aku pesimis pintunya masih terbuka. Terlalu rawan untuk kejahatan jika masih terbuka. Tapi aku tidak punya pilihan lain.

“Alhamdulillah, pintu terbuka”. Kulihat seorang petugas masih bekerja lembur di dalam. Tapi kartuku tidak berfungsi lagi. Beberapa kali dicoba tetap sama. Sampai aku menemukan mesin berikutnya.

“Click,” suara kunci pintu terbuka itu begitu merdu.

Aku melangkah ke dalam,”Jangan terlalu cepat senang”, nasehatku pada diriku sendiri.
Aku ingat Pras pernah bercerita bahwa ada kasus entah bunuh diri atau pembunuhan tepat di lantai dimana Fira tinggal. Ini efek dari terlalu sering menonton film horror. Well, setidaknya prasangkaku ini tidak akan membunuhku jika benar-benar terjadi. hohoho
Tegang, aku berjalan ke ujung lorong, menuju elevator. Memencet angka 9. Dan tegang menunggu sampai di lantai 9. Mencari-cari kamar Fira. Setelah menemukan dan membuka pintu barulah aku lega. Senang sekali rasanya melihat Fira tertidur pulas di tempat tidurnya. Setelah packing dan mandi, sekitar pukul 03.00 am aku baru tidur. Pukul 06.00 kita bangun dan aku menceritakan pengalamanku padanya.

Akhir kata aku bisa sampai City Terminalen tepat waktu. Pertemuan dengan dua malaikat tak terlupakan. Kurasa aku terlalu merasa aman dan nyaman dengan orang-orang Swedia. Mereka begitu santun dan berpendidikan. Dan well,..keajaiban memang bisa terjadi di mana saja. Kebetulan untuk ceritaku terjadi di Stockholm.

Moral values of this story are:
1. Jika Anda bepergian ke kota/ negara lain pastikan Anda mengetahui jadwal terakhir alat transportasi yang akan Anda gunakan
2. Jangan lupa memastikan HP/ alat komunikasi lainnya berfungsi
3. Postif thinking dan fokus pada penyelesaian masalah. Tidak ada gunanya menyalahkan keadaan yang ada atau bagaimana masalah ini bisa timbul

Tuesday, September 15, 2009

Jitu dengan Psikologi Terbalik

“Males apdet (update)status ah,” Status seorang teman di FB.

Apa ia benar-benar malas meng-update status? Bukankah ia tidak perlu mengganti atau menulis status baru jika ia benar-benar malas. Untungnya ia adalah seorang psikolog sehingga ketika saya bilang, ”Psikologi terbalik tuh”, Ia bisa paham.

Psikologi terbalik, reverse psychology, dikeluarkan pertama kali oleh duo Adorno dan Horkheimer tahun 1970-an. Inti dari teori ini adalah mengatakan pada orang lain sesuatu yang berlawanan dengan apa yang Anda ingin mereka lakukan atau percaya. Teori ini mempercayai bahwa orang akan merespon berlawanan atau berkebalikan dari perintah yang diberikan kepada mereka.

Kita sangat akrab dengan aplikasi teori ini sebenarnya. Sewaktu kecil saya sangat suka bermain di luar rumah. Saya sukses menceritakan pengalaman-pengalaman sehingga ibu lupa memarahi saya. Tapi tidak dengan bibi saya.

“Asyik ya main, enak tuh kalau diterusin sampai Isya”, Katanya.

Lalu apakah saya junior benar-benar menuruti perintahnya untuk melanjutkan bermain? Itu adalah sindiran tajam dan saya tahu saya bersalah sehingga cepat-cepat masuk rumah. Trik ini memang sangat jitu dilakukan pada anak-anak. Tapi penggunaan yang berlebihan diyakini bisa mengganggu harga diri si anak.

Anyway, saya mengikuti beberapa milis. Beberapa kali saya temui anggota milis tiba – tiba mengirimkan email yang sangat emosional.

“Milis ini tidak berguna! Buat apa saya mengikuti milis ini? bla.bla.bla”.

Benarkah itu apa yang ia rasakan? Hmm,..mungkin saja ia benar-benar marah. Tapi menurut saya akan lebih efektif jika ia segera saja unsubscribe, diam-diam. Tidak perlu menunjukkan kemarahan pada anggota milis yang lain. Tidak ada gunanya. Ekspresi marahnya menurut saya justru ungkapan bahwa ia peduli dan sebenarnya dia berharap milis ini dapat lebih baik. Dia anggota yang baik.
Sering kita menggunakan psikologi terbalik ini tanpa kita sadari. Trik ini mungkin digunakan laki-laki atau perempuan untuk menguji kesungguhan pasangannya. Jika si dia pernah mengatakan, 

”Ayolah, cari yang lain! kan masih banyak yang lebih baik!” Respon Anda? Turuti saja apa yang diucapkannya. Mengikuti permainannya akan membuat dia penasaran dan terkadang manjur untuk kelanggengan sebuah hubungan.

Apakah ia bersungguh-sungguh menyuruh Anda untuk mencari yang lain? mungkin saja. Tapi logikanya begini. Kalau ia memang tidak suka bisa saja dia mengacuhkan segala kontak dengan Anda. Ringkasnya anggap Anda tidak ada, itu adalah cara efektif, meski menyakitkan, untuk menunjukkan bahwa kita tidak memberikan peluang sama sekali.

Bisa dimengerti jika orang mengatakan, ”Lawan dari cinta itu bukan benci tapi cuek, ketidakpedulian, ignorance”.

Thursday, September 10, 2009

Berdamai dengan ‘Tuhan Sembilan cm’ [2]

Pak Yadi dan dua bungkus rokoknya selama delapan tahun. Anda memiliki kalkulator? Saya tertarik untuk sedikit berhitung. Bisa bantu saya? Sebelumnya, mari kita membuat asumsi bersama. Asumsi pertama terkait dengan harga. Satu bungkus rokok termurah adalah Rp. 2.500 dan termahal Rp. 25.000. Asumsi kedua, Pak Yadi secara konsisten mengisap rokok sebanyak yang saya sebut di atas selama kurun waktu tersebut. Dan terakhir, jumlah hari dalam satu bulan adalah 30.

T= p*b*h*m*n

T= Total pengeluaran terkait dengan rokok
p= price= harga satu bungkus rokok (range: 2.500-25.000)
b= Jumlah rokok yang diisap (bungkus*)
h= jumlah hari dalam satu bulan (30)
m= jumlah bulan dlm satu tahun (12)
n= total tahun merokok (8*)
Note: * disesuaikan dengan kasus pak Yadi

Menggunakan rumus di atas, berapa total rupiah yang dikeluarkan Pak Yadi? Saya mendapatkan hasil Rp. 14.400.000 – Rp. 144.000.000. Apakah Anda mendapatkan angka yang sama? Terkejutkah Anda dengan jumlah nominal tersebut?
Rp. 14.400.000 benar- benar dikeluarkan Pak Yadi jika beliau hanya membeli rokok seharga Rp. 2.500 selama 8 tahun. Nominal Rp.144 juta juga bisa didapatkan dengan logika yang sama namun menggunakan harga termahal dalam asumsi saya. Namun saya memberi sedikit kelenturan bahwa mungkin saja rokok seharga Rp 2.500 tidak ditemui beliau sehingga harus membeli yang lebih mahal. Atau mungkin pak Yadi tergoda untuk menikmati rokok eksklusif seharga Rp.25.000. Hal ini akan memberikan nilai total diantara Rp. 14.400.000- Rp.144 juta.
Angka yang luar biasa menurut saya. Jika saya tunjukkan kalkulasi ini kepada Pak Yadi saat ini. Saya yakin dia akan menghembuskan napas lega karena berhasil terbebas dari rokok. Meski beliau harus mengeluarkan uang untuk membeli buku-buku, mengikuti pelatihan meditasi dan yoga. Tapi dengan menginvestasikan kesehatan dan masa depannya itu akan jauh lebih menguntungkan.
Tapi bagaimana jika saya menunjukkan bukti ini di antara delapan tahun periode merokok yang beliau lalui? Apakah bisa mempercepat membantu beliau untuk berhenti? Mungkin. Setidaknya beliau bisa mempertimbangkan ulang untuk mengurangi atau bahkan berhenti sama sekali. Kita perlu ingat bahwa rokok bersifat adiktif. Otak sudah terbiasa bekerja dengan sokongan nikotin. Dan berusaha mempertahan levelnya atau bahkan meningkatkannya.
Dalam rentang waktu delapan tahun tersebut, pemerintah mengambil keputusan untuk menaikkan pajak dan harga rokok, anggaplah, menjadi Rp. 3.000 dari harga Rp 2.500. Apakah Pak Yadi akan mulai lebih aktif berpikir untuk berhenti? Saya khawatir itu tidak akan berpengaruh banyak. Bahkan mungkin beliau akan mencari alternatif yang lebih murah. Beliau bisa saja membeli tembakau kering dan membungkusnya sendiri. Ini yang disebut rokok lintingan. Harganya bisa jauh lebih murah. Istilah seribu jalan menuju Roma bisa saja berlaku. Pembelian tembakau langsung ke petani tembakau juga bisa dilakukan. Ini akan semakin mempersulit pengawasan terhadap rokok dan penggunaannya.
Karakter Pak Yadi ini disebut sebagai Price-insensitive consumer oleh para ekonom. Naik atau turunnya harga tidak akan merubah kebutuhan (Demand) terhadap rokok. Persis seperti bagaimana kita bisa seenaknya mempermaikan harga sembako selama waktu lebaran. Kebutuhan akan tetap meningkat, pembelian tidak akan terelakkan meskipun harga terus melambung.
Intervensi tunggal, terutama hanya kepada pajak, memang bukan ide yang bagus untuk mengatasi masalah ini. Selain prevalensi, jumlah total, perokok tidak akan terlalu banyak menurun. Selain itu produsen sampai penjual eceran mungkin akan sedikit dirugikan karena kehilangan pelanggan. Lalu bagaimana untuk mengatasi masalah ini? Atau mungkin lebih baik kita tanyakan, “Adakah cara tepat untuk mengatasi masalah ini?”

To be continued ...[3]
NB: Kekurangan dalam perhitungan saya adalah saya tidak menggunakan discount rate. Hal ini penting karena nilai uang hari ini tidak akan sama dengan nilai di masa depan. Keuntungan yang di dapat hari ini akan selalu lebih baik dari pada menunggu keuntungan dengan jumlah yang sama di masa depan.

Tuesday, September 08, 2009

Berdamai dengan ‘Tuhan Sembilan cm’ [1]

Buka bersama hari minggu kemarin, 6 September 2009, dilakukan di Sogan Village. Sebuah Resto eksklusif di Jl. Palagan Tentara km 10, Yogyakarta. Dua rumah Joglo berumur lebih dari satu abad menimbulkan suasana klasik. Perasaan damai dan bugar setelah Yoga bersama membuat percakapan mengalir dengan lancar.
Duduk di ujung sebuah meja kayu panjang, sekitar sepuluh orang, kami mulai saling bersapa.
“Kayaknya pernah yoga bareng dua tahun yang lalu ya, Pak?”
“Iya, emang pernah kok,” Kata pak Yadi.
Mataku menatap sosok berpakaian hitam di depanku. Badannya tegap atletis, maklum beliau juga rajin berlatih Aikido (Atau semacam itulah).
Seseorang yang sangat sporty dan perhatian dengan kesehatannya, sangkaku.
“Allahu Akbar..Allahu Akbar”, Adzan berkumandang.
Segera kami membatalkan puasa. Air putih, Teh, kopi dan kolak dihidangkan di meja sebelah kanan. Menu utama tersedia di sebelah kiri. Kembali bercengkrama sambil menyantap makanan di hadapan kami.
“Ada lo yang tak bisa berhenti mengisap rokok setelah buka,” Kataku sambil lalu.
“Seperti kereta api. . saya tidak bisa mengerti bagaimana mungkin mereka bisa menahan selama sehari penuh”.
“Saya dulu juga merokok,” Timpal Pak Yadi.
“Ya?”, Tersirat permintaan penjelasan lebih lanjut dalam nada suara yang terdengar.
“Iya tapi bisa berhenti dalam waktu satu bulan”.
Ini mulai menarik. Saya mulai berusaha membuktikan hipotesis yang tersusun. Rasa penasaran mendominasi.
“Berapa lama bapak merokok sebelumnya? Berapa batang sehari?”
“Saya merokok delapan tahun. Sehari bisa habis dua bungkus”.
Saya berdecak kagum dalam hati. Waktu yang tidak singkat dengan kuantitas lumayan banyak bisa dihentikan dalam satu bulan?
“Bagaimana bapak melakukan itu? Bapak menggantinya dengan permen?”
“Wah memang sulit sekali. Tiap kali ada keinginan untuk merokok saya meditasi dan baca buku”.
Buku yang dimaksud beliau adalah buku-buku mengenai bahaya merokok, meditasi dan topik- topik serupa untuk memotivasi agar tetap meninggalkan rokok. Self healing, self therapy,self suggestion. Beberapa istilah yang merujuk pada makna yang serupa. Memotivasi dan menyembuhkan diri atau perilaku yang kurang sehat dengan usaha sendiri. Tapi ada sesuatu yang kurang dari cerita pak Yadi ini. Ibarat orang yang sedang bermain puzzle ada satu keping yang hilang.
“Bagaimana bapak begitu bersemangat berhenti merokok? Bukankah itu enak?”
“Saya sesak napas sebelumnya. Itu titik awal saya berusaha berhenti merokok”.
Damn!! Njelehi! Saya mengutuk dalam hati. Bukan karena jawaban beliau tapi karena sikapku sendiri. Inilah alasan kenapa saya selalu terkesan skeptis dengan metode kualitatif. Julukan saya dalam kursus narrative journalism adalah miss kuantitatif.
Anda Tahu kesalahan saya? Bapak Yadi telah secara tidak sadar saya giring untuk membuktikan kebenaran teori health belief model. Inti dari teori ini adalah seseorang akan mengubah gaya hidupnya menjadi lebih sehat ketika ybs merasa ada keuntungan yg bisa didapat dan atau kerugian yang dicegah.
Mind set saya ini adalah inti dari perubahan perilaku seseorang. Tidak mungkin seseorang rela berubah tanpa memperoleh ‘keuntungan pribadi’. Dan ini tidak dibenarkan dalam metode kualitatif. Salah satu sisi positif dari metode kualitatif adalah eksplorasi. Eksplorasi tidak akan berhasil jika penanya menggiring respondennya untuk menjawab sesuai dengan yang dipikirkannya.
Ini berarti sebanyak apapun responden yang saya rekrut akan menghasilkan jawaban yang sama. Saturasi adalah poin penting dalam kualitatif. Ketika saturasi terpenuhi maka kita tidak akan mendapatkan jawaban baru dan menghentikan penelitian menjadi dibolehkan. Titik saturasi antara saya dan mas Andreas mungkin akan sangat berbeda. Dengan kata lain, tindakan saya akan menghasilkan false result.
Kesalahan saya bisa saja berulang. Dan karena itulah saya meragukan metode kualitatif. Seandainya orang- orang yang bergelut dalam penelitian kualitatif sehandal mas Andreas Harsono, saya tidak berani berkomentar banyak. Bagaimana mungkin saya mempertanyakan hasil wawancara seorang Prof. Arief Budiman. Dan apa saya layak meragukan tulisan hasil reportasi Mas Nugie, Mas Buset, mba Dian atau Danu?
Ironi memang. Ketidakpercayaan saya didasarkan pada ketidakpercayaan pada diri sendiri. Setidaknya saya sudah menemukan kesalahan saya dan berusaha memperbaikinya.Saya pikir jawabnya adalah BERLATIH!! T.E.R.U.S. B.E.R.L.A.T.I.H!!!

Saturday, August 22, 2009

15 Tahun Nurul - Astiti


“Nurul, aku naek Kereta jam 8 am dari Stasiun Tugu”.

“OK, kita qtemu besok aj ya”.

Juli 2009. Selalu seperti itu. Mungkin memang kita telah menemukan pola persahabatan kita. Sebuah pertemuan selama lima menitpun akan selalu berkesan. Tidak setiap hari kita bertukar kabar..bahkan tidak pula sebulan sekali. Terkadang malah setahun sekali. Mungkin justru itu yang membuat persahabatan kita awet.

Kalau tidak aku yang memburumu ke stasiun atau bandara, pastilah kau yang memburuku ke bandara. Dua kali berangkat ke Swedia, aku selalu nervous mencari – carimu untuk melepasku. Dan setelah 15 tahun, tetap saja datang di detik – detik terakhir. Padahal tidak ada percakapan spesial. Hanya sekedar ingin bertemu, senyum dan bertukar kabar penting.

Aku selalu berharap kamu datang. Menunggu ucapan selamat darimu saat dua kali wisudaku. Semakin cemas, karena alm. Ayah tak sabar menunggumu hingga akhirnya tak sempat bertemu. Ato sibuk mencarimu yang sedang sibuk menyelesaikan wisuda. Beruntung tahun lalu aku pulang ke Jogja dan melihatmu wisuda. Tahun ini, sekali lagi dewi fortuna menghampiriku untuk menemanimu menyempurnakan separuh dienmu.

Sejak SMP, kita sibuk dengan urusan masing – masing. Mengikuti ekskul yang berbeda. Memiliki kawan karib yang tak sama. Cara pandang yang berlainan. Well, aku memang tidak bisa mengikutimu kemana – mana. Kita memiliki cara yang berbeda untuk kehidupan kita. Tapi aku tahu kalau akulah yang spesial (Narsis MODE:ON).
Beberapa tahun lalu, tiba-tiba kau mengundangku menyaksikan final lomba pidato Bahasa Jepang. Aku datang meski tak tahu kau bicara apa.

Minna –san...”

Watashi wa. . bla.bla”.

Aku bangga menyaksikanmu tampil hebat di depan sana, bahkan terharu. Apalagi kau menjadi juara dan berhak melenggang ke tingkat nasional (aku nyaris dapat door prize lagi :d). Beberapa hari setelah itu baru aku tahu bahwa pidatomu itu tentang persahabatan kita. Tentang aku? Aku tahu aku memang terlalu berharga untukmu. Tak mudah bagimu untuk menyatakannya dengan bahasa yang mudah kumengerti (hahaha). Arigatou gozaimasu, ne! Meski aku DO belajar Bahasa Jepang, tapi aku masih menyimpan kamus pemberianmu. Hehehe (untuk pajangan).

Sejak tahun 1994, 15 tahun berlalu. Aku tahu, aku masih menjadi sahabat terbaikmu (hohoho_menyeringai MODE:ON). Perayaan kita kali ini adalah dengan upacara pernikahanmu. Semoga menjadi keluarga sakinah mawaddah warahmah, langgeng terus sampai takdir memisahkan.

Terima kasih sudah menjadi sahabatku selama 15 tahun. Semoga masih tetap berlanjut setelah ini. Sahabat bukanlah orang yang selalu kita ajak jalan-jalan atau chat. Tidak melulu menjadi tempat curhat kita. Bahkan tidak selalu ada ketika kita butuhkan. Namun ia adalah orang yang memberi kesempatan pada kita untuk menjadi diri kita seutuhnya. Dan diam-diam mendoakan kita dalam hening malam.

Wednesday, August 12, 2009

Katakan saja rasa itu

"Saya sebenarnya kagum dengan istri saya," Kata laki-laki separuh baya di sampingku.

"Sudah bapak katakan?" Tanyaku polos.

"Ahh dia sudah tahu itu. Kayak orang pacaran saja," Jawabnya sambil tersenyum simpul.

Bandara Soekarno Hatta diam. Aku diam tapi dalam hatiku ramai tak tertahan. Apa salah mengatakan perasaan kita apa adanya? Apalagi ungkapan rasa sayang dan terima kasih kepada pasangan. Orang yang telah mendampinginya bertahun-tahun dan melahirkan putra-putrinya.

Kalau dipikir, Allah itu dekat lebih dekat dari urat leher kita. Bukan hanya itu dia Maha Mengetahui apa yang tersembunyi di hati setiap hambaNya. Toh Ia tetap mengharap kita untuk berdoa dan memujaNya.

Paham apa yang aku maksud? Seandainya bapak itu mengatakan pada istrinya, pastilah ia akan senang. Istrinya mungkin saja sudah mengetahui tapi pengakuan dan sanjungan yang berasal dari suaminya adalah penghargaan besar baginya. Memberi hangat dalam hatinya dan perasaan bahwa ia dicintai.

Aku kasihan pada bapak ini, yang bahkan untuk mengungkapkan sanjungan pada istrinya begitu sulit. Mungkin beliau belum benar-benar mengerti arti kata terlambat. Beliau tidak tahu bagaimana seorang yatim mengharap waktu berputar ulang sekedar untuk mengatakan rasa sayang kepada ayah/ ibunya yang telah tiada. Beliau lupa, bagaimana seorang lelaki menyesal karena terlambat mengungkapkan perasaannya pada perempuan yang dicintainya. Bagaimana janda/ duda berharap agar pasangannya kembali dan berandai-andai akan memberikan lebih banyak.

Cinta dan perasaan apapun itu adalah keputusan sepihak. Kita bisa memutuskan untuk menyukai atau membenci seseorang. Tapi jangan terlalu berharap orang yang kita suka atau benci akan membalas sama seperti apa yang kita rasa. Menyatakan kekaguman dan perasaan sayang itu adalah anugerah. Meskipun perasaan kita ditolak, yakinlah bahwa orang yang menerima pernyataan kita akan menghargainya. Suatu saat jika ia sedang 'jatuh' ia akan ingat ada seseorang yang mencintainya.

One day in your life
You'll remember a place
Someone touching your face
You'll come back and you'll look around you

One day in your life
You'll remember the love you found here
You'll remember me somehow
Though you don't need me now
I will stay in your heart
And when things fall apart
You'll remember one day

Sunday, August 02, 2009

Kambing hitam itu bernama Setan

Sore ini aku mengobrol santai dengan ibu. Berdua saja di meja makan dengan Tengleng di hadapan kami. Beliau begitu asyik masyuk dengan tulang-tulang di hadapannya.

"Besok senin, nggih?" Tanyaku,"Pingin puasa".

"Halah, biasanya alarm aja yang sahur," Protes ibu.

hehehe. Aku memang biasa menyalakan alarm pukul tiga dini hari dan bangun sekedar untuk mematikan alarm.

"Wah, asli bu. matanya ga bisa dibuka. Memang setan itu pinter banget".

Ibu masih asyik dengan tenglengnya. Sambil menatap wajah di hadapanku pikiran usil melintas. Kira-kira apa kata setan ya mendengar celetukanku?

"Aku meneh..aku meneh (aku lagi dalam Bahasa Jawa_red). Cape' dehhh".

Memang kita terlalu terlatih untuk membela diri dan lebih terlatih lagi untuk tidak mengakui kesalahan dan kekurangan kita. Kalau tidak bisa menemukan 'kambing hitam' dalam ujud manusia maka jadilah setan menjadi sasaran.

Masih menikmati tengleng dan masih mendengarku.

"Setan itu sabar ya bu? Kalau setan saja bisa sabar dijadikan kambing hitam terus oleh manusia. Kita juga harus lebih sabar, tho?"

"Lah iyo tapi mbok kowe ki gek ndang mapan!"

"Kalau mau dapat 'ikan besar' itu harus sabar", Jawabku mencoba diplomatis. Padahal ngga jelas maksudnya apa.

Tapi apa ikan teri, mewakili ikan kecil, ngga iri ya? Ikan besar memang bergengsi tapi apa salahnya jadi ikan teri.

"Justru laris terus lho di pasar," Kata Ibu.

Jadi gimana mau ikan teri atau ikan besar? huehehehe

Sunday, July 19, 2009

Cahaya dari Tanah Suci

“Tuhan tidak berkonspirasi dengan para malaikat untuk menyusahkan kita kan?”

Ini kalimat favoritku di acara Mario Teguh hari ini. Minggu, 19 Juli 2009, mengangkat topik Cahaya dari tanah suci. Beliau berbagi banyak kebijaksanaan hidup. Tanah suci...Haji..sesuatu yang sedang hangat diperbincangkan olehku dan keluargaku.

“Aku memenuhi panggilanmu, ya Allah!”

Itu kalimat yang ingin sekali diucap oleh ibuku. Beberapa tahun ini ibu memang memendam harapan untuk berhaji. Hasratnya kian membuncah setelah aku lulus sekolah Juni ini. Dan aku merasa sangat hancur setiap kali ingat bahwa aku tidak bisa berjanji banyak untuk membantu. Padahal beliau sudah membaca beberapa buku panduan berhaji, mencari segala info seputar haji. Sedih kulihat beliau memandang foto alm. Ayah dan berkeluh kesah apakah bisa berhaji 2010 ini.

Doa-doanya sederhana saja. Berharap agar aku dan kakakku segera selesai kuliah. Mengharap kami semua berkumpul setelah dua tahun lebih ditinggal putra-putrinya. Dan memenuhi rukun Islam kelima dengan diantar putra putrinya.

Doa identik dengan permintaan. Ini adalah kunci kehidupan pertama yg diajarkan Mario. Sering kali kita salah mengartikannya menjadi sebuah keluhan atau bahkan ancaman. Padahal Allah hanya menganjurkan untuk meminta kepadaNya.

Keluhan hanya akan menutup mata kita dari kesempatan melihat nikmat-nikmatnya. Fokus pada sisi negatif sering menutup kesempatan untuk memperbaiki diri. Tanpa sadar kita juga sering mengancam dengan cara-cara yang halus.

“Jika Kau mengabulkan doaku, aku akan lebih banyak beribadah. Aku akan bertaubat”.

Tuhan tidak butuh tobat dan ibadah kita. Kitalah yang membutuhkanNya. Maka ajaran Mario kali ini adalah,”Memintalah secara sederhana, tulus dan tak bersyarat”.

Cukupkah itu? Apakah dengan berdoa agar bisa berhaji, ibuku akan mendapatkannya tiba-tiba? Ternyata ibuku harus membayar ONH, harus membaca buku-buku panduan dan beberapa hal lain sebelum benar-benar bisa menunaikan haji. Ada prasyarat keduniawian yang harus dipenuhi.

Istilah Mario adalah,”Memantaskan diri untuk terkabulnya doa kita”.
Beliau mencontohkan banyak orang menuliskan nama orang yang mereka kasihi di sebuah menara di tanah suci, saya lupa namanya. Mereka berharap agar nama yang mereka tulis adalah jodoh mereka, atau berharap agar perkawinan mereka tetap langgeng. Nyatanya, tidak semua doa terkabul. Karena memang doa saja tidak cukup, kita harus berusaha agar kita pantas mendapatkan apa yang kita inginkan.

Kunci terakhir adalah,”Mensyukuri pemberianNya”. Setelah kita mensyukuri pemberianNya hari ini, kita menjadi pantas menerima karuniaNya esok hari.
Tuhan tidak pernah berkonspirasi untuk menghancurkan kita. Kita hanya perlu meminta padaNya, memantaskan diri menerima apa yang kita minta dan mensyukuri apa yang kita dapatkan.

Jadi doaku hari ini adalah,”Allah kumohon kabulkan doa ibuku untuk memenuhi panggilanMu”.

Monday, July 13, 2009

Bali, semoga selalu berbakti

“Apa salah satu pulau wisata paling terkenal di dunia?”

Bangga akan kujawab, ”BALI”. Ya, kini aku percaya bahwa pulau ini termasyur bahkan sampai ke ujung dunia. Sungguh-sungguh ujung dunia karena Swedia terletak di ujung utara, bertetangga dengan kutub utara.

Kalau Anda bertanya kepada orang Swedia mengenai hal yang mereka ketahui tentang Indonesia. Hampir pasti tiga diantaranya adalah Bali, negara muslim terbesar, dan hutan tropis. Aku selalu terkesan dengan sikap sopan sekaligus keingintahuan mereka. Sering mereka bertanya tentang asal kita. Dan menyebut nama Indonesia kadang merupakan petunjuk pertama untuk membuka ke bahan pembicaraan berikutnya BALI.

Bali adalah sebuah pulau bertuah yang mampu membuat orang-orang dari negara kutub ini rela melakukan perjalanan yang melelahkan. Hasil pembicaraanku bukan saja dengan kawan, bahkan dari seorang pelayan toko ataupun seorang masinis.

Tersesat di Stockholm dini hari di bulan November 2008, aku berkesempatan ngobrol dengan seorang masinis. Seharusnya aku panik, karena salah menggunakan kereta padahal itu adalah kereta terakhir.

How will you suggest me to do if i want to go to Kista?” Tanyaku pada seorang masinis.

Dengan rendah hati masinis itu mengantarku ke Rinkeby. Dia membantuku dengan menggunakan kereta panjang dan canggih itu. Aku berdiri di sampingnya. Basa-basi dia bertanya tentang asalku. Tak berapa lama dia mulai bercerita mengenai rencananya untuk ke Bali tahun lalu.

Aku masih sempat mempromosikan Bali sambil terus mengawasi rel yang berjajar dan kegelapan di depan. Kuyakinkan dia bahwa dia harus meneruskan rencananya dan bla.bla.bla

Tidak semua manis jika itu terkait dengan Bali. Bukan hanya sekali aku mendapat pertanyaan yang ‘mengocok’ otakku, membuat perutku mulas, berkeringat, speechless. Mungkin deskripsi ini terlalu hiperbolik. Tapi silakan deskripsikan perasaan Anda jika Anda mendapat pertanyaan sebagai berikut, “Yakin Bali itu di Indonesia?”

Tueng.eng.eng. Limbung aku mendapat pertanyaan seperti itu. Pertanyaan itu membuatku bahkan meragukan bahwa matahari terbit dari timur. Padahal aku meyakininya dari semenjak kecil. Itu semacam dogma, yang tidak akan pernah kupertanyakan lagi.

Shock terberat ketika mendapat pertanyaan itu pertama kali. Perlu beberapa waktu untuk menyadari bahwa aku tidak salah dengar. Bahwa ia bersungguh-sungguh dengan pertanyaannya. Aku tidak tahu apa yang salah dengan promosi turisme Indonesia.

Dan lebih heran lagi ketika salah seorang staf KBRI di Stockholm menceritakan pengalaman yang sama.

“Saya ingin ke Bali, haruskah saya membuat visa Indonesia?”

Ada dua hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, Tingkat kemasyuran Bali melebihi induknya, Indonesia. Kedua, Bali itu Indonesia. Kalau boleh saya mewakili kata hati mereka. Saya hanya ingin ke Bali kok harus repot-repot visa Indonesia. Tapi haruskah Indonesia itu Bali? Dominasi selalu meremukkan sisi-sisi potensial. Dan dominasi Bali terhadap sektor turisme di Indonesia bisa melumpuhkan daerah-daerah lain.

Aku ingatkan lagi tiga hal yang mereka ingat tentang Indonesia: Bali, muslim terbesar dan hutan tropis. Hal pertama bertolak belakang dengan hal ketiga menurut logika mereka. Bali adalah sesuatu yang beradab, modern, tempat kenyamanan dan kemewahan dengan harga murah. Namun gambaran lain tentang Indonesia yang tidak kalah kuat adalah hutan, minim fasilitas, alami. Hal ini memunculkan pertanyaan yang saya sebut di atas.

Beruntung hubungan induk - anak antara Bali dan Indonesia terbilang akur dan harmonis. Setidaknya tidak ada konflik berdarah seperti yang dirasakan oleh saudara-saudara kita di Aceh dan Papua. Saya bukan seorang politisi. Sama sekali tidak ada ilmu tentang bagaimana membentuk sebuah negara. Saya hanya bersyukur, bahwa BALI adalah ‘anak’ yang berbakti.

Pulau ini kecil namun mandiri. Sektor turisme sangat maju. Bidang kesehatannya cukup sigap mendukung. Pemerintahannya stabil tanpa ada gejolak yang berarti. Orang-orangnya giat bekerja. Bisnis berkembang pesat. SDM sama dengan Jawa secara umum.
Semoga hal di atas tidak memicunya untuk lepas dari ‘pelukan’ Induknya. Semoga ia tetap menjadi ‘anak’ yang berbakti. SEMOGA!

Pembuka hati

Ketika kumerindumu
Jika rasa ingin jumpa denganmu
Padahal jarak dan waktu masih saja membentang
Samudra itu masih setia menghalang

Maka izinkan kulafadzkan Fatihah
Sebagai lantunan pembuka
Permohonan pada Sang Rahman
Sebagai jembatan asa

Tuesday, June 30, 2009

Tiga Cahaya

Nur Shafa melirik pada gadis di sebelahnya. Heran melihatnya tidur bahkan sejak pesawat baru mulai lepas landas dari Bandara Abu Dhabi. Head set masih terbungkus rapi, diselipkan begitu saja di antara buku-buku panduan keamanan. Personal TV yang menyuguhkan berbagai hiburan tak menarik perhatiannya sama sekali.

“Mbak, mbak! Mau makan apa?”

Gadis itu sedikit membuka kelopak matanya. Membuka selimut yang terbentang menutup tubuhnya. Kakinya sekarang bergerak perlahan ke bawah sementara tangannya menyiapkan alas tempat makan dari kursi depannya.

“Saya pilih yang menu ikan, please!” katanya singkat setelah melihat daftar menu.
Tahi lalat besar sekarang terlihat di dagu kanannya. Matanya masih sayu, lelah sekali sepertinya.

“Dari mana mbak?” Tanya Nur.

“Maksudnya asal atau berangkat dari mana?” Gadis itu balik bertanya.

“Dua-duanya”.

“Owh asalku dari Jogja tapi terbang dari Swedia”.

“Kalau di Saudi gajinya berapa?”

Gadis berkerudung hitam itu berhenti mengunyah dan menatap Nur, ”Swedia”.
Menangkap raut kebingungan di wajah Nur, dia berpaling pada Personal TV di depannya. Gambar peta dunia terlihat di sana.

“Swedia itu di sini”, Tunjuknya, ”Eropa Utara”.

Nur masih bingung. Dia masih saja mengira bahwa gadis bertahi lalat itu adalah TKW, Tenaga Kerja Wanita, seperti dirinya. Dia menanyakan berapa lama perjalanan untuk ke Abu Dhabi dari Swedia dan apa yang dilakukannya di sana.

“Saya baru akan bekerja”.

Setelah itu masing-masing sibuk dengan makanan di hadapan mereka. menu utama, buah, puding, biskuit, dan segelas air putih. Pramugari datang lagi mendekat, menawarkan segelas teh, kopi atau coklat hangat. Nur memilih untuk meminum teh sedangkan gadis di sebelahnya minta segelas coklat.

“Namanya siapa mbak?”, Sambil mengajak berjabat tangan.

“Nur Shafa”.

“Saya Nurul”.

Nama depan mereka sama, menggunakan kata dasar Nur yang berarti cahaya dalam Bahasa Arab. Umur merekapun sebaya, Nur 28 tahun sedangkan Nurul 26. Hanya saja nasib mereka berdua berbeda. Nur adalah seorang TKW sedangkan Nurul mahasiswa. Perbedaan ini semula terkesan menghalangi pembicaraan mereka. Namun keduanya saling memiliki ketertarikan terhadap lawan bicaranya.

Di satu sisi, Nur tidak habis mengerti mengapa ada seorang wanita, single, yang jauh-jauh pergi ke Swedia untuk menuntut ilmu. Padahal umurnya 26 tahun. Tak jelas apakah beruntung atau perlu dikasihani. Beruntung karena bisa berjalan-jalan bebas seorang diri sampai ke ujung dunia. Ataukah perlu dikasihani karena masih sendiri dan masih saja bersekolah. Di sisi lain, Nurul juga tidak paham mengenai hidup seorang TKW muda. Apalagi setelah tahu Nur sudah mempunyai anak yang berusia 14 tahun. Ini berarti dia menikah di usia 14 tahun.

“Rasanya gimana mbak, masih sekolah dan sendiri?”

Nurul hanya mengedikkan bahu dan tersenyum sekilas, tak tahu harus mengatakan apa. Tapi akhirnya dia menjelaskan bahwa hidup itu mengalir. Apa yang ada di hadapannya itulah yang harus di hadapi. Tidak perlu repot memikirkan hal- hal yang belum ditakdirkan. Jatahnya sekolah ya sekolah. Harus kerja ya kerja. Kalau memang belum menemukan jodoh ya terima saja status ‘single’. Semua ada waktu dan tempatnya.

* * *
Ryd Centrum. Gadis berkerudung hitam itu membacanya di halte bus tempatnya berhenti. Dia membaca lagi sebuah sms petunjuk di HP Samsungnya.

“Naik bus no 3 dan turun di Ryd centrum,” Bunyi sms itu.

Tangannya sibuk menekan tombol-tombol di Hpnya, berusaha menghubungi seseorang.

“Aku sudah di Ryd Centrum,” Katanya.

Matanya sekarang menatap sekitarnya. Berusaha mengenali area baru di sekitarnya. Daerah ini adalah daerah tempat tinggal mahasiswa di Linköping. Area pertokoan kecil ada di belakang halte bus tempatnya berdiri. Ia berjalan menjauh untuk melihat seberapa besar toko itu. Kemudian berjalan bebalik melewati halte bus. Di sebelah kirinya terdapat sebuah tempat parkir.

Ia memasukkan tangannya ke dalam saku jaket setelah melirik jam tangannya. Pukul 13.00. Angin memang bertiup kencang. Hujan baru saja berhenti sehingga suasana terasa lembab dan menyejukkan. Bulan Juni ini memang terasa aneh. Awal Bulan sempat suhu mencapai di atas 20 celcius. Tapi seminggu ini suhu turun lagi berkisar 10 sampai 18 celcius.

Di dalam halte, seorang gadis kecil terus menatapnya dan tertawa ke arah seorang wanita di sampingnya. Kembali menatapnya. Jaket yang dikenakan gadis berkerudung itu memang sama dengan yang digunakan oleh wanita di halte itu. Bagian lengan berwarna hitam dan merah muda di tengah. Tulisan ‘mount Everest’ terdapat di dada kirinya.
Sepuluh menit kemudian seorang gadis muda mendekatinya dari belakang.

“Salam, my sister!”

“Wa’alaikum salam warahmatullah”, Senyumnya terkembang melihat sosok berkerudung merah menyala di hadapannya. Sesaat mereka berpelukan dan menatap satu sama lain. Saling mengucapkan sanjungan untuk membuka percakapan.

Mereka berjalan beriringan menuju tempat tinggal gadis berkerudung merah. Ia telah memasak khusus untuk tamunya. Saling bertukar kabar waktu yang terlewat dan mengenang saat pertama bertemu. Meski itulah satu-satunya pertemuan mereka di Bulan Oktober 2007. Itu adalah pertemuan mereka sebagai sesama penerima beasiswa Swedish Institute. Setelah itu, komunikasi melalui surel (surat elektronik), sms dan sesekali telepon lebih mendominasi.

Mereka tiba di sebuah ruang berkumpul yang hangat. Melewati meja makan, ia duduk di Sofa yang nyaman menghadap sebuah TV. Dari dapur, kedua tangan temannya kini sibuk mengangkat sebuah panci.

“Nurul, kuharap kau suka makanan berbumbu,” Kata Nurangez Abdulhamidova, 28 tahun.

“Tentu saja tidak masalah. Itu seperti nasi goreng?”

Kemudian Nurangez menjelaskan bahwa itu adalah makanan tradisional Tajikistan. Mereka menikmati makanan itu bersama sambil bergantian bercerita. Bahan pembicaraan apapun terasa menyenangkan. Setelah dua tahun berselang, setelah beberapa kali berusaha bertemu. Mereka akrab bercerita mengenai kuliah mereka, rencana masa depan, mimpi, dan keluarga mereka. Ayah dan ibu Nurangez adalah dokter spesialis penyakit dalam. Ia sendiri mempelajari hubungan kerjasama antara uni eropa dan negara-negara pecahan Uni Soviet.

“Aku berencana bekerja di Tajikistan setelah ini. Mungkin di sebuah lembaga internasional”, Katanya.

Dengan latar belakang keluarga yang berkecukupan, sebenarnya ia tak perlu terburu-buru untuk mencari pekerjaan.

“Wah ide bagus itu. Aku juga tertarik. Tapi saat ini obsesiku adalah menulis. Kurasa aku tidak akan menyesali hidupku jika aku bisa rutin menulis”.

Waktu bergulir terlalu cepat. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk ke IKEA. IKEA adalah manufacturer dan retailer perlengkapan rumah tangga terbesar di dunia. Nurul sangat menyukai untuk mengunjungi IKEA. Kebetulan ada bus gratis yang bisa mengantar mereka ke sana setiap hari Sabtu dan minggu.

Empat jam di Linköping berlalu dengan cepat. Nurul harus segera ke stasiun untuk kembali ke Norrköping. Di sana teman- teman PPI, Perkumpulan Pelajar Indonesia, berkumpul. Ia harus kembali ke sana untuk mengucapkan selamat tinggal kepada teman-temannya dan mengambil tasnya. Sore itu juga ia harus kembali ke Stockholm. Perjalanan panjang lain akan menyambutnya besok pagi. Mulai dari Stockholm ke Frankfurt kemudian Abu Dhabi, Jakarta dan terakhir Yogyakarta.

Tulisan ini hanya sekedar coretan mengenai tiga wanita bernama Nur, cahaya. Sama-sama berada di luar negri untuk kurun waktu tertentu. Sama- sama berusaha mewujudkan cita-citanya meski mempunya cerita dan latar belakang yang berbeda.

Saturday, June 27, 2009

Seven things I miss the most from Sweden

1. Thermometer
This is about one of the most frequent topic of conversation in Sweden. Swedes really like to talk about current or forecast weather. Simple sentence like, “Today is so sunny, isn’t it?” will be enough for you to start a conversation. Besides, you need to check thermometer to start your day. Make sure that you read the number in it before you go to the store or visit your friends, to work or whatever. This is basic survival kit you should be familiar with.

One day, I misread this tool. I was in a rush to catch a lecture in the morning. I was pretty happy to read that the temperature was minus two.”Wuaoo it’s warmer than yesterday,” I said to two of my koridor mates. They were Swedes. I remember how they stared each other after i said that sentence. I wondered what wrong was with my sentence while walking out of the building.

Several steps were enough to answer my hidden question, ”It must be below minus 18”. My nose told me. It was difficult for me to breath. I could feel the hair in my nose became sticky or icy maybe. I needed to cover my nostrils with scarf which i didn’t wear at that time. Fortunately, i wear veil. It helped me to solve this problem. At least i understood why my friends stared each other. It shocked them to hear minus 22 was warmer than minus 24 from an Asian student like me.

2. Banan, Apelsin Choklad, ICA
ICA is Sweden. We can find this supermarket easily throughout this country. From ICA in Ålidhem, i often ate banana (Banan in Swedish) for free. They provide several baskets of these fruit in the entrance. Well prepared food to provide instant energy in the easiest way that we can find.

“Nurul, i need sugar”. When they said sugar, it referred to chocolate. All i can say was i had it in my bag, always. Don’t ever think that i ate chocolate that much. I had it just in case i need to boost my sugar level. But most of the time, it seemed that i was their logistic officer who can provide them chocolate. And they will never complain because the only option that they had was apelsin (orange flavoured) chocolate.

3. UniversitetBibliotek
As a public health student, most of my friends went to medical library. But don’t expect me to be there. I rarely went to this library, not even once in my second year study. I felt more and most comfortable to be in university library, universitetbibliotek. I could be there for hours. I left this place after i heard an announcement from the officer, 15 minutes before they closed, 10 pm. I walked 20 minutes easily just to be there, to be in magazine room, silent room or research room. Browsing the internet, reading magazine, meeting with friends in a cozy cafetaria upstairs. I called this place as ’my beloved place’.



4. IKSU
I never thought before that I took a double degree master program. One was master in public health (Umea International School of Public Health_UISPH) and second was master in IKSU (MI). Hehehe IKSU is a sport centre, the biggest one in north Europe. Surprisingly, it lies in Umeå, a north and small town. I was glad to be there. I was member for two years. One or two times per week i spent my time in this place with one till two hours training each.

I continued practicing yoga routinely. I practiced several new sports e.g body balance (mixture between tai chi, pilates and yoga), pilates, beach volley ball, squash, badminton, etc.

We, me and some UISPH colleagues, played badminton each Sunday or Saturday for two hours in two courts. I had special time with Anne Neuman each Saturday 10 am in Lissabon room for body balance. I played squash for many times with her and Ailiana Santosa also.

5. IKEA
I could spend hours in IKEA without buying anything, gladly. Even though i had only three chances to be there within two years. First, i visited IKEA Stockholm and then Sundvall with Nawi Ng Family. In my last moment in Sweden, i visited IKEA Linköping. A free bus took me and my friend, Nurangez Abdulhaminova, from Ryd Centrum. I really like the concepts that they have, simple but elegant. I wish i can be there again. I brought some catalogues back home.

6. SJ
SJ, Statens Järnvägar, is a train company that is operated in Sweden. My first trip using this train was done on June 2008 from Stockholm to Linköping. It followed by several special memories also. One day i was lost in Stockholm. I should take a train to Akalla instead of Hjulsta. But i was too sleepy to recognize the difference. To make things worse, that train was the last train for that day, around 00.30 am. Fortunately, a very nice train driver took me to Rinkeby. He tried to help me to get night bus with commuter train. I was so impressed, that long and sophisticated train was moved in order to help me. And i stood next to him, in the very front space of the train.

Other story was about my ambitious trip on March 2009. I Travelled to Stockholm, Göteborg, Lund, Copenhagen, Malmo, Uppsala and back to Umeå. It costed only 600SEK in total, the same amount to get one way ticket to Stockholm, sometimes. It was done in the middle of my thesis. I got my supervisor’s permission to do this.
” My advice is to continue your trip”, He said.

In Lund, i changed my mind to skip Uppsala. I booked a ticket, direct from Lund to Umeå. But then i visited my friend in Malmo and i forgot where i was. The departure time that i kept in mind was the time from Lund (It takes 10 minutes only from Lund to Malmo). That was why i was late. It was so closed. I was there to see the train’s doors were closed. I saw the train moved slowly. “Good bye 600SEK”, I said to myself for the price of the ticket that i bought.

I continued my first plan to go to Uppsala. Unfortunately, the train was late for one and half hours to Stockholm. I couldn’t catch the last train to go to Uppsala. But SJ was so nice, they arranged a taxi for me to use. I also got a voucher 99SEK as compensation.

One other miracle was my trip to Linköping. I really wish to see my friend from Tajikistan. We tried several times to meet each other for two years. So June 2009 was my last opportunity to see her. I went to SJ Machine to book return ticket from Norrköping to Linköping. But no seat was available. But i was sure, there must be some empty seats. I asked to the officer. She suggested me to buy tickets on board. Luckily, i met no officer until i arrived. I got a ticket for free for the first time. :d

7. System Bolaget
It doesn’t mean that i am addicted to alcohol. I avoid drinking this liquid. But to be in Sweden is to know about their alcohol regulation. Monopoly system was used to sell alcohol in Sweden. You have to be older than 18 years old to buy a bottle of alcohol. This is a way to control alcohol consumption. One successful story of how public health influence to the whole community. Friday and Saturday evening are two most common days to be drunk.

I remember, i went to System Bolaget in Vasaplan, downtown, with Sasi. We wanted to buy free alcohol wine either red or white. Both of us were blind about wine. It took more than 10 minutes to choose. But one officer kept starring at us from the time we entered until we went to the cashier.

I just can smile at him. In my mind i think he asked to himself,” Am i drunk already to see two moslems wearing veil in system bolaget? Surprisingly being drunk without a single shot of alcohol?” hehehe

Friday, May 29, 2009

Things i hate about you


I hate when you leave the door open
I hate the fact that you don’t have to wake up to start watching movies or typing
I hate when you say, "Leave me alone"
I hate you because you are my first African friend who always correct my english grammar and pronunciation
I hate because you didn’t keep your promise to always make the room tidy
I hate because you always have strong argumentations
Because you left me with empty room. Because we hadn’t finished watching '10 things i hate about you'; ‘passengers’ remained unclear also because our mini-cinema should be closed
I hate because of what we like in common: vanilla ice cream, white chocolate, and cheese
I hate because there will be no chance to be your roommate, not even chance to meet
I hate because i guess i will miss you

Note: adapted from ‘10 things i hate about you’ movie for my beloved voodoo's mother, Agnes Nanyonjo

Thursday, May 28, 2009

Teropong Penyebaran Pendidikan Indonesia (Jawa vs NonJawa)


Membaca lagi daftar calon presiden, capres, pada hari minggu (24 Mei 2009), saya terlintas bahasan penyebaran pendidikan di Indonesia. Tulisan ini hanya sebuah teropong dari masalah ini. Layaknya teropong, ia hanya digunakan untuk melihat objek yang kita minati dari jauh. Bahasan dalam artikel inipun masih terlalu dangkal. Tapi seandainya mungkin, saya ingin mengembangkan menjadi sebuah artikel yang membahas masalah penyebaran pendidikan di Indonesia secara menyeluruh.

Beberapa aktor lama, terutama orde baru, masih muncul di awal pencalonan presiden seperti Akbar Tanjung, Prabowo (menantu mantan presiden Soeharto)(Lihat Table 1). Megawati, putri mantan presiden pertama, juga masih muncul. Dari sisi gender, minimal ada satu sosok wanita tampil di elit politik Indonesia.

Kolom kedua menginformasikan tahun kelahiran dan umur para kandidat. Tahun 40-an mendominasi tahun kelahiran yang berarti usia 50 sampai 60 tahun. Usia termuda adalah Hidayat Nur Wahid (49 tahun). Rata-rata usia capres 2009 kali ini adalah 59.62 tahun.

Selanjutnya, lima dari 13 capres (38.46%) berasal dari luar jawa (kolom ketiga). Beliau adalah Akbar Tanjung, Yusril Ihza Mahendra, Rizal Ramli, Din Syamsudin dan Yusuf Kalla. Kondisi ini menunjukkan keterwakilan saudara- saudara kita di luar jawa. Setidaknya ada ruang untuk saudara kita untuk berpartisipasi aktif. Isu kesetaraan hak menjadi isu utama di sini. Saya yakin bahwa pernyataan saya di atas masih terlalu dangkal. Setidaknya ada proses menuju ke arah yang lebih baik. Proses itu yang saya utamakan.

Kolom keempat adalah bahasan Utama kita. Secara umum para kandidat memiliki latar belakang pendidikan SMU plus. Bahkan mayoritas lulus tingkat doktoral, 61.54%. Kali ini saya tidak berani mengatakan bahwa hal ini mencerminkan kenyataan. Apalagi dengan meningkatnya biaya kuliah. Minimal untuk menempuh pendidikan lanjut menjadi lebih sulit untuk kondisi saat ini. Hal lain yang saya lihat adalah, kecenderungan kaum muda untuk lebih religius tanpa menjadi ekstrimis. Dua capres termuda (Hidayat Nur Wahid dan Din Syamsudin) adalah lulusan universitas berbasis pendidikan agama. Setidaknya universitas ini juga bisa melahirkan pemimpin yang berkualitas untuk menjawab kebutuhan bangsa. Sayangnya, satu-satunya capres wanita kita adalah lulusan SMU (karena tidak lulus pendidikan S1). Apakah ini menunjukkan pendidikan kaum wanita secara umum memang lebih rendah dibanding pria?

Saturday, May 23, 2009

Makhluk Mungil di Sekitarku _’09



“Mbak Nurul ndak boleh pulang hari ini!”, Bunyi catatan yang dibuat Michele Andra padaku. Hari senin sore (18 Mei ’09) itu aku memang berkunjung ke rumahnya. Sebuah ajakan yang wajar dari seorang adek kepada kakaknya. Sayang harus kutolak karena sesuatu hal. Michele lebih mudah mengerti dibandingkan adiknya, Crysella. Dia bahkan menambahi, ”Harus tinggal di sini 10 hari!”. Tentu saja itu tidak mungkin karena empat hari kemudian mereka sekeluarga harus pergi ke Stockholm kemudian ke Indonesia.
Begitulah hari-hariku. Menjadi bibi dan kakak bagi banyak makhluk mungil. Aku selalu kagum pada semangat muda mereka. Berusaha untuk belajar dari kesederhanaan dunia polos mereka. Tulisan ini kubuat sebagai ucapan terima kasih dari seorang kakak dan bibi (tante) kepada adek/ keponakannya. Cerita berikut berdasar gambar di atas dimulai di pojok kiri atas searah jarum jam.

Tiga pahlawanku (Auf, Ayas, Abit) ini adalah putra dari mas Abram Perdana dan Mbak Asri Kirana (Goteburg). Akhir maret 2009 aku menginap dua hari dua malam di kediaman beliau. Meski belum pernah bertemu sebelumnya kami langsung akrab. Permainan yang digemari adalah tebak-tebakan.
“Paus apa yang pinter mengaji?” Tanya Auf.
Aku dan Ayas tidak bisa menjawab. Kemudian dengan bangga Auf berkata,” Pa Ustadz, seperti Abi”. ;)
Atau ketika Abit mendakwaku untuk membacakan buku ‘Mama Muu’ (Mama Sapi) sambil tiduran di pangkuanku. Beberapa kali Abit memprotesku karena pengucapanku salah. Serasa ujian oral Bahasa Swedia. Hahaha.

Foto kedua adalah foto putri dari Pak Nawi Ng dan Mbak Ailiana Santosa. Michele dan Crysella namanya. Melanjutkan cerita di paragraf pertama. Aku berhasil mendapat ijin dari Crysella untuk pulang. Turun dari lantai tiga apartemen mereka menggunakan lift. Ternyata si bungsu menyusulku turun ke lantai dasar menggunakan tangga.
“Mbak Nurul, aku lupa bilang kalau Mba Nurul harus janji untuk nginap hari ini ya!”
Aku tidak bisa menjawab, cuma bisa menatap wajah polosnya dan minta bantuan ibunya untuk menjelaskan.
“Mbak Nurul mau nginep asal boleh peluk dan dicium,” Kusodorkan pipiku.
Aku tahu dia selalu menolakku jika kuminta dia menciumku dan sekedar untuk menggodanya.

Foto Ketiga adalah gambar keponakanku (Zuhdi, Furqan, Faqih). Putra dari Eka Firmansyah dan Indriana Hidayah. Aku belum ada kenangan dengan dua kemenakan kembar yg kusebut terakhir. InsyaAllah 2010 baru bisa bertemu langsung setelah ayahnya selesai sekolah. Zuhdi, Izu panggilannya, selalu mengajakku main perang-perangan.
“Ayo, Bi Lung! Ciat! Ciatt!”, Membabi buta dia menyerangku tapi dengan mata tertutup. hehehe.
Obatku ketika resah atau sedih adalah memeluknya. Kubuat dia diam tak berkutik dan bingung. Tapi dia sangat baik sehingga membiarkan aku meneruskan sampai aku puas. Cukup membuat bapaknya cemburu, sehingga sering meniruku,”Cium dulu donk, Bapak!”.
Sering kali pertanyaan-pertanyaan polosnya membuatku tersenyum simpul.
“Bi Lung kan di Swedia kok bisa Bahasa Indonesia, ya Bu?”

Bayi mungil di gambar terakhir adalah Zara Nur Akila, putri dari Mohammad Zalmy dan Rosmawati. Pasangan muda ini pergi jauh ke Umea dari Malaysia untuk belajar. Ros adalah mahasiswa S3 di Umea. Zalmy berbesar hati mengikuti istrinya setelah lulus S1. Ketika Ros kuliah Zalmylah yang mengasuh Akila.
Bersama mereka, aku belajar menjadi orang tua. Mengganti popok, menggendong, mengantar ke klinik. Ikut berdiskusi ketika ada perawat Vardcentral, Puskesmas, berkunjung ke rumah. Terima kasih untuk kesempatannya.
Setiap melihat Akila, aku selalu yakin bahwa rejeki datang pada waktunya. Tidak pernah diperlambat ataupun dipercepat. Sebelumnya, banyak hal yang kupertanyakan dari mereka. Diskusi kita seputar pernikahan dan kehamilan yang terkesan tanpa perencanaan. Dan mereka begitu yakin dengan keputusan yang diambil, ikhlas dengan apapun rencana Allah. Aku bangga mengenal keluarga muda ini.

Ini hanyalah beberapa penggalan cerita bersama makhluk mungil di sekitarku. Mereka yang selalu menginspirasi langkahku. Aku hanya bisa berharap yang terbaik untuk mereka semua. Semoga bisa meraih apapun cita-cita mereka, menjadi anak yang sholeh/ sholehah dan berbakti pada orang tua. Amien. (kok kesannya tua banget ya...huhuhu)