Thursday, November 27, 2014

Loyalitas Dua Arah

Pemikiran ini senada dengan pemikiran tentang pentingnya belajar menjadi pengikut yang baik di tengah gemuruhnya usaha mempopulerkan dan menjadi pemimpin yang baik. Idenya sederhana saja bahwa sebuah sistem tidak mungkin berjalan hanya dengan bekerjanya satu komponen saja. Selemah apapun sebuah komponen ketika berhadapan dengan komponen yang lain, ia tetap berpotensi mengganggu kelancaran sebuah sistem ketika tidak bekerja. Namun saya sadar ada kemungkinan beberapa alis akan berkerut ketika membaca ini. Kenapa? Silakan baca paragraf selanjutnya.

Beberapa tahun lalu saya mendampingi ayah saya ketika rawat inap di sebuah rumah sakit swasta di Jogja. Saat itu sang pemilik rumah sakit baru saja meminta maaf karena pelayanan yang kurang memuaskan dari karyawannya. Saya masih ingat betul bagaimana sang pemilik rumah sakit meminta maaf sambil membungkukkan badannya. Lalu setelah kondisi lebih santai, beliau pun bercerita ngalor ngidul termasuk mengenai loyalitas staf di rumah sakit tersebut. Bagaimana beliau kesulitan untuk membina loyalitas pada salah satunya dokter yang kadang ‘mencuri’ pasien dari rumah sakitnya. Salah satu caranya adalah dengan merekomendasikan pasiennya yang rawat inap di rumah sakit tersebut untuk kontrol ke tempat praktek pribadinya. Hal ini tentu saja merugikan rumah sakit tersebut yang membuka layanan rawat jalan. Loyalitas karyawan kepada perusahaan jelas menjadi satu topik hangat bagi perusahaan/organisasi dan mereka yang memposisikan diri sebagai manajer dan pemimpin.


Banyak sekali bahasan, artikel yang mengulas mengenai loyalitas ini. Kontennya pun beragam dan dilihat dari berbagai sisi misal bagaimana cara perusahaan meningkatkan loyalitas karyawan, pentingnya loyalitas, dan membangun pemahaman bahwa seorang karyawan yang baik adalah karyawan yang loyal dan mengutamakan kepentingan perusahaan/institusi di atas kepentingan pribadi. Benarkah ketika seseorang mementingkan kepentingannya sendiri berarti seorang yang egois dan tidak loyal? Apakah keloyalan itu hanya berlaku bagi karyawan kepada perusahaan? Bolehkah kita sekedar berpikir bahwa keloyalan sebaiknya juga dilakukan dari perusahaan/organisasi ke karyawannya? Kalau boleh bagaimana caranya?

Saya tidak yakin tulisan sederhana ini bisa menjawab pertanyaan tersebut dengan detil dan ilmiah. Tulisan ini hanya sekedar memberi gagasan sudut pandang lain yang jarang kita tilik. Karena memang untuk menggunakan sudut pandang kebanyakan itu lebih mudah dan lebih nyaman. Meski terkadang kenyamanan tersebut menyimpan kegundahan terutama dari sisi yang lebih lemah, dalam hal ini karyawan. Yang dapat terlihat dalam paragraf selanjutnya.

Dalam sebuah hypothetical situation terdapat seorang karyawan yang sangat loyal terhadap sebuah perusahaan besar. Ia mendapat amanah untuk mengampu satu bidang yang kebetulan saat ini sedang nyaris kosong stafnya. Ia adalah seorang yang relatif muda dibandingkan dengan manajer selevel lainnya. Ia cukup beruntung karena pendidikan S2nya mendapat kepercayaan beberapa proyek tambahan lainnya dan kesempatan pengembangan diri informal tentu saja. Meski begitu, secara administratif ia seringkali galau karena tidak mendapatkan status resmi kepegawaian selama bertahun-tahun dan tidak sempat/tidak tega untuk meneruskan ke studi selanjutnya ataupun berpindah pekerjaan karena beberapa alasan termasuk kesibukannya dan hubungan baiknya dengan senior-senior di perusahaan tersebut.

Dalam kondisi tersebut, sang karyawan telah dengan sangat loyal dan berdedikasi terhadap perusahaan. Sebaliknya perusahaan mengabaikan kewajibannya terhadap karyawan. Mungkin bisa saja muncul pertanyaan,”Kalau perusahaan tersebut seburuk itu kenapa tidak mencari pekerjaan yang lain?” Well, setelah berjalannya waktu hubungan saling ketergantungan sebenarnya sudah terbina dan secara individu berpindah itu berarti menentang status quo yang nyaman. Masa transisi selalu membutuhkan energi dan keberanian yang besar yang tidak semua orang miliki. Sayangnya, karena alasan tertentu si perusahaan jadi lupa untuk melakukan tanggung jawabnya terhadap karyawan.

Wajar jika saya bertanya apakah loyalitas hanya ditujukan kepada karyawan? Bagaimana dengan perusahaan terhadap karyawan? Loyalitaskah itu ketika yang kita bicarakan adalah perusahaan? Dalam bentuk apa sebuah perusahaan bisa loyal terhadap karyawan?

Cukupkah dengan menggaji cukup? Ditambah asuransi kesehatan mungkin.

Masih belum juga? Bagaimana kalau dengan kontrak kerja yang jelas bagi kedua belah pihak?

Hmmmm kesempatan untuk mengembangkan diri termasuk ijin untuk melanjutkan studi sesuai minat?

Memberikan hak-hak karyawan seperti hak cuti menikah, melahirkan, cuti tahunan?

Daftar di atas mungkin bisa menjawab beberapa bentuk loyalitas perusahaan yang bisa dipenuhi. Apakah ada dampak bagi perusahaan jika ia tidak loyal terhadap karyawan? Ya, ia bisa kehilangan karyawan-karyawan potensial yang sebenarnya bisa membantu untuk mengembangkan perusahaannya. Dampak tersebut baru bisa terasa pada perusahaan ketika harus mencari pengganti karyawan dengan spesialiasi khusus dan tingkat pendidikan yang mapan. Oleh karena itu, mari kita kembangkan ketrampilan khusus dan pendidikan setinggi mungkin agar posisi tawar kita menjadi semakin baik. Jika setelah berkomunikasi asertif kita tetap tidak bisa mendapat perlakuan yang layak dari perusahaan kita, maka adalah hak kita untuk mencari dan mendapatkan yang lebih baik.

Seperti halnya relasi suami istri, keloyalan mutlak harus dimiliki dan dilakukan oleh kedua belah pihak dalam hal ini antara karyawan dan perusahaan. Terkadang dengan berlaku dan memposisikan diri sejajar dengan berkomunikasi lebih asertif justru membantu perusahaan menjadi lebih baik. Bukankah kinerja karyawan/ti juga sedikit banyak dipengaruhi oleh kepuasan karyawan terhadap hak-hak yang diterimanya? Salam Setia ;)

No comments: