Tuesday, June 30, 2009

Tiga Cahaya

Nur Shafa melirik pada gadis di sebelahnya. Heran melihatnya tidur bahkan sejak pesawat baru mulai lepas landas dari Bandara Abu Dhabi. Head set masih terbungkus rapi, diselipkan begitu saja di antara buku-buku panduan keamanan. Personal TV yang menyuguhkan berbagai hiburan tak menarik perhatiannya sama sekali.

“Mbak, mbak! Mau makan apa?”

Gadis itu sedikit membuka kelopak matanya. Membuka selimut yang terbentang menutup tubuhnya. Kakinya sekarang bergerak perlahan ke bawah sementara tangannya menyiapkan alas tempat makan dari kursi depannya.

“Saya pilih yang menu ikan, please!” katanya singkat setelah melihat daftar menu.
Tahi lalat besar sekarang terlihat di dagu kanannya. Matanya masih sayu, lelah sekali sepertinya.

“Dari mana mbak?” Tanya Nur.

“Maksudnya asal atau berangkat dari mana?” Gadis itu balik bertanya.

“Dua-duanya”.

“Owh asalku dari Jogja tapi terbang dari Swedia”.

“Kalau di Saudi gajinya berapa?”

Gadis berkerudung hitam itu berhenti mengunyah dan menatap Nur, ”Swedia”.
Menangkap raut kebingungan di wajah Nur, dia berpaling pada Personal TV di depannya. Gambar peta dunia terlihat di sana.

“Swedia itu di sini”, Tunjuknya, ”Eropa Utara”.

Nur masih bingung. Dia masih saja mengira bahwa gadis bertahi lalat itu adalah TKW, Tenaga Kerja Wanita, seperti dirinya. Dia menanyakan berapa lama perjalanan untuk ke Abu Dhabi dari Swedia dan apa yang dilakukannya di sana.

“Saya baru akan bekerja”.

Setelah itu masing-masing sibuk dengan makanan di hadapan mereka. menu utama, buah, puding, biskuit, dan segelas air putih. Pramugari datang lagi mendekat, menawarkan segelas teh, kopi atau coklat hangat. Nur memilih untuk meminum teh sedangkan gadis di sebelahnya minta segelas coklat.

“Namanya siapa mbak?”, Sambil mengajak berjabat tangan.

“Nur Shafa”.

“Saya Nurul”.

Nama depan mereka sama, menggunakan kata dasar Nur yang berarti cahaya dalam Bahasa Arab. Umur merekapun sebaya, Nur 28 tahun sedangkan Nurul 26. Hanya saja nasib mereka berdua berbeda. Nur adalah seorang TKW sedangkan Nurul mahasiswa. Perbedaan ini semula terkesan menghalangi pembicaraan mereka. Namun keduanya saling memiliki ketertarikan terhadap lawan bicaranya.

Di satu sisi, Nur tidak habis mengerti mengapa ada seorang wanita, single, yang jauh-jauh pergi ke Swedia untuk menuntut ilmu. Padahal umurnya 26 tahun. Tak jelas apakah beruntung atau perlu dikasihani. Beruntung karena bisa berjalan-jalan bebas seorang diri sampai ke ujung dunia. Ataukah perlu dikasihani karena masih sendiri dan masih saja bersekolah. Di sisi lain, Nurul juga tidak paham mengenai hidup seorang TKW muda. Apalagi setelah tahu Nur sudah mempunyai anak yang berusia 14 tahun. Ini berarti dia menikah di usia 14 tahun.

“Rasanya gimana mbak, masih sekolah dan sendiri?”

Nurul hanya mengedikkan bahu dan tersenyum sekilas, tak tahu harus mengatakan apa. Tapi akhirnya dia menjelaskan bahwa hidup itu mengalir. Apa yang ada di hadapannya itulah yang harus di hadapi. Tidak perlu repot memikirkan hal- hal yang belum ditakdirkan. Jatahnya sekolah ya sekolah. Harus kerja ya kerja. Kalau memang belum menemukan jodoh ya terima saja status ‘single’. Semua ada waktu dan tempatnya.

* * *
Ryd Centrum. Gadis berkerudung hitam itu membacanya di halte bus tempatnya berhenti. Dia membaca lagi sebuah sms petunjuk di HP Samsungnya.

“Naik bus no 3 dan turun di Ryd centrum,” Bunyi sms itu.

Tangannya sibuk menekan tombol-tombol di Hpnya, berusaha menghubungi seseorang.

“Aku sudah di Ryd Centrum,” Katanya.

Matanya sekarang menatap sekitarnya. Berusaha mengenali area baru di sekitarnya. Daerah ini adalah daerah tempat tinggal mahasiswa di Linköping. Area pertokoan kecil ada di belakang halte bus tempatnya berdiri. Ia berjalan menjauh untuk melihat seberapa besar toko itu. Kemudian berjalan bebalik melewati halte bus. Di sebelah kirinya terdapat sebuah tempat parkir.

Ia memasukkan tangannya ke dalam saku jaket setelah melirik jam tangannya. Pukul 13.00. Angin memang bertiup kencang. Hujan baru saja berhenti sehingga suasana terasa lembab dan menyejukkan. Bulan Juni ini memang terasa aneh. Awal Bulan sempat suhu mencapai di atas 20 celcius. Tapi seminggu ini suhu turun lagi berkisar 10 sampai 18 celcius.

Di dalam halte, seorang gadis kecil terus menatapnya dan tertawa ke arah seorang wanita di sampingnya. Kembali menatapnya. Jaket yang dikenakan gadis berkerudung itu memang sama dengan yang digunakan oleh wanita di halte itu. Bagian lengan berwarna hitam dan merah muda di tengah. Tulisan ‘mount Everest’ terdapat di dada kirinya.
Sepuluh menit kemudian seorang gadis muda mendekatinya dari belakang.

“Salam, my sister!”

“Wa’alaikum salam warahmatullah”, Senyumnya terkembang melihat sosok berkerudung merah menyala di hadapannya. Sesaat mereka berpelukan dan menatap satu sama lain. Saling mengucapkan sanjungan untuk membuka percakapan.

Mereka berjalan beriringan menuju tempat tinggal gadis berkerudung merah. Ia telah memasak khusus untuk tamunya. Saling bertukar kabar waktu yang terlewat dan mengenang saat pertama bertemu. Meski itulah satu-satunya pertemuan mereka di Bulan Oktober 2007. Itu adalah pertemuan mereka sebagai sesama penerima beasiswa Swedish Institute. Setelah itu, komunikasi melalui surel (surat elektronik), sms dan sesekali telepon lebih mendominasi.

Mereka tiba di sebuah ruang berkumpul yang hangat. Melewati meja makan, ia duduk di Sofa yang nyaman menghadap sebuah TV. Dari dapur, kedua tangan temannya kini sibuk mengangkat sebuah panci.

“Nurul, kuharap kau suka makanan berbumbu,” Kata Nurangez Abdulhamidova, 28 tahun.

“Tentu saja tidak masalah. Itu seperti nasi goreng?”

Kemudian Nurangez menjelaskan bahwa itu adalah makanan tradisional Tajikistan. Mereka menikmati makanan itu bersama sambil bergantian bercerita. Bahan pembicaraan apapun terasa menyenangkan. Setelah dua tahun berselang, setelah beberapa kali berusaha bertemu. Mereka akrab bercerita mengenai kuliah mereka, rencana masa depan, mimpi, dan keluarga mereka. Ayah dan ibu Nurangez adalah dokter spesialis penyakit dalam. Ia sendiri mempelajari hubungan kerjasama antara uni eropa dan negara-negara pecahan Uni Soviet.

“Aku berencana bekerja di Tajikistan setelah ini. Mungkin di sebuah lembaga internasional”, Katanya.

Dengan latar belakang keluarga yang berkecukupan, sebenarnya ia tak perlu terburu-buru untuk mencari pekerjaan.

“Wah ide bagus itu. Aku juga tertarik. Tapi saat ini obsesiku adalah menulis. Kurasa aku tidak akan menyesali hidupku jika aku bisa rutin menulis”.

Waktu bergulir terlalu cepat. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk ke IKEA. IKEA adalah manufacturer dan retailer perlengkapan rumah tangga terbesar di dunia. Nurul sangat menyukai untuk mengunjungi IKEA. Kebetulan ada bus gratis yang bisa mengantar mereka ke sana setiap hari Sabtu dan minggu.

Empat jam di Linköping berlalu dengan cepat. Nurul harus segera ke stasiun untuk kembali ke Norrköping. Di sana teman- teman PPI, Perkumpulan Pelajar Indonesia, berkumpul. Ia harus kembali ke sana untuk mengucapkan selamat tinggal kepada teman-temannya dan mengambil tasnya. Sore itu juga ia harus kembali ke Stockholm. Perjalanan panjang lain akan menyambutnya besok pagi. Mulai dari Stockholm ke Frankfurt kemudian Abu Dhabi, Jakarta dan terakhir Yogyakarta.

Tulisan ini hanya sekedar coretan mengenai tiga wanita bernama Nur, cahaya. Sama-sama berada di luar negri untuk kurun waktu tertentu. Sama- sama berusaha mewujudkan cita-citanya meski mempunya cerita dan latar belakang yang berbeda.

2 comments:

Anonymous said...

Nurul... bestnya aku baca... tulis lagi.. aku pun nak aktifkan baik blog aku lah.. jeles tgk ur writing style..Jana

Nuri said...

makasih kak Jana. iya semangat nulis kak!! jangan lupa dihubkan dg FB jd byk yg baca. hehehe ;)