Saturday, December 05, 2009

Pecinta Wanita ala Swedia: A Milkman Story

Hari ini, 5 Desember 2009, masih bagian dari peringatan 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan. Kegiatan ini akan berakhir hari kamis, 10 Desember 2009. Tujuan dari peringatan ini adalah untuk memerangi kekerasan yang jamak terjadi di masyarakat namun kurang diperhatikan seperti diskriminasi dan perbedaan gaji antara pria dan wanita.

Rifka Annisa, salah satu pelopor organisasi pembela hak-hak wanita di Indonesia, mengadakan aksi damai. (Sori, daku absen untuk aksi kali ini nggih. Mohon kelapangan hatidari para pinisepuh  ). Kegiatan ini diikuti sekitar 100-an kaum adam membawa kereta dorong dan selendang gendong bayi. Atribut itu dimaksudkan sebagai simbol pelibatan laki-laki dalam upaya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.

Arak-arakan akan dimulai dari lapangan parkir Abu Bakar Ali sampai alun-alun utara.
Well, dunia memang telah berubah, teramat berganti. Jadi wahai kaum adam, bukalah mata Anda lebar-lebar! Istri Anda bukanlah ‘konco wingking’ (pendamping hidup yang mengurusi t.u masalah dapur saja). Tapi paradigma istri yang dianut saat ini adalah ia sebagai teman hidup. Ia berhak mengaktualisasikan dirinya di luar rumah dan suami berhak untuk menunjukkan kehebatannya di dapur. Hehehehe

Para pejuang hak-hak wanita ini kebanyakan berasal dari kaum itu sendiri. Padahal tanpa adanya dukungan dari kaum lelaki, dapat menihilkan arti penting perjuangan ini. Terkait dengan hak melahirkan, cuti melahirkan selama tiga bulan itu sudah lumayan di negeri kita. Padahal ada ketimpangan gender di sana. Jika cuti tersebut hanya diberlakukan kepada wanita saja, seharusnya pria berhak protes karena mereka tidak mempunyai hak setara dengan wanita dalam hal proses pengasuhan anak. Sebagian dari kita akan berdalih, pria punya ‘peran’nya sendiri dalam pengasuhan anak. Tapi bukan itu yang akan kita bahas di sini.

Swedia, adalah surganya kesetaraan gender. Disana, pria tidak mendapat kehormatan lebih untuk mendapat perlakuan istimewa dari wanita. Kalaupun dia mendapatkannya itu adalah murni keinginan tulus dari kedua belah pihak bukan ‘paksaan’ aturan yang ada di masyarakat. Melihat pria menggendong anak di perbelanjaan atau memasakkan makan malam untuk keluarga bukan hal yang aneh lagi. Cuti terkait dengan kelahiran anak bukan hanya berupa maternal leave tapi parental leave selama satu tahun.

Begitu suksesnya propaganda kesetaraan gender ini sehingga kaum prianya memiliki empati berlebihan terhadap wanita. Berita mengenai pria ‘hamil’ mungkin sudah beberapa kali kita dengar. Tapi usaha seorang pria untuk memompa payudaranya demi setetes susu. Saya sungguh takjub dan geli membaca berita ini di www.thelocal.se.

Seorang Ragnar Bengtsson, 26, memulai perjuangannya menghasilkan susu pada 1 September lalu s.d 1 Desember 2009. Dia memasang mesin pemompa di payudaranya setiap tiga jam sekali. Sebagai mahasiswa ilmu ekonomi di Stockholm University dia bahkan nekat melakukannya di dalam kelas, ketika kuliah berlangsung.

"I'm going to have to pull out the pump during lectures. But really it doesn't bother me if it makes people uncomfortable. If they have issues with it that's their problem," Kata Bengtsson.

Idenya sungguh unik kalau tidak bisa dibilang gila. Tapi ayah dari seorang anak laki-laki berusia dua tahun ini mempunyai tujuan yang mulia.

“If men could breastfeed their babies, the argument went, then women could rejoin the workplace more quickly, safe in the knowledge that their newborns were receiving the proper nourishment from their proud dads.”

Mungkin propaganda kaum feminis terlalu berhasil di Swedia. Kalau usaha pengentasan kekerasan terhadap wanita diibaratkan sebagai obat. Maka kejadian ini menyiratkan adanya kondisi ‘over-dose’. Sedangkan di belahan dunia yang lain masih ‘under-dose’.

Usahanya mungkin gagal memenuhi niat mulianya. Tapi berkat ide gilanya dia akan diterbangkan ke US untuk memenuhi undangan The Tyra Banks Show. Dan dongeng mengenai ‘Air Susu Ayah’ ini pun cepat menyebar menimbulkan pro dan kontra. Ada yang memuji usaha ‘terobosan’ baru yang dirintis tapi tak sedikit yang mencemooh.

Seandainya, hanya berandai-andai, jika benar Air Susu Ayah ini bisa diproduksi. Maka WHO, badan kesehatan dunia, harus membuat definisi ulang mengenai ASI Eksklusif. Penelitian-penelitan mengenai kandungan nutrisi pada air susu ini juga harus diinisiasi. Lalu apakah peran wanita dalam pengasuhan anak akan terminimalisasi? Peran ayah menjadi semakin besar dalam urusan domestik? Apakah dengan begitu kesetaraan gender bener-benar bisa dicapai? Sebenarnya istilah apa yang kita bahas saat ini? Gender equality atau gender equity? Dua hal yang berbeda namun sering dianggap sama.

2 comments:

rina said...

Menarik, aku belum pernah mengetahui sebelumnya ada laki-laki yang punya ide sebebas Ragnar. Lebih dalam dari soal kesiapan organ biologis perempuan dan laki-laki untuk aktivitas laktasi, aku lebih mengagumi soal kesungguhan semangatnya untuk berupaya membantu serta memberikan yang terbaik bagi makhluk lain (yaitu perempuan dan anak bayi).

Nuri said...

yup betul rin...mulia sekalitujuannya meskipun agak gila menurutku hehehe