Tuesday, December 16, 2008

PEREMPUAN ITU

Tulisan Jati berjudul Lelaki Cina nan Tampan benar- benar mengusikku. Setidaknya membuatku menunda tidur meski jam sudah menunjukkan pukul 01.18 am.

Anganku melayang ke beberapa kejadian di masa yang belum lama berselang. Pertama, saat kursus narasi jurnalisme Juli- Agustus 2008. Ada mba Khanis dan mba Siti yang pasti sangat asyik untuk berdiskusi mengenai Gender. Kedua, tentang Rifka Annisa. Salah satu lembaga pendampingan wanita yang juga tempatku magang selama musim panas kemarin. Dan terakhir, Mengingatkanku pada Erik Svedman. Seorang kawan, LELAKI yang sangat perhatian dengan masalah ini. Ia berhasil membawa Leage Table bahkan berbagai macam analisis biaya dalam perspektif gender.

Teman saya yang terakhir ini membawa pemahaman baru. Ia sangat memperhatikan masalah ketimpangan dan kesenjangan. Sesuatu yang terjadi karena seseorang terlahir sebagai laki-laki dan yang lain sebagai perempuan. Dan ia membawa kita ke dalam perspektif baru mengenai gender di dataran ekonomi kesehatan.

Lalu makhluk seperti apakah perempuan itu?

Seseorang yg berambut panjang, menggunakan gincu dan berbagai macam make up? Kalau dia muslim maka ia akan menggunakan jilbab. Selalu merengek minta bantuan jika ada masalah. Tidak bisa menyimpan rahasia. Pasif dan lemah. Selalu berada didalam rumah menanti sang suami yang lelah mencari nafkah?

Lalu bolehkah aku mengaku perempuan meski rambutku pendek dan tidak pernah berdandan? Perempuankah aku jika aku tegar menghadapi hidup dan bekerja seharian untuk mencari nafkah juga? Masihkah aku dihargai dalam lingkungan sosialku hanya karena aku mengatakan bahwa seorang pria ganteng. Padahal memang itulah kenyataannya.

Tanpa bermaksud menggugat tradisi, aku hanya mempertanyakan,”Apa salahnya?”

Jati, lepas dari perasaan ‘itik buruk rupanya’ adalah salah satu contoh sederhana dari bagaimana kita terikat pada norma dan budaya. Aku bangga pada budayaku. Tapi tidak ada yang statis di dunia saat ini. Sudah saatnya stereotype negatif tentang perempuan dihapuskan minimal dikurangi.

Dimulai dari hal-hal sederhana sehari-hari. Dosakah seorang perempuan jika ia mengatakan,”Aku menyimpan perasaan padamu”?

Apa dengan mengatakan hal itu maka harkatmu sebagai perempuan terendahkan? Padahal rasa itu nyata adanya. Padahal hari-hari terasa lama berlalu karena setiap detik selalu terbayang wajahnya. Suatu rasa yang jika tidak diungkapkan akan mengganggu stabilitas aktivitas kita.

Pernah aku memilih untuk menjadi ‘perempuan baik’. Memilih untuk diam, meski terkadang tidak tahan untuk mengajak ngobrol meski hanya lwt y!m. Dan itu sungguh mengganggu hari-hariku. Beruntung jadwal kuliah tahun lalu tidak memberi banyak ruang untuk melamun. Tapi satu tahun waktu yang cukup lama hingga kuputuskan menuntaskan penasaranku.

Dimulai dengan mengunjungi kota tempatnya belajar. Pesawat selama satu jam lima menit, plus tiga jam perjalanan dengan kereta. Hanya untuk menikmati saat-saat terakhir. Menulis travelogue sepanjang 10 halaman,sekitar 4000 kata. Dilanjutkan perjalanan kereta lain selama 10 jam sekedar menikmati secangkir kopi bersama. Secangkir kopi yang sangat mahal harganya. Bukan hanya karena kami membelinya dari sebuah kafe yang lumayan berkelas. Tapi karena kami tidak pernah punya waktu. Swedia terlalu jauh, dan satu tahun bukan waktu yang pendek.

Tapi apakah harga diriku sebagai perempuan menjadi hilang hanya karena mengajaknya ke kafe berdua? Hanya karena mengatakan,”Aku pernah ‘menunggumu’.” Jujur aku merasa lebih berharga setelah membuat pengakuan itu. Aku tidak peduli apapun responnya tapi nothing to lose. Aku memang menyukainya dan tidak akan memaksakan perasaanku.

Masihkah aku seorang perempuan yang baik di mata kalian?

No comments: