Sunday, June 23, 2013

Jodoh itu..

Perjalanan terakhir saya ke Jayapura menyimpan banyak kisah keberuntungan. It happens sometimes and in my case often during my travel. Satu hal yang sangat saya sukai dari melakukan perjalanan (apalagi sendiri) adalah kita dituntut untuk percaya pada orang-orang asing yang ada di sekitar kita dan mengikuti aturan-aturan baru yang ada di tempat tersebut karena kitalah orang asing itu (bagi penduduk setempat). Kali ini saya harus tunduk dengan aturan-aturan yang ada di Jayapura. berpikir positif, komunikasi yang baik, dan menghormati aturan setempat yang berlaku membawa saya ke beberapa keberuntungan yang akans aya ceritakan.

Cerita pertama
Keberuntungan yang pertama terkait dengan dompet saya. Dompet saya ini dompet lama yang saya dapatkan lebih dari lima tahun yang lalu di Aceh. Tempat itu sangat berkesan bagi saya hingga saya selalu berusaha untuk menyimpan benda-benda terkait. Ok, kembali ke kisah keberuntungan. Waktu itu saya masuk ke sebuah supermarket dengan mengambil salah satu keranjang belanja dan meletakkan dompet tersebut ke dalamnya. Lalu saya mencari bagian kopi karena beberapa teman minta untuk dibelikan kopi Papua. Merasa tidak ada kopi yang saya cari, dengan semena-mena saya meletakkan keranjang belanja itu begitu saja.

Saya kemudian berkeliling dengan teman saya. Sekedar melihat-lihat. Setelah lebih dari sepuluh menit dan sambil menunggu teman mengantri di kasir, baru saya sadar bahwa tangan saya kosong.

“Seharusnya saya membawa sesuatu”, Kata saya dalam hati,”DOMPETT!”

Monday, June 03, 2013

Ke Jawa

Ada dua pernyataan yang ingin kita sepakati bersama yaitu:

Kata Jawa berarti merujuk pada budaya, ras, bahasa, atau nama pulau.
Pertanyaan kemana selalu dimaksudkan untuk mencari tahu letak atau posisi secara geografis.

Dalam hal ini hanya nama pulau yang bisa diartikan sebagai penunjukan letak geografis. Dengan kata lain jika posisi saya di Jakarta dan ada seseorang di sana yang bertanya kepada saya:

"Mau ke mana, mba?"

Maka respon yang paling baik adalah dengan mengatakan nama kota atau hal lain yang menunjukkan posisi geografis seperti Yogyakarta, dekat Malioboro atau hal-hal sejenis.

Tidak jarang, Anda akan mendapatkan respon balik seperti "Owh mau ke Jawa ya, mba?"

hmmmm??

Saya tidak akan pusing dengan pertanyaan ini ketika saya di NTT atau Sumatra atau Pulau lain selain Jawa mungkin masuk akal. Sebaliknya saya masih akan terus pusing dengan pertanyaan terakhir bahkan setelah puluhan tahun mendengar pertanyaan itu dari saudara-saudara saya di Jakarta maupun Jawa Barat. Saya tidak pernah bosan mendebat bahwa, Jakarta atau Bandung itu di Jawa juga.
Halo!! kita masih satu pulau kan saudara-saudara.

Tapi begitulah. itulah salah satu topik kami ketika berkumpul dalam rangka perayaan waisak kemarin. teman-teman saya dari Jakarta terpaksa mendengarkan wejangan dari kami orang Jogja yang merasa tidak nyaman dengan kata 'Jawa' yang dimaksud oleh orang Sunda.

Diskusi kami bahkan melebar sampai pada dendam turun temurun orang Sunda yang sudah mendarah daging sejak Perang Bubat di jaman Majapahit, dengan Gadjah Mada sebagai majapahit. Kenyataan bahwa di Bandung tidak ada nama jalan dengan menggunakan nama Gadjah Mada. dan bahwa orang Jawa berdosa karena telah membunuh atau membuat putri tercantik mereka meninggal dalam perjalanannya menuju pelaminan di JAWA!

Tetap saja saya tidak nyaman mendengar kata 'ke Jawa' ketika dikaitkan dengan pertanyaan "Ke mana" padahal posisi saya masih di Pulau Jawa juga. Sekedar mempermudah otak saya berpikir mungkin lebih baik kita gunakan nama kota ketika menjawab pertanyaan "Mau kemana mba?" Setidaknya dua pernyataan saya di atas sesuai dengan ajaran guru-guru saya yang mulia ketika saya bersekolah. :)

Blessing in Disguised

Pernahkah Anda dalam situasi yang mengharuskan Anda ‘berubah’ dari rencana besar dalam hidup Anda. Sering kali hidup tidak berjalan seperti yang diharapkan. Kita tidak pernah benar-benar tahu akan berakhir sebagai apa. Seorang bintang kelas berakhir menjadi pegawai di desa tetap dengan dedikasinya. Seorang yang pendiam, kuper, ranking biasa-biasa saja menjadi seorang terkenal dengan tanggung jawab yang besar.

We never know how life wants to treat us.

Saya ingat kisah dramatis mengenai perubahan hidup seseorang sebuah dalam film Jepang. Film ini berjudul ‘Final Destination’ mengisahkan seorang laki-laki dengan kehidupan dan penghidupan yang layak sebagai pemain orchestra di Tokyo. Ia harus kembali ke kampung halamannya setelah orang tuanya meninggal dan mencari pekerjaan baru. Kebahagiaan akan mempunyai seorang anak dan beban tanggung jawab mencari nafkah memaksanya untuk segera mendapatkan pekerjaan.

Suatu hari ia melihat lowongan pekerjaan di koran berjudul ‘Final Destination’.

“Pasti ini agen perjalanan”, Katanya dalam hati.

Maka iapun mendaftar dan ketika dipanggil untuk wawancara ia sangat terkejut karena pekerjaan itu adalah pekerjaan sebagai perias jenazah. Respon pertamanya adalah menolaknya. Namun pemilik usaha berhasil membujuknya dengan jumlah bayaran yang cukup dan beberapa pernyataan sederhana.

“Ini adalah takdir. Tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Mungkin kamu masih ragu saat ini. Tidak apa-apa. Cobalah dulu. Jika setelah masa percobaan kamu benar-benar tidak suka pekerjaan ini kamu boleh tidak meneruskan”.