Sunday, August 18, 2013

Yoga dan Tuma’ninah

Tuma’ninah atau berhenti sesaat, jeda. Biasa digunakan dalam konteks sholat bagi umat Muslim agar tidak tergesa-gesa dalam melakukan sholat. Tuma’ninah dinilai sebagai salah satu rukun Shalat agar fokus dengan apa yang sedang dikerjakan dan memberi kesempatan pada tulang dan sendi untuk menempati posisinya.

Kata-kata ini muncul lagi dalam ingatan saya ketika salah satu guru yoga saya mengatakan:

“Yang membedakan Yoga dari olah raga lainnya adalah ia memberi kesempatan pada setiap sendi, otot, dan seluruh bagian tubuh kita untuk menyadari gerakan yang baru saja dibuat dan menempatkan diri sesuai dengan posisi anatominya”.

Ia bukanlah sebuah olah raga yang dengan semena-mena mengajak kita untuk terengah-engah dan melakukan berbagai macam gerakan tanpa memberi jeda. Ia juga tidak menuntut kesempurnaan dan kesamaan postur karena setiap orang dinilai unik dan bisa membuat penyesuaian berdasar kondisi tubuhnya.

Tiba-tiba saja saya menjadi sangat memahami kenapa Tuhan memerintah kita untuk sholat dan memberi jeda dari setiap gerakan sholat. Secara badaniyah, fisik, Tuhan sangat memahami ciptaanNya dan tahu persis apa yang dibutuhkan. Mungkin itu sebabnya cara berdoa kita didesain dengan gerakan-gerakan yang sangat dinamis. Ia tidak lagi sebuah ritual yang pasif statis karena grand design dari manusia diciptakan untuk bergerak. Sendi-sendi yang ada di seluruh tubuh kita ada untuk memfasilitasi pergerakan.


Tuma’ninah adalah spasi, menurut salah satu puisi Dewi Lestari, yang sangat diperlukan untuk bisa memaknai bahwa sebuah kata telah tertulis dalam sebuah manuskrip. Berhenti sesaat juga mengijinkan kita untuk menyadari sekaligus memaknai apa yang baru saja kita alami. Meski pergerakan adalah sesuatu yang fitrah namun tanpa jeda mustahil refleksi, penghayatan dan bahkan perencanaan dapat dilakukan.

 “Besi yang diam akan menjadi mudah berkarat, air yang tergenang akan keruh”

Tubuh yang diam akan menyalahi fitrahnya untuk bergerak. Oleh karena itu, banyak gerakan-gerakan diperlukan untuk menstimulasi tubuh agar dapat berfungsi lebih optimal. Bahkan ujung kakipun perlu dilatih agar dapat berfungsi optimal. Dan hanya yoga yang memberi perhatian detil dari setiap bagian tubuh kita, setidaknya sepanjang pengetahuan saya yang dangkal.

Yoga dan shalat sama-sama memfasilitasi pergerakan tubuh. Saya teringat pengalaman lain mengenai hal tersebut yaitu anak seorang sahabat yang masih balita pernah mengatakan teman kami sedang melakukan olah raga. Padahal teman kami tersebut sedang melakukan sholat dan anak kecil tersebut tidak tahu bagaimana seorang muslim berdoa. Cara berdoa kita memang sangat dinamis sehingga orang-orang yang tidak paham akan menganggap sedang melakukan olah raga.

Komentar anak tersebut membawa saya pada suryanamaskar. Salah satu sequence yoga yang dianjurkan untuk dilakukan di pagi dan sore hari. Suryanamaskar atau sun salutation sering kali disalahartikan dengan penghambaan kepada matahari. Setidaknya ada beberapa kawan yang menanyakan hal tersebut pada saya.

Bagi kami, praktisi yoga, sun salutation adalah gerakan minimal yang bisa dilakukan untuk membantu tubuh kita berfungsi secara optimal. Pagi hari dilakukan untuk memberikan persiapan bagi tubuh untuk memulai hari dan sore hari dilakukan untuk memulihkan kondisi tubuh dan mengkondisikan tubuh untuk rileks dan memperbaiki diri di malam hari. Gerakannya sangat mirip dengan sholat. Sering kali saya merasa bahwa saya melakukan sholat shubuh dua kali hanya saja dalam yoga saya tidak melafalkan ayat-ayat Tuhan atau doa dan lebih berfokus pada pernafasan selama melakukan gerak.

Yoga juga mensyaratkan siapa saja yang melakukan untuk fokus dengan apa yang dilakukan. Sedikit buyar konsentrasi dapat menyebabkan cedera. Oleh karena itu gerakan-gerakan dalam yoga cenderung mengalir dan kurang ritmis. Ia menitikberatkan pada memberi kesempatan pada tubuh untuk mencerna apa yang sedang dilakukan, merasakan sinyal yang diberikan kepada kita sehingga mengaktivasi fungsi autorepair yang dimiliki. Konsekuensinya, jika kita merasakan nyeri ketika melakukan postur tertentu maka ia dapat membuat penyesuaian terhadap postur tersebut bagi dirinya. Konsep ini sangat sejalan dengan makna tuma’ninah dalam sholat.

Aplikasi konsep tuma’ninah dalam kehidupan sehari-hari yang saya pahami adalah ketenangan, waktu rehat dan jeda dari berbagai aktivitas yang kita lakukan. Memberi kesempatan pada setiap bagian dari diri kita bukan hanya fisik tapi juga hati dan pikiran untuk dapat memahami apa yang baru saja terjadi baik untuk kondisi gembira maupun sedih. Kita sering kali berlaku kurang adil terhadap emosi-emosi kurang menyenangkan yang kita alami dengan cara mengabaikan perasaan kita.

Beberapa dari kita yang baru saja kehilangan orang yang dicintai selamanya akan berusaha untuk beraktifitas secepat mungkin karena tidak ingin merasa sedih. Padahal saat itu ada perasaan sedih yang perlu diterima dan diberi waktu untuk berkabung. Tidak apa menjadi sedih karena kehilangan apapun itu pasti menyakitkan. Beri waktu pada hati kita untuk bersedih agar ia siap untuk menerima kegembiraan lagi. Semakin kita menghindari emosi negatif maka ia semakin tersimpan dalam dan suatu saat akan muncul kembali. Beri waktu pada kesedihan diri kita sendiri sama seperti kita memberi kesempatan diri kita untuk bahagia.

Tuma’ninah atau jeda juga mengijinkan pada kita untuk memilih emosi apa yang akan kita pilih. Seorang yang sudah sangat mahir mempergunakan jeda akan melihat emosi seperti sebuah kereta. Alat transportasi yang datang silih berganti dengan tujuan yang berbeda-beda. Emosi-emosi tertentu akan mengantar kita pada tujuan hidup kita sedang kereta yang lain mengarahkan pada tujuan yang berbeda bahkan berkebalikan. Kita bisa memutuskan untuk membiarkan kereta tersebut berlalu atau menaikinya. Bahkan ketika kita memutuskan untuk menaiki kereta kita bisa memilih untuk naik sampai stasiun terakhir atau hanya sampai tujuan tertentu.

Akhirnya, saya memahami sebuah konsep sholat melalui yoga. Mungkin itu sebabnya ilmu pengetahuan bukanlah sebuah garis yang lurus vertikal atau horisontal. Ia adalah batang dan akar pohon yang bercabang sangat banyak. Ada banyak cara untuk memahami hidup, kehidupan, dan sumber kehidupan. Cara mempelajarinya menjadi tidak terbatas. Oleh karena itu pepatah yang mengatakan “Sometimes wrong train can lead to right destination” menjadi tidak berlaku. Yang ada hanyalah keterbatasan pengetahuan kita.

No comments: