Sunday, December 12, 2010

Perihal Keistimewaan Yogyakarta

Jangan Lukai Merah Putih

65 tahun bendera Merah Putih berkibar di bumi Indonesia
65 tahun semangat Merah putih berkibar di hati sanubari bangsa Indonesia

Bangsa Indonesia telah menoreh sejarahnya
Sejarah yang ditopang oleh cita-cita
Sejarah yang ditopang oleh komitmen
Sejarah yang ditopang oleh pengorbanan
Sejarah yang ditopang oleh kesepakatan
Sejarah yang ditopang oleh kebersamaan dalam kebhinekaan

Maknailah sejarah Merah Putih dengan kearifan hati merah putih
Maknailah amanat HB IX/PA VIII 5 September 1945 dengan kearifan hati merah putih
Maknailah keistimewaan Yogyakarta dengan kearifan hati merah putih
Dengarkan aspirasi Yogyakarta dengan kearifan hati merah putih
Suarakanlah aspirasi Yogyakarta dengan kearifan hati merah putih

Sejarah adalah garis waktu yang hakiki
Sejarah tidak bisa semata dimaknai untuk dihapus dengan perspektif regulasi
Sejarah tidak bisa semata dimaknai untuk dilupakan dengan perspektif politik
Amanat 5 September 1945 adalah bagian sejarah berkibarnya merah putih
Keistimewaan Yogyakarta adalah bagian sejarah berkibarnya merah putih

Jangan lukai merah putih
Salam Jogja, Salam Indonesia. Jaya!

(Herry Zudianto, 2010)



Puisi diatas adalah karangan Walikota Yogyakarta, saya cuplik dari Tempointeraktif.com. Sangat bijak, menyikapi kondisi dengan bukan hanya kepala tapi juga hati. Cara yang jarang dipilih orang ketika sedang menghadapi situasi pelik. Mungkin tidak terpikir, karena sebagian dari kita, bahkan warga Jogja yang mengaku terpelajar, lebih memilih untuk menunjukkan emosi.
“Hanya iblis yang berani mengutak-atik keistimewaan Yogyakarta”
“Ayo kita bikin Paspor Ngayogjokarto Hadiningrat”
“Kembalikan dulu sekian juta gulden beserta bunganya yang telah Jogja sumbangkan di awal kemerdekaan”
Kalimat terakhir itu dijawab,“ Kembalikan juga berapa milyar yang telah pemerintah pusat berikan kepada Yogya dan seluruh bantuan untuk korban bencana”.
Beberapa kalimat itu adalah contoh bagaimana publik menyikapi via jejaring sosial, media, teman dan keluarga.
KECEWA!!!
Seakan kalimat saja tidak cukup, beberapa teman yang kreatif, mencoba untuk membuat gambar ‘lucu’ dengan membandingkan presiden SBY dengan menggunakan Ipad dibandingkan dengan Gubernur DIY dengan menggunakan Ipon (dengan logo salak pondok). Kreatifitas perlu disesuaikan dengan waktu dan tempat. Pada kondisi ketika masalah sedang berpolemik, ada baiknya kita menahan diri. Agar api tidak bertemu dengan bensin. Bara yang ada tidak semakin membesar.
Menunjukkan kita peduli dengan suatu masalah tidak berarti harus mengeluarkan sumpah serapah atau kata-kata sarkastik yang hanya menunjukkan kebesaran keegoisan kita. Saya percaya Yogyakarta adalah kota besar di sebuah negara yang besar. Kebesarannya ditunjukkan dengan kelapangan hati dan logika warganya untuk mencerna masalah dengan kepala dingin. Keistimewaan bukan dikaitkan dengan berapa gulden yang sudah kota ini sumbangkan, bukan tentang seberapa penting perannya di masa lalu, membesarkan ‘bayi’ NKRI.
Sepengetahuan saya, seorang ibu tidak akan meminta balas jasa kepada anaknya atas air susu yang telah ia berikan, berapa banyak uang ia habiskan untuk makanan dan sekolahnya. Pun setelah anaknya sukses, apalagi jika anaknya kurang beruntung. Sebaliknya seorang anak bisa memilih untuk menjadi anak yang berbakti atau durhaka. It’s a matter of choice, decision.
Saya awam perihal politik karena itu saya menjadi bingung ketika ‘keistimewaan’ itu dikaitkan dengan tata cara pemilihan pemimpin provinsi ini. Bagi saya, istimewa bisa didefinisikan dengan cara yang lain. Meningkatkan predikat kota pelajar, misalkan seluruh pelajar yang bersekolah di Yogyakarta akan difasilitasi dengan komputer dan internet, diberi kesempatan mengikuti ajang internasional minimal sekali di tiap jenjang pendidikan (SD, SMP, SMU). Syarat untuk mendapatkan fasilitas tersebut adalah berprestasi, tidak merokok dan menggunakan sepeda sbg alat transportasinya. Hahaha ini khayalan saya saja. Intinya energi kita yang melimpah untuk protes dan membicarakan hal itu sangat mungkin untuk dialihkan ke hal lain.
Keistimewaan dengan menetapkan pemimpin berdasarkan silsilah mengandung konsekuensi logis bahwa keraton harus menjamin keberlangsungan pemimpin yang berkualitas sepanjang waktu dari kalangannya saja. Konsekuensi lainnya adalah menutup kemungkinan pihak lain di luar ‘darah biru’ untuk mencoba ‘tahta’ tersebut. Tapi mengijinkan metode pemilihan gubernur langsung juga tidak secara otomatis menjamin adanya pemimpin hebat. Mengingat sebagian kita menggunakan jabatan sebagai cara untuk mencari sumber penghidupan saja.
Bagaimanapun, saya yakin Yogyakarta sangat berterima kasih dengan ‘cinta yang tiada akhir’ yang diberikan warganya. Setelah melewati banyak ‘cobaan’ saya yakin kota ini akan mampu menghadapi cobaan yang satu ini. Cara seseorang menunjukkan kecintaannya memang berbeda-beda. Tapi kalau ingin berbeda, berbedalah dari yang buruk dan kurang elegan. Dari yang hanya mementingkan emosi sesaat yang menyesatkan. Karena Jogja tidak pantas mendapat cinta yang lekang oleh waktu. Ciee;)

No comments: