Thursday, May 28, 2009

Teropong Penyebaran Pendidikan Indonesia (Jawa vs NonJawa)


Membaca lagi daftar calon presiden, capres, pada hari minggu (24 Mei 2009), saya terlintas bahasan penyebaran pendidikan di Indonesia. Tulisan ini hanya sebuah teropong dari masalah ini. Layaknya teropong, ia hanya digunakan untuk melihat objek yang kita minati dari jauh. Bahasan dalam artikel inipun masih terlalu dangkal. Tapi seandainya mungkin, saya ingin mengembangkan menjadi sebuah artikel yang membahas masalah penyebaran pendidikan di Indonesia secara menyeluruh.

Beberapa aktor lama, terutama orde baru, masih muncul di awal pencalonan presiden seperti Akbar Tanjung, Prabowo (menantu mantan presiden Soeharto)(Lihat Table 1). Megawati, putri mantan presiden pertama, juga masih muncul. Dari sisi gender, minimal ada satu sosok wanita tampil di elit politik Indonesia.

Kolom kedua menginformasikan tahun kelahiran dan umur para kandidat. Tahun 40-an mendominasi tahun kelahiran yang berarti usia 50 sampai 60 tahun. Usia termuda adalah Hidayat Nur Wahid (49 tahun). Rata-rata usia capres 2009 kali ini adalah 59.62 tahun.

Selanjutnya, lima dari 13 capres (38.46%) berasal dari luar jawa (kolom ketiga). Beliau adalah Akbar Tanjung, Yusril Ihza Mahendra, Rizal Ramli, Din Syamsudin dan Yusuf Kalla. Kondisi ini menunjukkan keterwakilan saudara- saudara kita di luar jawa. Setidaknya ada ruang untuk saudara kita untuk berpartisipasi aktif. Isu kesetaraan hak menjadi isu utama di sini. Saya yakin bahwa pernyataan saya di atas masih terlalu dangkal. Setidaknya ada proses menuju ke arah yang lebih baik. Proses itu yang saya utamakan.

Kolom keempat adalah bahasan Utama kita. Secara umum para kandidat memiliki latar belakang pendidikan SMU plus. Bahkan mayoritas lulus tingkat doktoral, 61.54%. Kali ini saya tidak berani mengatakan bahwa hal ini mencerminkan kenyataan. Apalagi dengan meningkatnya biaya kuliah. Minimal untuk menempuh pendidikan lanjut menjadi lebih sulit untuk kondisi saat ini. Hal lain yang saya lihat adalah, kecenderungan kaum muda untuk lebih religius tanpa menjadi ekstrimis. Dua capres termuda (Hidayat Nur Wahid dan Din Syamsudin) adalah lulusan universitas berbasis pendidikan agama. Setidaknya universitas ini juga bisa melahirkan pemimpin yang berkualitas untuk menjawab kebutuhan bangsa. Sayangnya, satu-satunya capres wanita kita adalah lulusan SMU (karena tidak lulus pendidikan S1). Apakah ini menunjukkan pendidikan kaum wanita secara umum memang lebih rendah dibanding pria?



Tidak mudah bagi saya untuk menulis hal ini karena saya berasal dari ras yang mayoritas. Apalagi saya diberi kesempatan untuk bersekolah sampai tingkat universitas. Merubah sudut pandang saya menjadi sudut pandang 'yang didominasi' membutuhkan banyak usaha meski bukan sesuatu yang mustahil. Saya yakin pada prinsip kesetaraan misal kesetaraan gender, etnisitas. Tentu saja dialog lebih lanjut mengenai hal tersebut sangat perlu untuk menghindari kesalahpahaman. Tapi prinsip saya itulah pengantar untuk berpikir mengenai penyebaran pendidikan (terutama setelah SMU) dengan hanya melihat daftar capres 2009.

Empat dari lima (20%) capres kita yang berasal dari luar jawa menyelesaikan pendidikan tingginya (untuk D3 dan S1) di Pulau Jawa. Tiga diantaranya menyelesaikan studi di Jakarta (UI dan UIN Syarif Hidayatullah) dan satu kandidat di Bandung (ITB). Apakah itu hanya berarti sebuah pilihan, kesukaan dan gengsi? Apapun itu biasanya bermula dari sesuatu yang dianggap unggul. Sesuatu dengan kualitas yang lebih baik. Dengan berat hati saya harus mengatakan bahwa trend itu masih merujuk ke Pulau Jawa.

Mungkin seharusnya saya tidak menulis ini karena saya berasal dari Yogyakarta. Kota dengan pendapatan yang sangat bergantung pada bidang pendidikan. Rakyatnya banyak hidup dari hasil kos-kosan. Tapi demi pemerataan, saya harus mendukung peningkatan kualitas dan kuantitas institusi pendidikan di luar Pulau Jawa. Apalagi dengan adanya krisis ekonomi berkepanjangan, tentu akan semakin sulit untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke luar kota.

Tulisan pengalaman Risalia Reni Arisanti, merupakan gambaran nyata mengenai kesenjangan kualitas pendidikan antara Jawa vs NonJawa. Kawan saya ini menulis dalam notenya di Facebook bahwa seorang perawat, di Sabang, tidak mengetahui prosedur tes Rumple Leed. Tes ini adalah tes dasar untuk mengetahui kerapuhan kapiler pembuluh darah. Kondisi ini bisa disebabkan karena kadar platelet yang kurang atau karena abnormalitas dinding pembuluh darah. Hasil tes positif akan ditemui pada pasien- pasien penderita demam berdarah Dengue dan malaria. Parahnya rekan perawat saya ini tidak mengetahui prosedur tes ini padahal daerah tugasnya adalah daerah endemis untuk penyakit tersebut di atas.

Selain itu, saya teringat sekitar tiga atau empat tahun lalu saya nyaris direkrut pendiri sebuah STIKES, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan. Proses perekrutan berlangsung sangat sederhana bahkan bisa dikatakan tanpa seleksi. Saya lebih bisa menerima hal ini jika saya pernah bekerja dengan beliau sebelumnya. Setidaknya saya teryakinkan bahwa beliau sudah melakukan evaluasi terhadap hasil kerja saya, minimal. Pertanyaan saya saat itu adalah,"Bagaimana bapak mempercayai saya?", ”Kenapa sekolah untuk perawat padahal institusi ini di jogja sudah terlalu banyak?” Pertanyaan yang lain adalah, ”Benarkah ini sistem pendidikan yang tepat untuk menghasilkan perawat S1?”

Cerita di atas hanyalah sebuah illustrasi mengenai ketimpangan pendidikan antara jawa dan nonjawa. Berawal dari daftar capres pikiran saya menerawang pada pendidikan saya sebelumnya, ilmu keperawatan. Ketika di Jawa sedang digalakkan perawat S1 bahkan spesialis, di luar Jawa sana perawatnya bahkan tidak tahu apa itu rumple leed test. Kesenjangan bukan hanya melahirkan kecemburuan tapi juga pemborosan sumber daya dan menumpuknya masalah. Kematian bisa dicegah ketika petugas memahami kerjanya. Dan proses pemahaman itu membutuhkan pendidikan. Pendidikan menjadi dimungkinkan ketika ketersediaan baik kuantitas maupun kualitas mencukupi.

Catatan:
1. saya menolak bergabung dengan STIKES tersebut di atas karena pembesar STIKES tersebut gagal menjawab pertanyaan mendasar saya. (kok jadi saya yang ngetes ya? Hehehe) Pola bisnis terlihat terlalu kental pada STIKES yang ada saat ini terutama di pulau Jawa. Seandainya saya bisa mengajukan masalah ini ke PPNI, Persatuan Perawat Nasional Indonesia, maka saya menyarankan pengevaluasian rutin terhadap STIKES dan pembatasan berdirinya STIKES baru di Yogyakarta terutama. Sebaliknya, lebih mendukung pendirian STIKES di luar pulau Jawa.

2. Jika SBY-Budiono menang, pasangan ini harus mempertimbangkan isu 'keterwakilan' demi integritas bangsa. Bukan saya mendukung Chauvinisme hanya sekedar ingin realistik.

2 comments:

anis said...

STIKES di luar jawa juga banyak mbak. Datanglah ke Makassar, kalo gak salah..ada belasan FKM di sana...
Saya kira banyak yang sekolah di sana justru pegawai institusi pemerintah yang berkeinginan mendapatkan gelar S1. Setelah S1, maka pintu untuk measuk ke perguruan tinggi ternama akan lebih mudah. Sehingga, sering yang mendengar komentar,"Nak, nggak usah sedih tidak bisa masuk UGM pada waktu UMPTN. Sekolahlah di swasta, nanti kamu bisa masuk UGM waktu ngambil S2, saingan lebih mudah kok"
Memang pekerjaan berat untuk memberi kesempatan seluruh warganegara mengenyam pendidikan. Tadi saya ngobrol dengan pegawai dinas kesehatan di luar jawa yang prihatin terhadap kualitas Poltekes di daerahnya. Menurutnya, dosen-dosennya di institusi tersebut tidak banyak terekspos dengan perkembangan kebijakan kesehatan terbaru (khususnya Depkes, apalagi dari sumber internasional dan berbahasa Inggris).
Banyak hal harus dilakukan, seperti:
1.pemanfaatan optimal Internet utk penyebarluasan ilmu. Saya setuju dengan open content. Memang harus benar-benar ikhlas kalau materi dibajak di sana sini. Tapi kalau sudah dikomersialisasi, dukungan hukum sangat perlu.
2.Perluasan jejaring dengan berbagai pertemuan, pelatihan, kerjasama penelitian, baik institusi pendidikan luar jawa-jawa.
3. Ilmu bukan hanya milik diknas, institusi kedinasan diberi peluang utk menyebarluaskan ilmu melalui departemen teknis (depkes dll), termasuk membuka komunikasi antara depkes dan diknas.
4.Model-model dosen terbang saya kira tetap diperlukan, termasuk program jarak jauh. Jangan hanya karena ada beberapa program jarak jauh yg ngawur, maka semua program jarak jauh dilarang.
wis ah..kok nulis ngene iki to aku...

Nuri said...

wah makasih sudah berkenan sowan, mas. hayah!! hehehe
kondisi di Indonesia terlalu majemuk untuk dinilai scr kasar apalagi di luar jawa. senang dpt kabar kl di Makassar sdh byk STIKES. Jadi pertanyaan selanjutnya adalah ttg kualitas.Saran yang mas Anis berikan itu sangat bagus, perlu didukung byk pihak. Saya masih berguru pada mas Anis untuk tindak lanjutnya. Yang sangat saya prihatinkan motif pendirian STIKES dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. mungkin saya mengambil kesimpulan terlalu jauh. cuma dari pengalaman pribadi plus cerita sana sini, byk STIKES yg asal berdiri dan asal dpt murid u/ menambal biaya operasional institusi. dosen dosen yang direkrut juga berprinsip,"asyik dpt proyek tambahan". Lah kalo seperti ini bgmn mgk kita mengharap ada transfer "value" kpd mahasiswa.pada akhirnya saya tidak akan heran kl motivasi mahasiswa bahkan dosen dan dinkes u/ 'menimba ilmu' dan 'update pengetahuan' jadi minimal.
teknologi, pelatihan, dosen terbang itu bagian dari proses yang sangat penting. Tapi bagaimana 'kualitas individu' yang terlibat juga sgt menentukan. kalau orang belajar karena memang itu minatnya, pasti scr otomatis ia akan meng'update ilmu' dan berproses menjadi lbh baik.