Wednesday, August 13, 2008

Komitmen menjadi Seorang Tua yang Jomblo

9 Agustus 2008, aku harus masuk ke tempat magang, Rifka Annisa. Sabtu, sepi. Tidak ada klien yang ingin berkonsultasi. Akhirnya aku baca koran dan majalah.

Aku magang untuk membuat analisis biaya kasus di Rifka Annisa. Sebuah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang mendampingi wanita korban kekerasan domestik.

Artikel mengenai komitmen sangat menarik hingga kuputuskan untuk membuat ringkasannya.

keesokannya, aku datang lagi karena ada support group untuk kasus KTI (Kekerasan Terhadap Istri). Koran hari ini menyajikan berita dua nenek kakak beradik yang hidup melajang hingga usia lanjut. Erfienne Komala (83 tahun) ditemukan telah meninggal beberapa hari sedangkan adiknya Louisje Komala (81) berada di kamar lain dalam kondisi kelaparan dan dehidrasi. Di bagian akhir juga disebutkan seorang guru besar UI, Parsudi Suparlan bernasib sama dengan sang nenek.

Mungkin sedikit berkhayal untuk menghubungkan dua berita itu. Namun, Pasangan yang menikah sering dikatakan sebagai orang yang berani berkomitmen. Lalu apakah keputusan tidak menikah memiliki arti sebaliknya?

“Dalam komitmen, ada keterikatan secara emosional dan intelektual terhadap tindakan yang dilakukan atau kepada orang lain,” Menurut the free dictionary.

Tiga senior kita di atas bisa saja sudah berkomitmen untuk menjalani hidup sebagai lajang. Sesuatu yang dianggap aneh oleh khalayak. Namun sepertinya semakin menjadi tren di masyarakat.

“40 persen dari masyarakat usia dewasa adalah single dan sekitar 10 persennya tidak akan menikah,” US Central Bureau, 2000.

Banyak alasan orang tidak menginginkan status menikah, salah satunya supaya tidak berkontribusi terhadap statistik perceraian. Cerai mungkin sesuatu yang dianggap tabu di masyarakat kita. Namun apa boleh buat. Jumlahnya semakin meningkat.

"Setiap tahun ada 2 juta perkawinan, tetapi yang memilukan perceraian bertambah menjadi dua kali lipat, setiap 100 orang yang menikah, 10 pasangannya bercerai, dan umumnya mereka yang baru berumah tangga, " Kata Dirjen Bimas Islam Departemen Agama Nazaruddin Umar.

Alasan lainnya?

KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Berbasis gender. Lebih sering terjadi pada pihak wanita sehingga muncullah istilah KTI (kekerasan terhadap Istri). Secara diam- diam kasus ini ternyata cukup merugikan negara. Menurut World Bank biaya perawatan kesehatan untuk KTI di Inggris mencapai 1 billion/ tahun sekitar 17.398 trilyun (nilai tukar 1 GBP = 17.398 IDR). Di Indonesia sendiri, masih belum ada perkiraan kerugiannya.

Jadi apa salahnya memutuskan melajang seumur hidup?

Erfienne, Louisje dan Parsudi jelas berhak untuk memutuskan menjalani hidup mereka seperti itu. Yang menjadi persoalan adalah apakah komitmen itu dibuat setelah mempertimbangkan alternatif yang ada atau karena tidak ada pilihan lain, karena tuntutan masyarakat atau kesadaran sendiri? Apakah single berarti mengasingkan diri, tidak bersosialisasi?

Kubuka lagi catatan kecilku. Dalam bidang manajemen dikenal ada tiga jenis. Continuance, Normative, dan affective. Roderick D Iverson dan Donna M Buttigieg adalah peneliti dari Universitas Melbourne, Australia. Mereka membuktikan bahwa jenis komitmen dapat memprediksi kecenderungan karyawan keluar dari perusahaan, absen dan kemauan untuk melakukan perubahan.

Afective commitment, kesungguhan untuk mengompakkan diri karena kesamaan pemikiran, sasaran dan idealisme profesi. Ada keterikatan emosi karyawan, keterlibatan dan kesungguhan kepada perusahaan. Totalitas menjadi ciri utama.

Aku teringat lagi pada kisah Erfienne, Louisje dan Parsudi. Melajang bukan berarti menjadi tidak bersosialisasi. Pilihan selalu diikuti konsekuensi. Tetap ada kebutuhan berinteraksi yang harus dipenuhi. Konsekuensi melajang adalah kesendirian. Kesepian.

Aku tidak mengerti, bagaimana mungkin mereka bisa benar- benar sendiri? Tidakkah ada sahabat, kenalan, atau saudara yang membantu? Pernahkah beliau- beliau mengikuti arisan, kegiatan sosial? Mencoba menemukan komunitas yang sesuai. Atau bahkan mencoba ke panti jompo?

Tidak ada pilihan. Terutama ketika usia sudah tidak muda lagi. Waktu memang cepat berlalu. Merasa terlalu tua untuk memikirkan urusan pernikahan. Atau gebetan sudah menikah dengan yang lain. Dan menutup mata hati untuk yang lain. Seseorang dengan Continuance atau calculative commitment selalu memikirkan untung rugi sebuah keputusan. Namun tidak cukup keberanian membuat perubahan. Ada ketidakpastian dibaliknya.

Jenis komitmen terakhir adalah Normative commitment. Ia memilihlebih mempertimbangkan nilai yang berlaku di masyarakat. Sungkan. Mungkin saja Louisje sebenarnya ingin menikah. Sang kakak memutuskan sebaliknya. Tidak mungkin dia menikah. Pamali. Juga menjaga perasaan Erfienne.

Kulipat kompas hari minggu, 10 Agustus 2008. Louisje mungkin mengurungkan niatnya karena alasan normatif. Tidakkah iakemudian menyesal?

Jadi komitmen jenis apakah yang Anda pilih?

663 kata

5 comments:

Anonymous said...

melajang seumur hidup tiu pilihan, jadi jomblo juga pilihan kan Rul?
hehehe...

Unknown said...

arep keterusan po jeng?
=D

Unknown said...

Kata orang, "Kamu akan menyesal karena memutuskan untuk tidak menikah. Kamu tidak akan merasakan nikmatnya hidup menikah." Tapi yang lain bilang, "Kalau kamu menikah, kamu tidak merasakan nikmatnya jadi lajang (a single woman)."
Nah lho...mo jadi yg mana? Pilih aja sendiri...tapi jangan menyesal ya.

ayu said...

Bertemu seseorang (baca calon pasangan) adalah kesempatan.
Melanjutkan kesempatan menjadi komitmen atau membiarkannya hanya menjadi kesempatan (saja) adalah pilihan.

Sekarang aku belum bisa memilih karena kesempatan itu belum hadir:)

Nuri said...

wuaooo respon yang paling seru emang ttg jodoh. cinta. ini nggak bias krn yg beri komentar cewek semuanya kan? BTW, apa tersampaikan maksudku menjelaskan ttg jenis komitmen?