Sunday, February 27, 2011

Berdamai dengan Tuhan Sembilan Centi 4_Be smart girls!


Tulisan terakhir saya mengenai Tuhan Sembilan Centi ini adalah di bulan Februari 2010. Satu tahun yang lalu. Sempat beberapa ide hinggap namun hilang sebelum sempat dituangkan dalam bentuk tulisan.

Beberapa waktu lalu, aku duduk berdampingan dengan seorang ibu berjilbab dalam sebuah tiga hari pelatihan. Tidak terlalu yakin dengan topik pembicaraan apa yang membuat beliau menyatakan sebuah pengakuan.

“Saya baru berhenti merokok beberapa bulan yang lalu”, Katanya sambil tersenyum.
Saya menoleh, sedikit membelalak dan ternganga.

“Maksud ibu, ibu perokok aktif sebelumnya? Berapa banyak perhari?”.

Aku tidak bisa menahan keingintahuanku. Tidak terlintas di benakkku, seorang ibu yang seusia ibuku sendiri dan berjilbab rapi merokok. Yeah menghubungkan rokok dengan praktik keagamaan seseorang mungkin ide yang terlalu lugu. Dan bukan tidak mungkin seorang wanita merokok. Hanya saja untuk generasi beliau?

Penjelasannya pertanyaan saya di atas adalah sebagaimana berikut ini. Wanita di dunia timur sangat beruntung karena dilindungi oleh norma sosial dalam hal merokok. Setidaknya hal itu mengontrol mereka untuk menjaga jarak dengan perilaku merokok. Kalimat tersebut didukung oleh data bahwa presentase perokok laki-laki dan perempuan per total penduduk Indonesia adalah sekitar 59% dan 3,7%. Bagaimana dengan jumlah rokok yang dihisap perempuan?

“Bisa satu bungkus perhari, mba”.



Sekali lagi salut dengan ibu kita yang satu ini karena beliau tanpa sungkan membuka masa lalunya. Secara gamblang beliau bercerita bagaimana ia memulai kebiasaan menghisap tersebut. Dan bahwa pihak yang berjasa telah memperkenalkan adalah suaminya sendiri.

Ya, kebiasaan itu dimulai ketika beliau berumah tangga. Dengan telaten, suaminya membuatnya mencoba beberapa gelintir rokok. Jika satu rokok terlalu kuat maka dengan persuasif, suaminya akan memilihkan rokok yang lebih ‘lembut’. Begitu sabarnya beliau sehingga bisa menemani masa-masa sulit beradaptasi dan terbatuk-batuk karena rokok.

Dalam hal ini, pernikahan bukanlah pembawa rahmat dan pintu rejeki. Ia justru membuat seseorang mengadopsi kebiasaan hidup yang kurang sehat. Sungguh disesali keadaan yang demikian. Apakah karena seorang lelaki itu pasti imam bagi pasangannya? Bolehkah ia memimpin makmumnya untuk melakukan hal yang merusak kehidupannya? Dalam hal ini makmum pasti boleh menegur imamnya bahkan ketika sholatpun seorang wanita bisa menegur imam pria yang memimpin sholat. Gunakan fasilitas itu!

Sepertinya kita sudah bergeser dari diskusi mengenai merokok pada pria menjadi sedikit ke isu emansipasi wanita. Teringat pada diskusi sederhana saya dengan teman-teman pejuang wanita lainnya.

Saat itu saya berujar, ”Sudah terlalu banyak PR yang harus kita selesaikan. Tidak perlu kita memperjuangkan keseimbangan jumlah perokok wanita dan pria”.

Ide itu menjadi sangat rasional mengingat kecenderungan masyarakat Indonesia adalah untuk menirukan gaya hidup barat. Jumlah perokok perempuan di negara barat memang jauh lebih banyak dibandingkan data di atas. Menjadi kekhawatiran yang wajar ketika hal yang ditiru adalah hal-hal yang terlalu superfisial, mudah dilihat. Wanita merokok bagi sebagian orang mungkin terkesan modern, bergaya, dan bukti kesejajaran dengan pria.

Tidak.Tidak. Kesejajaran yang diperjuangkan oleh Kartini bukanlah bentuk seperti itu. Jangankan menjadi perokok aktif, menjadi perokok pasifpun sebisa mungkin dihindari. Hidup adalah pilihan. Dan untuk berbagai alasan yang ada, kita bisa memilih seorang imam yang menggantungkan kenyamanan hidupnya pada rokok. Sebaliknya, kita mungkin bisa menolak untuk tidak bersama dengan orang yang rela membakar uangnya demi kenikmatan beberapa menit. Aku tahu ide ini sangat ekstrim. Tapi tolong baca kalimat terakhir berikut.

“Wanita (atau pria)berhak hidup bahagia dan sehat bersama dengan suami (istri)-nya untuk jangka waktu yang lama.”

NB: Picture was taken from google.co.id

2 comments:

Setyo said...

Trus kenapa si ibu memilih berhenti merokok? Apa reaksi suaminya? Trus dia membujuk suaminya untuk berhenti juga atau tidak?

Nuri said...

karena sudah mule ada gangguan kesehatan makanya berhenti.plus skrg beliau jd sangat tdk bisa menerima, kurang toleran sama asap rokok. jd scr tdk langsung membujuk suaminya jg untuk berhenti merokok :d nice wife y?