Monday, March 01, 2010

Antidotum untuk tindakan tidak rasional, adakah?

Ini adalah buku pertama yang membuat saya betah menyelesaikan satu babnya dalam perjalanan menggunakan bus. Kebetulan bagian yang saya baca adalah bagian yang ringan yang akan saya ‘share’ di bagian berikutnya dari tulisan ini.

Buku yang akan saya bahas ini secara keseluruhan menjelaskan mengenai begitu seringnya kita melakukan dan mengambil keputusan-keputusan tidak rasional. Setiap dari kita beresiko untuk mengalaminya tidak peduli apakah kita rakyat biasa, birokrat ataupun akademisi. Bahwa tanpa kita sadari, keputusan kita sering dipandu oleh ketidakrasionalan betapapun terpelajarnya kita.

Membaca buku ini mengingatkan akan bahaya yang sebenarnya bisa dicegah jika kita mempertimbangkan fakta-fakta. Namun ada saatnya beberapa kondisi situasional dan psikologi lebih mempengaruhi pengambilan keputusan kita. Salah satu contohnya adalah apa yang dialami oleh Kapten penerbangan maskapai KLM Jacob van Zanten, 1994. Ia adalah pilot dengan jam terbang yang tinggi, sangat memahami prosedur tetap penerbangan, baru saja mengikuti pelatihan keamanan penerbangan plus reputasi dan prestasi yang tidak diragukan. Keputusan tidak rasional yang dipilihnya menghasilkan tabrakan maut dengan Pan Am 747 di Pulau Tenerife dan mengakibatkan 584 orang meninggal dunia pada saat itu. Fakta yang ada adalah kabut yang sangat tebal, jarak pandang yang terlalu pendek, tidak adanya ATC clearance dan tidak adanya informasi takeoff clearance. Kita percaya saja bahwa beberapa hal tersebut sangat penting untuk memutuskan apakah pesawat bisa terbang atau tidak. Van Zanten memilih untuk mengabaikan kenyataan itu. Ia lebih memilih untuk memprioritaskan ‘ketepatan waktu’, reputasinya dan maskapai penerbangannya dibandingkan keselamatan bersama.

Ada lebih banyak contoh keputusan-keputusan tidak rasional yang dicontohkan dalam buku ini. Salah satunya adalah mengenai bagaimana “memanipulasi” perasaan seseorang. Ini adalah bagian pembuka yang membuat saya betah membaca buku ini di dalam bus (bagian kelima). Inti dari penelitian yang dilakukan oleh Dutton dan Aron adalah bagaimana kondisi yang menegangkan dan penuh tantangan dapat berkorelasi dengan ketertarikan seorang pria terhadap wanita.

Peneliti memilih pria berusia 18 s.d 35 tahun. Pria-pria terpilih ini kemudian diminta untuk menyeberangi tebing setinggi 230 kaki dan selebar 450 kaki. Yang menarik adalah penyeberangan dilakukan dengan menggunakan jembatan tali. Jembatan ini bisa membuat lutut gemetar karena selain posisinya yang tinggi juga karena ketidakstabilan akibat hembusan angin. Goyangan tali sangat terasa ketika angin bertiup. Di akhir jembatan, menanti seorang asisten peneliti muda wanita. Ia diskenariokan untuk mendekati para pria segera setelah mereka menyelesaikan ‘perjuangannya’. Perintahnya sederhana saja, mengisi survei sederhana dan memberikan nomor teleponnya agar para pria itu dapat berkonsultasi lebih lanjut mengenai penelitian itu.

Hasil dari penelitian itu adalah sembilan dari 18 pria memutuskan untuk segera menelpon asisten peneliti wanita tersebut. Dan hanya dua dari 16 pria, menyeberang dengan menggunakan jembatan kayu yang aman, yang segera menelpon wanita tersebut. Dalam skenario lain, peneliti menyuruh seorang asisten peneliti pria untuk menunggu “pejuang” pria tersebut untuk melakukan hal yang persis sama dengan asisten wanita. Hasilnya, hanya tiga pria yang menelponnya dalam waktu tiga hari.

Bagaimana kita mengartikan hasil penelitian tersebut? Bayangkan Anda melewati jembatan tali tersebut. Setiap langkah yang Anda buat membuat posisi Anda terasa lebih kurang stabil, lebih rawan dan lebih menakutkan. Anda mungkin saja menahan napas, keringat semakin deras mengucur, detak jantung Anda meningkat. Anda sedang dibawah pengaruh hormon adrenalin yang hampir mirip dengan ‘kehebohan’ ketika Anda sedang tertarik dengan lawan jenis. Secara singkatnya, reaksi fisiologis mempengaruhi persepsi para pria yang baru saja menyeberang jembatan tali itu. Oleh karena itu ketika sampai di ujung jembatan tali maka para pria itu akan merasa berdebar-debar, sulit berbicara, dan salah tingkah tepat ketika ia menjumpai sang asisten peneliti perempuan. Mereka sesungguhnya tidak bisa membedakan apakah mereka sedang tertarik dengan sang asisten ataukah karena efek fisiologis belaka setelah melewati jembatan tali.

Well, cinta memang bukan sesuatu yang tepat jika dihubungkan dengan logika dan rasional. Tapi setidaknya Anda tidak terjebak pada kondisi-kondisi fisiologis dan situasional tertentu yang sangat sesaat.

Moral values:
1. Salah satu trik untuk menarik perhatian lelaki adalah segera setelah mereka melewati pengalaman-pengalaman yang mendebarkan dan menegangkan :d (ini hanya untuk membuat kesan pertama begitu menggoda selanjutnya terserah Anda)
2. Para pria yang membaca artikel ini, waspadalah akan perasaan-perasaan tidak jelas yang mungkin timbul setelah mengalami pengalaman yang menegangkan.
3. Bagaimana membuat topik penelitian kita semenarik penelitian Mr Dutton dan Aron (minimal untuk diri sendiri sehingga bisa menyelesaikan penelitian dengan gemilang)
4. Yang bener aja...Tanpa bermaksud meremehkan penelitian ini (toh saya sangat tertarik) tapi kalau penelitian seperti ini bisa mendapat funding maka kita harus berprasangka positif bahwa kita bisa mendapatkan funding juga.
5. Antidotum untuk tindakan yang tidak rasional mungkin ada di akhir buku (maklum belum selesai bacanya) hehehe
6. Feel free to buy and enjoy this book!

Referensi
Brafman O & Brafman R. (2008) Sway: The irresistible pull of irrational behavior. New York: Random House, Inc
Dutton D & Aron A. Attraction under conditions of high anxiety. J of personality and Soc Psy 30 (1974): 510-17

1 comment:

Eki said...

Ayo di Upgrade yang lebih banyak...jangan lupa tulis pengalaman dan ilmunya.. salam