Monday, June 03, 2013

Blessing in Disguised

Pernahkah Anda dalam situasi yang mengharuskan Anda ‘berubah’ dari rencana besar dalam hidup Anda. Sering kali hidup tidak berjalan seperti yang diharapkan. Kita tidak pernah benar-benar tahu akan berakhir sebagai apa. Seorang bintang kelas berakhir menjadi pegawai di desa tetap dengan dedikasinya. Seorang yang pendiam, kuper, ranking biasa-biasa saja menjadi seorang terkenal dengan tanggung jawab yang besar.

We never know how life wants to treat us.

Saya ingat kisah dramatis mengenai perubahan hidup seseorang sebuah dalam film Jepang. Film ini berjudul ‘Final Destination’ mengisahkan seorang laki-laki dengan kehidupan dan penghidupan yang layak sebagai pemain orchestra di Tokyo. Ia harus kembali ke kampung halamannya setelah orang tuanya meninggal dan mencari pekerjaan baru. Kebahagiaan akan mempunyai seorang anak dan beban tanggung jawab mencari nafkah memaksanya untuk segera mendapatkan pekerjaan.

Suatu hari ia melihat lowongan pekerjaan di koran berjudul ‘Final Destination’.

“Pasti ini agen perjalanan”, Katanya dalam hati.

Maka iapun mendaftar dan ketika dipanggil untuk wawancara ia sangat terkejut karena pekerjaan itu adalah pekerjaan sebagai perias jenazah. Respon pertamanya adalah menolaknya. Namun pemilik usaha berhasil membujuknya dengan jumlah bayaran yang cukup dan beberapa pernyataan sederhana.

“Ini adalah takdir. Tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Mungkin kamu masih ragu saat ini. Tidak apa-apa. Cobalah dulu. Jika setelah masa percobaan kamu benar-benar tidak suka pekerjaan ini kamu boleh tidak meneruskan”.


Butuh waktu lama bagi pemuda ini meyakinkan dirinya soal pilihan pekerjaan. Lebih lama lagi waktu yang dibutuhkan untuk meyakinkan istrinya. Pemain musik di orchestra tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan perias jenazah. Tapi semakin hari ia semakin mencintai pekerjaan barunya dan malah terlihat sangat berdedikasi. Istrinya, dengan penuh kesadaran setelah menyaksikan penghayatan peran tugas suaminya, mengijinkan dan mendukung pilihan suaminya.

Ok, Kita tidak akan membicarakan soal pemain musik dan juga perias jenazah. Bagaimana pemuda tadi beradaptasi dan membuat perubahan dalam hidupnya, itu yang menarik perhatian saya. Status quo. Istilah ini sering dikonotasikan sebagai hal yang tidak dinamis, melawan kehendak rakyat banyak, dan sederet konotasi negatif lainnya.

Pertanyaan saya adalah benarkah kita pro perubahan dan anti status quo. Perubahan selalu membawa kita pada dua kemungkinan yaitu perubahan positif atau negatif. Menjadi lebih baik atau sebaliknya. Hal utama yang harus kita waspadai dari perubahan adalah dia selalu menuntut ‘pengorbanan’ dan sedikit kepayahan juga usaha yang lebih terutama di masa-masa transisi. Keparahan dari masa transisi ini juga dipengaruhi beberapa hal termasuk kesiapan kita, dukungan dari orang sekitarnya, seberapa banyak informasi dan pengetahuan kita miliki untuk masalah tersebut, dan gambaran jauh ke depan mengenai kondisi yang kita harapkan.

Seorang penderita penyakit jantung yang obesitas akan mengalami stres yang lebih besar ketika dipaksa untuk merubah pola makannya. Ia sebagai pribadi tidak siap untuk perubahan itu. Seorang perokok sering kali merasa harus mengorbankan gaya hidupnya ketika divonis menderita penyakit paru-paru. Seorang pegawai akan merasa tidak dihargai ketika dipaksa pindah pekerjaan dengan cara PHK.

Perubahan apapun itu akan terasa sangat sulit dan menyakitkan minimal untuk dua alasan yaitu alasan eksternal dan ketergesa-gesaan. Tubuh dan jiwa kita dikonstruksikan untuk selalu berusaha menjaga keseimbangan. Status quo dalam hal ini adalah kondisi ‘seimbang’ yang mengijinkan kita untuk mengetahui secara pasti bagaimana harus bersikap dan melakukan sesuatu dengan nyaman bahkan otomatis.

Seseorang dengan hobi makan tanpa pertimbangan-pertimbangan tertentu akan dengan gampang makan apa yang dihidangkan dihadapannya. Wajar, jika beliau menjadi bingung, merasa dibatasi, terbebani dengan anjuran pembatasan diet dan anjuran menurunkan berat badan karena penyakit yang dideritanya. Ia akan jauh lebih mudah untuk berubah ketika ia secara sadar dan bertahap merencanakan perubahan pada dirinya sebelum penyakit itu muncul.

Tapi mari kita belajar dari falsafah Jawa, “Untung...”

Berbicaralah pada orang Jawa mengenai kemalangan yang menimpa siapapun. Salah satu respon yang mungkin muncul adalah, ” Untung..”.

Contohnya ketika Anda bercerita bagaimana Anda baru saja mengalami kecelakaan dan sepeda motor Anda rusak. Maka Orang Jawa itu akan berkata, ”Wah..untung Cuma sepeda motornya yang rusak. Alhamdulillah masih sehat y”. Atau bahkan ketika Anda mengatakan Anda harus ke rumah sakit karena retak pada tangan Anda. “ Untung yang retak sebelah kiri bukan kanan y”. Atau ketika Anda dipecat, ”Untung masih dikasih uang pesangon”.

Secara psikologis komentar ‘untung’ ini meringakan beban siapapun yang sedang dipaksa untuk mengalami perubahan tanpa harus dimaknai sebagai usaha meminimalisir kesedihan yang dirasakan. Kata-kata untung ini juga membuat yang bersangkutan menjadi merasa memiliki dukungan dari orang-orang di sekitarnya bahkan memberdayakan. Dia tidak perlu merasa sebagai korban. Sebaliknya justru melihat keadaan baru tersebut sebagi momentum untuk berubah dan berusaha dengan cara yang berbeda.

Sering kali kondisi-kondisi yang kita anggap tidak menguntungkan dan memaksa kita untuk berubah itu justru memberi kesempatan pada diri kita untuk menjadi lebih baik, sekedar untuk beristirahat, atau membuka peluang kerja dengan perspektif yang sama sekali berbeda dari sebelumnya. Namun tetap saja perubahan selalu terasa berat.

Salah satu hal yang dengan sadar saya syukuri adalah ‘pemaksaan’ yang membuat saya sedikit menjauh dari dunia akademik. Lama sekali saya beradaptasi dengan kenyataan ini. Bagaimanapun saya sudah sangat menjiwai dan memiliki perencanaan di dunia akademik sejak langkah pertama saya memasuki universitas sebagai mahasiswa. Agak lebay memang tapi cukup untuk menyengatkan perubahan dan adaptasi yang harus saya lalui.

Protes-protes kecil saya soal bagaimana dunia akademik sering kali tergagap-gagap dalam merespon kondisi masyarakat lama kelamaan semakin besar. Rasa bersalah saya karena hanya mengkaji dan mengkaji untuk kepentingan akademis saya sudah tidak terbendung. Belum lagi senioritas yang mengharuskan saya menahan semangat muda saya pada bukan hanya senior tapi aturan dan birokrasi. Tetap saya meneruskan langkah di dunia akademik. Sampai suatu ketika saya dipaksa membuat keputusan untuk merubah rencana ke depan. Saya hanya yakin perubahan saya bukan karena sakit hati pada seseorang, itu hanya menunjukkan saya korban dan tidak bisa mengambil keputusan secara independen. Dan saya tidak suka hal yang demikian terjadi.

Masih menyukai untuk mencari tahu bagaimana orang-orang belajar, bagaimana merespon terhadap suatu masalah, apa yang membuat sesuatu itu terjadi tetapi di tempat yang sama sekali tidak terbayang sebelumnya. LSM. Saya bersyukur karena saya orang yang keras kepala. Saya bisa terus mengkaji dan menelaah bahkan dengan memberikan berkontribusi kepada masalah-masalah di masyarakat secara langsung tanpa bertele-tele dan bebas berkreasi.

Hari ini rapat lembaga seperti biasa. Salah satu hal yang saya sukuri dengan bekerja di LSM adalah bahkan rapat-rapatnya pun sangat menyenangkan. Media yang digunakan bukan hanya komputer, LCD saja tapi kertas warna warni dengan gambar-gambar lucu. Metode yang tidak mungkin akan berani saya gunakan ketika saya tetap di dunia akademik. Kami bahkan bermain peran dengan berpura-pura sedang mencuci pakaian dan menjemurnya. Pakaian yang dijemur itu dibuat dari kertas dan bertuliskan laporan sederhana dari apa yang telah kami kerjakan. Semua orang mendapat kesempatan yang sama untuk bukan hanya bicara tapi berkreasi dan berekspresi.

Penelitian –penelitian yang saya gunakan lebih merupakan people research atau action research. Jenis penelitian ini berusaha untuk memberdayakan dan melibatkan masyarakat secara langsung untuk kepentingan mereka. Penelitian yang bukan hanya dilakukan untuk kepentingan pribadi peneliti-penelitinya. Dan prinsip ini yang lebih saya sukai dibanding institusi mana tempat saya bekerja.

“Untung saya bekerja di LSM”, Jiwa jawa saya menjawab. 

Mungkin suatu saat saya akan kembali ke dunia akademik. Namun biarkan hari ini berlalu sebagaimana hari ini berlalu. Esok biarlah penuh kejutan yang akan membuat hidup kita menjadi lebih beragam. 

No comments: