Tuesday, January 27, 2009

Keberpihakan pada Perempuan?

Standar ganda terhadap wanita (karier) masih biasa terjadi. Setidaknya itulah yang saya rasakan. Kita, bahkan wanita itu sendiri, tidak pernah benar-benar mendukung aktualisasi diri kita. Sebagai contoh Rachida Dati, 43, menteri kehakiman Prancis dengan masalah maternal leavenya. Majalah Times Edisi Januari 15th 2009 menyebutkan bahwa hari kelima pasca persalinan Dati memutuskan untuk bekerja.
“I’m back”, Katanya.
Keputusan yang berkonsekuensi. Sesuatu yang bahkan dipertanyakan oleh keluarga dan sahabat-sahabatnya. Padahal dari merekalah sebenernya dukungan itu diharapkan.
Dalam Artikelnya, Vivienne Walt menyebutkan perjuangan yang dilalui oleh Dati selama ini. Terlahir dengan 12 bersaudara. Ibunya meninggal usia muda. Ayahnya seorang buruh bangunan. Mulai bekerja sejak usia 16 tahun dan belajar dimalam hari. Ia adalah orang pertama keturunan Afrika Utara yang menjadi mentri di Prancis. Ketika bahaya mengancam perjalanan karier, perjuangannya, nalurinya tergerak untuk mempertahankan. Sesuatu yang mudah dipahami. Tapi menjadi begitu rumit ketika yang melakukan itu adalah seorang ibu yang baru saja melahirkan.
Saya sendiri percaya keputusan apapun yang diambil Dati, itu adalah keputusan yang rumit dan memiliki konsekuensi. Meneruskan maternal leave, empat bulan, menjadikannya seorang ibu yang ‘baik’ tapi bukan sebagai politikus. Berusaha memahami sedikit dilema ini. Terkadang banyak urusan pekerjaan yang tidak bisa didelegasikan. Dan meskipun status kita sedang cuti, toh kita tidak pernah benar-benar cuti. Teknologi saat ini mempermudah untuk berkomunikasi sehingga tidak ada alasan untuk tidak merespon telepon atau email penting.
Dan bukan keputusan yang mudah ketika ia akhirnya memilih untuk benar-benar bekerja. Orang sekitar mulai mengatakan ia bukan ibu yang baik. Ia terlalu ambisius dan menelantarkan anak. Perempuan mempunyai beban moral yang lebih terhadap anak. Saya pribadi masih berpikir bahwa anak adalah tanggung jawab ayah dan ibu. Seimbang. Dalam hal ini saya percaya seorang Dati sudah berdiskusi dengan suaminya mengenai tanggung jawab ini. Akibatnya, orang di luar tidak mempunyai hak untuk men’judge’.
Implikasi dari pernyataan sebelumnya adalah ketika istri tidak bisa mengambil tanggung jawab penuh terhadap anak maka suami mengambil alih. Itulah sebabnya istilah Paternity leave lebih tepat. Dalam hal ini Swedia patut diacungi jempol. Tidak tanggung-tanggung, satu tahun paternity leave. Dua tahun berada di Swedia, saya sudah tidak asing lagi melihat bapak-bapak mengasuh anaknya sambil berbelanja di supermarket, memeriksakan anaknya yang sakit bahkan sekedar mengajak jalan-jalan. Dan saya sangat menghormati pria yang rela melakukan hal itu.
Pemerintah Prancis sendiri sangat responsif dalam menyikapi permasalahan ini. Sehingga per 12 Januari 2009, mengusulkan adanya penggantian sementara selama empat bulan. Saya membungkukkan badan pada negara yang dipimpin oleh Nicolas Zarkozy ini.
Tapi tidak semua peraturan mendukung program maternity leave ini. Rosmawati, 25, mahasiswa doktoral dari Malaysia mengalami dilema pasca persalinannya. Departemen tempatnya belajar memberi ijin, bahkan menganjurkan untuk mengambil cuti selama minimal enam bulan. Namun tidak dengan pemerintah Malaysia, penyandang dana. Perjanjian yang ada ketika mendapatkan beasiswa tidak mencantumkan pengecualian untuk keadaan ini. Ia memilih bekerja dari rumah ketika putrinya masih berumur kurang dari satu bulan. Ia berusaha untuk dapat menyelesaikan kuliahnya sesuai dengan beasiswa yang didapatnya.
Dalam hal ini saya salut terhadap Mohamad Zalmy. Ia rela untuk mengikuti Ros ke Swedia. Dan tinggal di rumah untuk merawat anaknya. Mungkin hanya satu dari seribu pria asia yang bisa melakukan apa yang dilakukan Zalmy.

No comments: