Monday, February 09, 2009

50 TAHUN LAGI


“BI PEDHET! ELEK!”

Sms itu masih kusimpan sejak 5 Agustus 2008. Hari kelahiran keponakan kembarku, Abdussalam Furqan Firmansyah dan Abdurrahim Fakih Firmansyah. Uko dan Aki panggilannya. Kalimat itu terkirim dari Fukuoka, Jepang. Dari seseorang yang kukenal sejak lahir. Eka Firmansyah,30 tahun, adalah dosen Teknik Elektro UGM.

Pedhet adalah anak sapi dalam Bahasa Jawa. Ledekan ketika masih kecil karena aku tidak pernah minum ASI (Air Susu Ibu). Aku tidak ingat lagi kapan terakhir kali mendengar nama itu dari dua kakakku yang usil.

b.i. p.e.d.h.e.t.!.e.l.e.k!.

Hatiku mengeja huruf perhuruf yang tercetak di layar Ponsel Samsungku. Senyum tipis masih saja berubah menjadi terbahak-bahak hingga saat ini, 8 Februari 2009.

Aku ingat bahwa kalimat itu terkirim setelah beberapa sms jahil yg kukirim padanya. Ia tidak mengenali nomer baruku sehingga selalu menjawab smsku dengan Bahasa Jawa halus sampai akhirnya terkuak juga identitasku. Itulah aku, kami tepatnya. Kakak keduaku, Fendi Maulana bahkan lebih usil lagi. Terakhir bertemu dengan Kak Ana, panggilan sayangku, masih saja ia sembunyikan gelas minumku atau piring berisi makananku. Kadang menyembunyikan cabe dalam risoles yang akan kumakan.

Aku masih ingin seperti ini. Kata ‘Pedhet’ itupun terbaca manis di mataku. Seandainya ada waktu, 50 tahun lagi aku masih ingin saling meledek dengan kakakku. Aku memilih 50 bukan seribu tahun, karena aku tidak sepuitis itu dan kurang realistik kukira. Tapi 50 tahun lagi, usiaku akan menjadi 77 tahun. Perkiraan yang cukup realistik mengingat UHH Indonesia sekitar 65 tahun saat ini.

Aku selalu lebih mudah mengungkapkan dalam bentuk tulisan. Kali ini ada tiga hal yang membuatku menulis. Pertama, status FB (Facebook) Kak Iman (Eka Firmansyah). Tanggal 4 Februari 2009 tertulis ‘Eka is suddenly missing so much about his Father. I miss U so much Dad :-( May Alloh give you the best place there...amin’. Kedua, meninggalnya dosen muda FK UGM, Nugroho Wiyadi. Beliau meninggal karena gagal ginjal di Nijmengen tanggal 30 Januari 2008. Dan terakhir, karena aku ingin jujur dan minta maaf terutama pada Kak Iman.

PIKIRANKU KOSONG. Aku tidak tahu harus bagaimana harus berbuat apa. Badanku terkulai di bangku apotek RSU PKU Muhammadiyah.

“Mbak, ada apa? Tadi siapa yang nelpon?” Tanya Osa, Noorsa Andjani.

Lemah kugelengkan kepalaku. Tanganku masih menggenggam ponsel. Seorang petugas memberiku sumbangan Vaksin Hepatitis untuk RSUD Cut Nyak Dhien. Aku tidak bisa berbasa-basi lagi. Hanya tersenyum mengucapkan terima kasih dan berpamitan.
Perjalanan ke kantor, RSUP DR Sardjito, begitu hening. Aku masih mendengar suara ibu, Sugiyarti, di HP. Beliau memintaku segera ke kamar ayah, Abdul Kodir, di Bangsal Cenderawasih. Beliau menderita CHD, Chronic Heart Disease, derajat keempat. Ayah akan menjalani pemeriksaan CT-Scan untuk mengkonfirmasi dugaan diagnosis baru. Dan ibu ingin aku mendampinginya. Tapi dugaan diagnosa kanker paru, terlalu menyakitkan. Stase apapun itu. Prognosanya, perkiraan perkembangan penyakit, terlalu buruk. Paling bagus hanya satu tahun waktu yang tersisa dengan kombinasi terapi apapun termasuk kemoterapi dan radioterapi.

Dan aku benci untuk mengetahui itu. Aku mulai mempertanyakan pengetahuanku. Mungkin aku sama sekali tidak tahu tentang kanker paru.

Sesampainya di kantor. Aku hanya diam. Melepaskan jaket dan duduk di sofa.

“Ngopo, kenapa, Mbah?”, Tanya Risalia Reni Arisanti, 27 tahun.

Aku menggelengkan kepala pelan. Sungguh aku berusaha untuk tidak menangis. Tapi akhirnya meledak juga tangis itu. Sepuluh menit aku menangis. Menangkupkan tangan di wajahku. Membungkuk ditemani tissue dan membuat dua rekanku canggung. Bingung harus bagaimana.

Puas menangis, akupun bersiap untuk ke kamar ayah.

“Mataku kelihatan habis nangis gak, San?”

Aku harus memastikan bahwa aku tidak terlihat sedih. Ayah dan ibu membutuhkanku. Aku tidak mau terlihat lemah. Dan Ayah berhak untuk mendapatkan senyum dari putrinya dalam masa sulitnya dan waktunya yang singkat.

Sorenya, Mbak Ana, Indriana Hidayah, menelponku. Ia adalah kakak iparku. Kondisi Kak Iman tidak kalah buruk denganku ketika pertama kali mendengar berita ini. Dan ia tetap ingin datang menjenguk ayah. Tentu saja ini haknya tapi . . .

“Kalau Kak Iman mau menjenguk ayah ia harus bisa mengendalikan diri. Aku nggak mau ayah semakin sedih”.

Hasil CT-san menegakkan diagnosis kanker paru. Melihat pola penyebarannya bisa kusimpulkan, stase 4. Stase terminal. Aku membaca sendiri hasil CT-scan di nurse station. Cukup membuatku menangis tiap malam di kamar kemudian sibuk mengompres mataku sebelum tidur. Dan berpura-pura baik-baik saja keesokan harinya.

Aku ingat saat itu, April 2007, seharusnya Kak Iman senang karena akan berangkat ke Jepang. Meneruskan studi S3. Aku tahu ada kebimbangan untuk meninggalkan Ayah. Pasti sangat sulit waktu itu. Di tengah kebimbangan itu. Ayah mencoba mempermudah untuk membuat keputusan.

Dalam ruangan itu hanya ada ayah, ibu, Kak Iman, Kak Ana dan aku. Lengkap satu keluarga. Di sela napasnya yang berat beliau memberikan nasehat terakhir. Khusus untuk Kak Iman beliau menambahkan untuk jangan ragu berangkat. Beliau tidak ingin menghambat kemajuan anaknya dan bahwa beliau bangga padanya.

“Doakan ayah kuat menunggu sampai sekolahmu selesai”.

Kukira mulai detik ini aku merasa bersalah dan berdosa. Karena dalam hati aku mengatakan bahwa empat tahun terlalu lama untuk ayah. Bahkan tiga bulanpun tidak mungkin dilaluinya. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku tahu kak Iman berhak tahu, atau mungkin Kak Iman sudah tahu? Aku tidak pernah tahu. Hanya saja kita tidak pernah membicarakan hal ini karena kita memang tidak siap.

“Sholat dan beribadah itu paling mudah dilakukan ketika sehat,” Nasehat terakhir ayah.

Harusnya aku mengatakan ini pada semuanya tapi itu seperti mendoakan ayahku cepat meninggal bagiku. Aku merasa bersalah karena sok tahu tentang takdir. Denial phase, first stage among 5 stages of grieving. Aku juga inginkan semuanya terlihat alami. Aku ingin ibu tetap merawat ayah seperti biasa. Dan yang lain datang berkunjung seperti biasa. Bercanda seperti biasa. Karena waktu kita tinggal sedikit maksimal 1-3 bulan saja.

Setelah kemoterapi pertama. Kondisi ayah terlihat sedikit membaik. Aku ingat Beliau juga mendapatkan prioritas untuk radiologi. Kupikir itu lebih karena kedaruratan kondisi ayah. Di rumah, ayah sangat senang karena diperbolehkan makan apa saja. Harusnya aku senang waktu itu. Aku kagum karena ayah masih bersemangat untuk sembuh tapi itu sebuah ironi. Waktunya sudah tidak banyak lagi. Seandainya yang akan berangkat sekolah itu aku maka aku akan menunda sekolahku. Selalu ada kesempatan kedua untuk kuliah tapi tidak dengan ayahku.

Aku selalu dihantui rasa bersalah. Maaf. Maaf tidak mengatakan dengan jujur. Itu keputusan terbaikku saat itu. Mohon pengertiannya. Aku tidak ingin menyesal untuk kedua kalinya. Sebagai permintaan maafku ijinkan aku mengatakan bahwa kita sangat beresiko menderita penyakit jantung dan pembuluh darah dan kanker. Salah satu jenis penyakit kronis dan degeneratif.

Bukan rahasia umum lagi bahwa penyakit ini menyerang usia yang lebih muda saat ini. Dosen yg kusebut di awal tadi baru berumur 37 tahun. Usia yang sangat muda untuk meninggal karena penyakit kronis. Ia sangat sibuk dengan pekerjaan dan sekolahnya hingga kurang memperhatikan kesehatan.

Aku sangat bersyukur karena saudara-saudaraku tidak ada yang merokok, minum alkohol atau obesitas. Tapi kecenderungan hipertensi sudah terlihat pada kedua kakakku. Kerja lembur memang akan mempercepat selesainya pekerjaan tapi terlalu membebani tubuh. Tapi juga meningkatkan resiko menderita penyakit jantung melalui jalur stres.

Aku mengatakan ini untuk diriku sendiri juga. Dan aku akan berpikir untuk memberi kesempatan lebih pada anak cucuku. Jangan biarkan mereka menyesal karena tidak cukup waktu untuk menunjukkan perhatian pada kita. Itu cara terbaik untuk menyayangi mereka.
50 tahun lagi. 50 tahun lagi saja aku masih ingin menerima sms jahil dari kakak-kakakku. Atau mungkin menggunakan teknologi yang lebih canggih di masa depan. Seandainya mungkin.

No comments: