Monday, February 11, 2013

Ginko Ogino Dokter Perempuan Pertama di Jepang


Jepang bagi saya dan kebanyakan orang di dunia adalah negara terdidik yang sangat menghormati pengetahuan dan buku tentu saja. Meski saat ini hampir semua informasi dapat diakses dengan cepat melalui apa yang disebut internet, buku tetap sumber informasi yang penting dan tidak dapat disepelekan. Negara ini menyimpan sejarah kelam bagi pengetahuan terutama untuk kaum perempuan.

Hal ini saya temukan setelah membaca sebuah buku berjudul Ginko karya Jun’ichi watanabe. Masa kelam itu ada setidaknya sampai dengan sebelum abad 19. Ginko sendiri lahir pada 4 April 1851 di Desa Tawarase, Kumagaya, Saitama. Saat itu masyarakat Jepang merasa mempunyai aib besar ketika memiliki putri yang gemar membaca! Apalagi yang ingin bersekolah tinggi. Seakan perempuan ditakdirkan hanya untuk menikah, mengurus anak dan rumah. Tidak ada dan tidak perlu melakukan hal lain. Apalagi membaca dan mempunyai keingintahuan lebih mengenai benyak hal.

Begitu juga Ginko. Ia dinikahkan dengan seorang anak keluarga petani kaya raya Inamura dari desa kawakami. Kanichiro, anak yang juga putra dari presiden pertama Bank Ashikaga, adalah orang yang menikahinya di usia 16. Pernikahan itu hanya berlangsung selama tiga tahun. Karena sejak awal pernikahan Ginko sudah tertular penyakit kelamin, Gonorrhea, yang membuatnya harus berbaring karena demam tinggi dan sakit di daerah kemaluan.

Rasa sakit hati dan fisik yang begitu hebat membuatnya melarikan diri pulang ke rumah. Hanya ibunya dan Tomoko, kakak Perempuannya, yang bisa menerimanya di antara celaan dan desakan sosial yang sangat kuat.

“Seorang Istri pergi meninggalkan suaminya? Perempuan macam apa itu?”

Sedang dalam hati Ginko berkecamuk pemikiran, “Bagaimana mungkin orang-orang menghukumku? Aku yang menjadi korban. Dia yang pertama kali tidak setia dan memberiku sakit”

Gejolak hati Ginko tidak pernah bisa dipahami saat itu. Ibunya sendiri merasa bersalah karena telah menjodohkannya sehingga merasa perlu untuk membantu. Ia menemani putrinya untuk berobat atau sekedar membaca buku di dalam kamar, tempatnya bersembunyi dari omongan orang. Beruntung ia mempunyai dokter dan guru yang mendukung bernama dr. Mannen. Kebetulan dokter Mannen mempunyai seorang putri bernama Ogie yang menjadi sahabat karib Ginko. Ogie berusia 27 dan belum menikah. Sesuatu yang aneh dan bukan hal yang baik pada saat itu. Mereka menjadi akrab karena sama-sama gemar membaca dan tidak menikah. Dua hal yang saling melengkapi untuk menjadi bahan omongan tetangga sekitar.


Penyakit ini mengantarkan Ginko ke Rumah sakit Juntendo dan menginap selama lebih dari satu setengah tahun. Ia melewati masa yang baginya sangat memalukan karena harus menunjukkan daerah paling pribadinya pada laki-laki, bukan hanya satu tapi banyak, meski mereka adalah dokter dan calon dokter. Ia tidak pernah bisa melupakan bagaimana tangan salah satu dokter itu menyentuh lututnya dan meraba area kemaluannya. Saat-saat itulah yang membuatnya bersumpah untuk menjadi dokter perempuan.

“Aku ingin membantu sesama perempuan agar mereka tidak perlu mengalami hal yang sama seperti aku”.

Setelah sembuh ia beranikan diri untuk mengatakan keinginan itu kepada ibunya. Beliau tidak siap untuk permintaan ini. Kenyataan bahwa anaknya janda sudah cukup memberatkan apalagi untuk bersekolah lagi.

“Dan apa? Menjadi dokter? Lupakan saja! Tidakkah kau merasa kasihan pada kami, keluargamu”.

Ibu dan anak itu bertengkar hebat. Namun tidak cukup untuk menghentikan usahanya. Ia tetap pergi ke Tokyo. Dan menjadi murid seorang guru bernama Yorikuni Inoue. Seseorang yang dikemudian hari melamarnya tetapi tidak Ginko terima. Setelah itu ia bersekolah di Tokyo Women's Normal School (saat ini bernama Universitas Ochanomizu) karena belum ada sekolah kedokteran yang mau menerima murid perempuan. Setelah mendapatkan rekomendasi akhirnya ia mendaftar ke private medical school Koju-in (Juntendo University).

Ia mulai terkenal dan namanya banyak disebut di koran-koran terkemuka di Tokyo sebagai mahasiswi perempuan pertama. Meski demikian ia harus menghadapi banyak tekanan dari dosen dan teman-temannya.  Ia menjadi sasaran empuk kekerasan karena ia murid perempuan satu-satunya. Teman-temannya banyak yang merasa bahwa kehadirannya merendahkan profesi dokter menjadi hanya sekelas mencuci dan membersihkan rumah. Ia harus ke toilet yang sama dengan laki-laki dan menerima pelecehan dari teman-temannya bahkan nyaris diperkosa karena selalu pulang malam setelah ‘berebut’ buku.

Tidak mudah memang untuk menjadi yang pertama. Diperlukan persistensi dan keuletan luar biasa. Dan ia berhasil lulus sebagai lulusan terbaik di sekolah itu. Koranpun memberitakan hal ini sekali lagi. Dan kepopulerannya belum cukup membantu untuk sekedar mendaftar tes uji kompetensi. Sekali lagi ia harus mencari rekomendasi dari orang terkenal untuk bisa mengikuti tes dan pada tahun 1885 dia lulus uji kompetensi dan menjadi dokter perempuan berlisensi yang pertama.
Setelah lulus ia mewujudkan mimpinya dengan membuka Rumah Sakit Ogino. Di sana ia bertemu dengan suami keduanya, Yukiyoshi Shikata, pada tahun 1890. Ia adalah seorang pendeta yang berusia 13 tahun lebih muda. Kontroversi lain yang ia buat di sepanjang hidupnya. Tidak ada yang benar-benar merestui pernikahan itu. Statusnya sebagai seorang dokter membuat orang-orang berpikir bahwa Shikata terlalu muda dan mungkin mengambil manfaat dari status sosialnya yang tinggi di masyarakat.

Ginko sangat mendukung karir suaminya sehingga rela menutup rumah sakitnya dan pindah ke Hokkaido pada tahun 1894. Namun karena tidak berhasil membentuk mimpinya untuk membentuk jemaat kristen. Pada saat itu agama Kristen masih belum bisa diterima oleh masyarakat Jepang (Sebuah kontroveris yang lain dari seorang Ginko). Mereka berpindah-pindah tempat. Shikata meninggal pada 23 september 1905. Setelah kematian suaminya, Ginko kembali ke Tokyo dan membuka kembali sebuah rumah sakit di tahun 1908. Ia meninggal pada tanggal 23 Juni 1913.   

No comments: