Tuesday, September 08, 2009

Berdamai dengan ‘Tuhan Sembilan cm’ [1]

Buka bersama hari minggu kemarin, 6 September 2009, dilakukan di Sogan Village. Sebuah Resto eksklusif di Jl. Palagan Tentara km 10, Yogyakarta. Dua rumah Joglo berumur lebih dari satu abad menimbulkan suasana klasik. Perasaan damai dan bugar setelah Yoga bersama membuat percakapan mengalir dengan lancar.
Duduk di ujung sebuah meja kayu panjang, sekitar sepuluh orang, kami mulai saling bersapa.
“Kayaknya pernah yoga bareng dua tahun yang lalu ya, Pak?”
“Iya, emang pernah kok,” Kata pak Yadi.
Mataku menatap sosok berpakaian hitam di depanku. Badannya tegap atletis, maklum beliau juga rajin berlatih Aikido (Atau semacam itulah).
Seseorang yang sangat sporty dan perhatian dengan kesehatannya, sangkaku.
“Allahu Akbar..Allahu Akbar”, Adzan berkumandang.
Segera kami membatalkan puasa. Air putih, Teh, kopi dan kolak dihidangkan di meja sebelah kanan. Menu utama tersedia di sebelah kiri. Kembali bercengkrama sambil menyantap makanan di hadapan kami.
“Ada lo yang tak bisa berhenti mengisap rokok setelah buka,” Kataku sambil lalu.
“Seperti kereta api. . saya tidak bisa mengerti bagaimana mungkin mereka bisa menahan selama sehari penuh”.
“Saya dulu juga merokok,” Timpal Pak Yadi.
“Ya?”, Tersirat permintaan penjelasan lebih lanjut dalam nada suara yang terdengar.
“Iya tapi bisa berhenti dalam waktu satu bulan”.
Ini mulai menarik. Saya mulai berusaha membuktikan hipotesis yang tersusun. Rasa penasaran mendominasi.
“Berapa lama bapak merokok sebelumnya? Berapa batang sehari?”
“Saya merokok delapan tahun. Sehari bisa habis dua bungkus”.
Saya berdecak kagum dalam hati. Waktu yang tidak singkat dengan kuantitas lumayan banyak bisa dihentikan dalam satu bulan?
“Bagaimana bapak melakukan itu? Bapak menggantinya dengan permen?”
“Wah memang sulit sekali. Tiap kali ada keinginan untuk merokok saya meditasi dan baca buku”.
Buku yang dimaksud beliau adalah buku-buku mengenai bahaya merokok, meditasi dan topik- topik serupa untuk memotivasi agar tetap meninggalkan rokok. Self healing, self therapy,self suggestion. Beberapa istilah yang merujuk pada makna yang serupa. Memotivasi dan menyembuhkan diri atau perilaku yang kurang sehat dengan usaha sendiri. Tapi ada sesuatu yang kurang dari cerita pak Yadi ini. Ibarat orang yang sedang bermain puzzle ada satu keping yang hilang.
“Bagaimana bapak begitu bersemangat berhenti merokok? Bukankah itu enak?”
“Saya sesak napas sebelumnya. Itu titik awal saya berusaha berhenti merokok”.
Damn!! Njelehi! Saya mengutuk dalam hati. Bukan karena jawaban beliau tapi karena sikapku sendiri. Inilah alasan kenapa saya selalu terkesan skeptis dengan metode kualitatif. Julukan saya dalam kursus narrative journalism adalah miss kuantitatif.
Anda Tahu kesalahan saya? Bapak Yadi telah secara tidak sadar saya giring untuk membuktikan kebenaran teori health belief model. Inti dari teori ini adalah seseorang akan mengubah gaya hidupnya menjadi lebih sehat ketika ybs merasa ada keuntungan yg bisa didapat dan atau kerugian yang dicegah.
Mind set saya ini adalah inti dari perubahan perilaku seseorang. Tidak mungkin seseorang rela berubah tanpa memperoleh ‘keuntungan pribadi’. Dan ini tidak dibenarkan dalam metode kualitatif. Salah satu sisi positif dari metode kualitatif adalah eksplorasi. Eksplorasi tidak akan berhasil jika penanya menggiring respondennya untuk menjawab sesuai dengan yang dipikirkannya.
Ini berarti sebanyak apapun responden yang saya rekrut akan menghasilkan jawaban yang sama. Saturasi adalah poin penting dalam kualitatif. Ketika saturasi terpenuhi maka kita tidak akan mendapatkan jawaban baru dan menghentikan penelitian menjadi dibolehkan. Titik saturasi antara saya dan mas Andreas mungkin akan sangat berbeda. Dengan kata lain, tindakan saya akan menghasilkan false result.
Kesalahan saya bisa saja berulang. Dan karena itulah saya meragukan metode kualitatif. Seandainya orang- orang yang bergelut dalam penelitian kualitatif sehandal mas Andreas Harsono, saya tidak berani berkomentar banyak. Bagaimana mungkin saya mempertanyakan hasil wawancara seorang Prof. Arief Budiman. Dan apa saya layak meragukan tulisan hasil reportasi Mas Nugie, Mas Buset, mba Dian atau Danu?
Ironi memang. Ketidakpercayaan saya didasarkan pada ketidakpercayaan pada diri sendiri. Setidaknya saya sudah menemukan kesalahan saya dan berusaha memperbaikinya.Saya pikir jawabnya adalah BERLATIH!! T.E.R.U.S. B.E.R.L.A.T.I.H!!!

No comments: